"Kamu aja deh, Lif!" bujuk Eira sembari menyodorkan berkas hasil pemeriksaan di poli bedah hari ini.
"Dih, yang terima pasien kan kamu! Ada-ada aja deh," sergah Alif. Tanpa dijelaskan pun dirinya tahu bahwa Eira enggan bertemu Galen. Jika orang lain bisa menggantikannya, kenapa tidak?
Eira mencebik. Sadar permintaannya ini tidak pernah berhasil, ia melenggang pergi begitu saja dari hadapan Alif. Langkah lunglainya bergerak menuju ruangan Galen dengan pasti.
Ketukan di pintu langsung mendapat sambutan dari dalam ruangan. Eira memutar handel, lalu mendorong pintu. Saat ia masuk, Galen sedang mengernyitkan dahi dan serius menatap layar komputer.
Galen melirik untuk melihat siapa yang datang. Begitu tahu tamunya adalah Eira, ia memutar kursi supaya berhadapan dengan Eira. Satu senyum kecil timbul dari bibirnya.
"Dok, mau laporan."
Suara datar tanpa keramahan itu membuat Galen menggerutu dalam hati. Ia lantas menerima berkas pemeriksaan yang Eira sodorkan.
"Tadi ada ibu-ibu periksa. Bagian leher sebelah kanan benjol sudah sekitar enam bulan dan itu membesar," ujar Eira mulai membuka pembahasan.
Saat pandangan masih tertuju pada lembar hasil pemeriksaan, Galen bertanya, "Buat bernapas atau menelan gimana?"
Sebenarnya, tanpa bertanya pun Galen bisa tahu dari berkas yang diterimanya. Namun, ia ingin mengajak bicara Eira sedikit lebih lama.
"Tidak sakit dan napas normal," jawab gadis berkuncir satu rendah itu dengan datar.
Galen tidak langsung menyahut. Ia masih membaca berkas. Beberapa saat kemudian, ia berujar, "Riwayat pernah operasi sebelumnya."
"Iya, Dok. Kasus sama lima tahun lalu, di 2019. Dia terapi obat selama beberapa bulan, tapi lupa obatnya apa."
Obrolan tentang pasien tersebut berlanjut. Sekitar 10 menit Eira berada di ruangan Galen, diskusi berakhir.
"Besok kita rapatkan dengan tim setelah hasil pemeriksaan thoraks, abdomen, sama ekstremitasnya sudah keluar."
"Baik, Dok. Terima kasih. Permisi," tangap Eira tanpa basa-basi. Kemudian, ia langsung hadap kanan dan berjalan ke arah itu.
Sementara itu, Galen mendengkus dari balik punggung Eira. Saat dua langkah lagi Eira sampai di pintu, Galen memberi kepala Eira sentilan di udara. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap gadis tersebut.
***&***
"Dokter Eira akan menjadi dokter penanggung jawab Ibu sementara saya nanti yang akan memimpin operasi Ibu," ujar Galen usai menyebutkan nama dan spesialisasinya pada pasien yang beberapa hari lalu Eira laporkan sebagai pasien kanker tiroid.
"Baik, Dok." Si pasien tersenyum lemah di atas bed yang kurang lebih sejam lalu ditempatinya.
"Sebelum kita melakukan operasi, saya minta izin untuk menginformasikan bahwa Ibu diharuskan puasa selama 12 jam sebelum operasi. Nanti saat akan masuk ke ruang operasi, Ibu diimbau sudah tidak ada keinginan untuk buang air kecil maupun besar ...."
Si pasien dan seorang laki-laki yang diketahui sebagai suaminya tidak bertanya apa-apa selama Eira menjelaskan. Mereka mendengarkan dengan saksama dan mengangguk sesekali sampai Eira selesai menyampaikan semua informasi yang perlu diketahui pihak pasien dan keluarganya.
"Jika nanti ada yang ingin ditanyakan, bisa memanggil perawat yang sedang jaga ya, Bu," ujar Eira sambil memasang senyum hangat.
Galen yang ada di sampingnya melirik. Ia mendengkus melihat keramahan gadis tersebut. Ini jauh berbeda saat hanya berhadapan dengannya. Sampai detik ini dirinya masih bertanya-tanya tentang perilaku diskriminasi Eira padanya. Hah, lihat saja apa yang bisa ia lakukan untuk membalas!
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance to Change
RomanceRasa bersalah yang terabaikan seiring berlalunya waktu membuat Galen tidak mengenali salah satu korban bully-nya semasa SMA, Eira. Di sisi lain, Eira hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengenali Galen saat mereka dipertemukan lagi di RS Lovelett...