Bagian dua: kesedihan, senja dan kamu.Jakarta, 2014.
"Ini ayamnya untuk Asa ya,"
"Buat Isa ga ada Bu?"
Pertanyaan itu mengudara saat Isa melihat daging ayam sudah tak tersisa lagi di meja. Ia memandang sang Ibu dengan penuh harap, berharap ibu mau berbagi daging ayam dengan dirinya.
Di meja makan, ayam goreng yang Ibu masak hanya ada tiga potong. Ayah sudah dapat, Ibu juga, dan terakhir adiknya. Isa jelas menanyakan bagian untuknya, ia merasa cemburu karena hanya sang Adik yang mendapatkan daging ayam.
"Uang yang Ayah kasih cuma muat buat beli tiga potong ayam, kasian adikmu dari kecil belum pernah ngerasain makan ayam," Ibu berucap seraya mencubiti daging ayam di piringnya.
Terdengar helaan napas pasrah dari Isa. Lantasnya, gadis berusia 11 tahun itu memilih menuangkan sayur bayam berkuah bening ke piring miliknya. Ia makan dengan raut masam, hatinya mencoba mengerti, namun tak ayal dirinya juga merasa kesal.
Ayam goreng adalah lauk kesukaannya, jelas Ibu mengetahui lebih dari siapapun. Tetapi, ia juga harus mengerti, karena memang benar, sedari adiknya lahir, ekonomi keluarganya sedang berada di bawah, Ibunya bahkan hampir setiap hari hanya memasak telur dadar yang di potong menjadi 4 bagian.
"Kamu sekolahnya yang bener ya. Terus nanti di sekolah jangan bandel, dengerin kata Ibu guru, oke?" suara sang Ibu mengudara.
Baru saja Isa ingin menjawab, jawaban dari Asa membuat ia mengurungkan niatnya.
"Iya, Bu. Asa ga akan bandel kok!"
Nasihat itu rupanya untuk Asa.
Isa menunduk. Ia sempat lupa bahwa Ibunya memang sudah berubah sejak kelahiran Asa. Seperti ibu-ibu pada umumnya, Ibu Isa pun memegang prinsip anak bungsu harus lebih disayang. Entah awal mulanya dari mana, Isa tak peduli.
Ingat akan sesuatu, gadis berpipi chubby itu mengangkat kepala. Tatapannya langsung ia jatuhkan pada sang Ayah yang sedari tadi hanya diam menikmati makan. "Ayah, kemarin ada ulangan harian, terus Isa dapet nilai seratus tau!"
Ayah memandang Isa dengan senyuman. "Bagus, dong. Anak Ayah emang pinter," pujinya mengacungkan jempol.
Isa tersenyum senang. Memang, kalau soal mengapresiasi, pria paruh baya itu jagonya. Hal sekecil apapun, akan ia bilang hebat jika anaknya yang melakukan.
"Baru gitu aja, udah dibilang pinter. Kemarin, Asa juga dapet nilai A+ pas menggambar," Ibu menyahut. Wanita berambut panjang tersebut melirik sang Ayah dengan raut menyindir. "Ga ada tuh Ayah bilang pinter ke Asa, pilih kasih banget,"
Ayahnya tertawa kecil menanggapi. Karena Asa dan Ayah duduk bersampingan, tangan Ayah bergerak mengusap pelan kepala Asa. "Asa pinter menggambar ya? Hebat sekali!"
Yang dipuji mengangguk senang. Dengan wajah sumringah ia menjawab, "Iya dong, Ayah. Asa kemarin gambar rumah bertingkat, kata Bu guru, gambar Asa paling bagus di kelas, makanya dapet nilai A+."
Lagi, dan lagi. Isa merasa Ibunya menjadi tak pernah senang dengan kegembiraan anak pertamanya. Kejadian seperti ini bukan hanya sekali ia alami, sudah sangat sering. Bahkan Isa sudah bisa memaklumi sikap sang Ibu yang berubah drastis karena kehadiran Asa.
Melihat makanannya sudah habis. Isa berdiri, membawa piring kotornya sendiri untuk ia cuci, lalu langsung berangkat ke sekolah setelah sebelumnya mengambil tas ransel di sofa ruang tengah, tanpa berpamitan terlebih dahulu.
"Sopan banget ya kamu begitu, Isa? Berangkat sekolah main berangkat aja, ga ada etika buat pamit sama orang tua, adiknya satu sekolahpun kamu tinggal gitu aja,"
KAMU SEDANG MEMBACA
NAVILLERA
FanfictionDua anak manusia yang memiliki lara namun berbeda bentuknya, dipersatukan oleh semesta guna saling menguatkan.