43.

578 71 18
                                    

•••••••

°°°°°

Ashel bersandar ke tembok untuk bersembunyi. Setelah menaiki tangga dan mencari sumber raungan tadi, akhirnya dia bisa menemukan tempatnya. Di depan sana, ada sebuah pertarungan sengit yang Ashel lihat, samar-samar dia bisa tahu ada sekitar lima orang yang terlibat.

"Harusnya aku nggak kesini," gadis itu menyesal dengan keputusannya.

"Aku kira bakal ketemu sama Christy, ini malah..." Ashel menghentikan kalimatnya dan mendecih.

Dengan diam-diam, Ashel memperhatikan pertarungan tersebut. Dia bisa melihat serangan-serangan yang dikeluarkan oleh mereka. Dari gelombang pasir berbentuk kepalan tangan, efek tebasan berwarna hitam, tembakkan pistol, tebasan pedang, dan tusukkan benda tajam, memenuhi area pertarungan itu.

Perkelahian sengit itu terhenti sejenak, Ashel bisa melihat dengan jelas siapa orang-orang yang terlibat di sana. Mata gadis itu membulat, mengenali salah satu dari mereka.

"N-naf?"

Naf, wajahnya yang penuh dengan darah, berusaha menjaga kesadarannya agar tetap ada. Kedua lengannya penuh dengan luka goresan, kedua kakinya penuh dengan lecet, akibat tebasan pedang dan lesatan peluru. Nix yang ada di sampingnya juga mengalami hal yang sama, hanya tangan kanannya yang masih bisa bergerak dengan bebas karena memegang pedang.

"Cukup. Sune, Pelege," Mangkel menggerakkan tangannya, agar kedua orang itu berhenti menyerang Naf dan Nix.

"Kenapa?!" Pelege bertanya tidak santai.

"Jangan bunuh mereka, kita masih butuh buat beri tahu dimana tempat itu berada," Mangkel berucap, berjalan ke mereka.

Sambil membuang magasin dan memasang yang baru, Pelege mendecih, mendekat ke Naf dan Nix yang tidak berdaya.

Tak

Pelege menodongkan pistolnya, tangannya agak gemetar karena luka yang dia terima, dengan tatapan tajamnya, pelatuknya mulai ditarik.

"Beri tahu, di mana tempat itu?!" Pelege bertanya, menuntut.

Nix dengan mata sayu, menyeringai kecil.

"A-aku masih tidak menyangka kalau kalian berkhianat dari raja, sejak kapan kalian merencanakan ini?" Nix dengan napas susah, bertanya.

Pelege berdecak dan akan menembakkan pistolnya. Namun, sebuah tangan menghalangi tindakkannya.

Sune, dengan satu tangannya yang masuk ke saku celana, melihat Naf dan Nix bergantian. Kemudian, melihat ke arah Pelege yang sudah sangat marah. Akan tetapi, atensinya tertarik ke sebuah siluet yang ada di belakang Pelege, tepatnya di ujung lorong jalan menuju tangga.

"Ada yang mengawasi kita, bos," Sune mendongak ke Mangkel.

"Siapa yang kamu maksud, Sune?" Pelege menurunkan pistolnya.

"Hm, aku sudah merasakannya sejak tadi," Mangkel hanya merespon biasa.

"Siapa? Orang itu lagi? Dia mau tanding ulang setelah kabur tiba-tiba? Ha?!" Pelege mencecar Sune yang hanya diam tidak merespon.

"Jawab aku!!" Pelege berseru, mengarahkan pistolnya ke pelipis Sune.

"Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu," Sune menyeringai.

Dor!

Brashk!!

Napas Ashel memburu hebat, dirinya ketakutan saat lesatan peluru hampir mengenai kepalanya. Beruntung ada patung yang membelokkan arah peluru yang ditembakkan oleh Pelege barusan.

The Last Protector of Snaga (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang