"Kita membutuhkan orang-orang seperti Gatrabiru lagi di generasi anak muda!"
"Di mana penerus Gatrabiru mantan presiden BEM UI periode 2017-2018? Ayo dong, anak muda jaman sekarang jangan demo-demo yang gak jelas! Yang fatal-fatal seperti ini kalian di mana?"
"Gatrabiru forever will be missed. Untuk mahasiswa-mahasiswi di penjuru Indonesia, ke mana jiwa nasionalis kalian?! Dampak dari pengesahan UU ini gak main-main loh! Yang kena dampaknya nanti, juga generasi kalian!"
———
Januar membaca beberapa balasan dari sebuah cuitan mengenai isu politik negara yang tengah memanas. Televisi di ruang kerjanya yang sedang menyala juga menampilkan berita yang serupa. Tangannya terbawa untuk memperbaiki letak kacamata yang mulai merosot dari hidung bangirnya.
Bahunya mendelik tidak peduli. Lelaki itu lebih memilih untuk fokus kepada cuitan-cuitan lain yang lebih masuk dalam preferensinya, jelas terkait bidang baru yang dapat dia pijaki untuk investasi. Berputar di bidang teknologi dan kemajuan AI sebetulnya sudah beberapa lama ini menarik perhatiannya. Sebelumnya lelaki itu membeli ribuan lembar saham perusahaan on demand service—berbentuk layanan ojek online yang bisa dipesan untuk berbagai kebutuhan.
Tapi saham yang stagnan serta manajemen perusahaan yang buruk membuat Januar memilih untuk meninggalkan instrumen saham tersebut. Sesuatu yang bisa dimakluminya sebab perusahaan tersebut masihlah berbentuk start up unicorn yang terhitung baru sejak rintisannya.
Perhatiannya lantas teralihkan lantaran suara pintu terbuka menginterupsi heningnya ruang kerjanya.
"Pak Januar, Surya Benjamin—Menteri Perdagangan—ingin menjadwalkan pertemuan dengan Bapak secepatnya." Bima yang sudah mengetuk pintu ruangannya segera menyambar begitu kakinya memasuki ruangan Januar.
"Saya sibuk." Balas Januar singkat. Tangannya dengan gesit mematikan ponsel genggamnya dan meletakkan benda tipis tersebut sembarangan.
"Tapi Pak Surya sudah nanyain dari beberapa minggu yang lalu." Bima mendesak pria tersebut. Sebab jujur, aplikasi pesannya sudah dipenuhi dengan pesan Pak Surya Benjamin sendiri dan ajudan dari Menteri tersebut.
"Yang mau ketemu sama Pak Surya, saya atau kamu, Bim?" potong Januar saat Bima hendak berbicara kembali. Hal tersebut membuat Bima jadi mengurungkan niat untuk bersuara dan mendadak kembali segan kepada atasannya.
Januar melirik lelaki tersebut. Helaan napasnya menguap di udara, kemudian bangkit dari kursinya. "Saya harus konsultasi sama Bapak Hariyanto terlebih dahulu, masalah politik cukup sensitif untuk orang-orang seperti kami."
Iya, Januar memang senang menyebut ayahnya dengan panggilan "Bapak Hariyanto" alih-alih "Ayah" jika sedang berbicara dengan orang lain. Bima pada akhirnya mengangguk patuh. Meski nanti ia harus kembali pusing-pusing untuk merespon pesan-pesan dari Pak Surya dan ajudannya yang arogan sekali.
Tapi, dia mengerti. Politik dan bisnis adalah dua hal yang tidak bisa digabungkan. Publik sangat sensitif akan hal tersebut. Belum lagi jika bisnis yang dimaksud ialah bisnis yang digeluti oleh keluarga Moeis dan konglomerat-konglomerat kelas atas lainnya.
Lagi pula, seorang tokoh politik yang ingin membuat jadwal temu dengan C-suite executives perusahaan multinasional besar seperti Moeara (baca: muara) Internasional saja kedengarannya negatif sekali. Memangnya, apa lagi yang pejabat-pejabat tersebut inginkan jika bukan suntikan dana dari perusahaan besar ini?
Namun, Bima salut terhadap Januar yang selalu bekerja dengan bersih. Sebagai tangan kanan dari eksekutif paling tinggi di perusahaan, Bima jadi tahu sisi gelap dari dunia bisnis yang selalu ditutup-tutupi. Tidak sekali dua kali orang-orang dari dinas perpajakan mendatangi Januar untuk mengatur simbiosis mutualisme bersama yang selalu ditolak mentah-mentah oleh pria tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
to my twenties, jaejen
Fanfiction"𝘈 𝘭𝘰𝘵 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘦𝘥 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘵𝘸𝘦𝘯𝘵𝘪𝘦𝘴, 𝘢𝘯𝘺 𝘸𝘰𝘳𝘥𝘴 𝘡𝘶𝘳𝘪𝘦𝘭𝘭𝘦?" -- Bagi para borjuis, mengokohkan kekayaan dan menjaganya agar terus berkembang hingga ke generasi yang akan datang ialah apa yang...