: 30 : Pesta

67 10 3
                                    


Gedung yang dihiasi dengan bermacam bunga yang beragam dan harum itu membuat takjub seluruh hadirin yang menjadi tamu undangan. Mereka hanya dapat melihat bunga, bunga, dan bunga yang menhiasi ballroom hotel mewah ini. Tak henti Jennie kagum pada dekorasi yang dibuat sedemikian cantik layaknya taman bunga peri. Menggunakan gaun merah yang menjuntai indah, Jennie tau dia sangat cantik. Gaun ini adalah gaun yang sama dengan yang dia temukan di kotak berdebu itu. Pikirnya akan cantik dipakai untuk acara formal semacam ini. 

Alva belum datang karena menjemput Revano yang ban mobilnya pecah. Memang, hari sial tidak pernah ada di kalender. Siapa yang akan menyangka jika ban mobilnya akan pecah di tol yang masih lumayan jauh dari tempat acara. 

Jennie menyambut semua obrolan dari beberapa kolega bisnis hingga artis yang datang pada malam hari ini. Tentunya, Naya dan Derrel ikut serta mendampingi Jennie atas permintaan Alva tadi sebelum pergi dengan wajah masam. Padahal rencananya, Alva akan menjemput Jennie ternyata malah menjemput Revano.

Malam ini, Naya dan Derrel juga kompak mengenakan pakaian bewarna midnight blue sedangkan Revano akan mengenakan hijau forest. Alva tadinya ingin mengenakan warna silver, namun Jennie bilang ingin mengenakan gaun merah yang ada di rumahnya. Alva pun tak tau gaun mana yang dimaksud sehingga ini juga kali pertamanya Alva akan melihat gaun Jennie yang cantik itu.

"Ngga kedinginan kan, Jen?" tanya Naya yang berdiri di samping Jennie yang sedang meminum soda. Derrel menyapa rekan bisnisnya meninggalkan mereka berdua saja. 

Jennie menggeleng, dia hanya sedang menunggu Alva yang tak kunjung datang dari satu jam yang lalu. Bahkan acara sudah dimulai tapi dia masih belum melihat batang hidung Alva. Itu membuatnya khawatir.

Naya menepuk pundak Jennie pelan, "Bentar lagi dateng kok." ucap Naya yang tau arah pikiran Jennie yang sedari tadi melihat pintu masuk.

Jennie mengangguk pelan sembari tersenyum, tidak ingin merusak hari ini. Dia memilih untuk menikmati pesta ini sekalipun pikirannya tidak tenang karena belum melihat Alva. Bahkan tadi yang membuka acara adalah orang tua Revano karena anak itu belum datang juga.

Semakin lama, semakin dia jutuh cinta pada makhluk yang seolah tak nyata itu. Jennie jadi teringat bagaimana dia menemukan Alva. Tidak perduli bagaimana, dia masih tidak mengerti mengenai pertemuannya yang tak masuk akal. Apakah itu hanya acting atau nyata, Alva sangat membingungkan untuk dipahami.

Melihat lantai dansa, Jennie jadi ingin berdansa dengan Alva. Pria tampan dan mempesona itu adalah miliknya seorang. Dia ingin memamerkannya pada seluruh hadirin yang datang. Tapi, dia masih menunggu pria itu mengulurkan tangannya.

Lamunan Jennie langsung buyar ketika lengannya disenggol oleh Naya. "Kenapa, Nay?"

"Itu, pangeran siapa yang dateng?" 

Jennie langsung melihat ke arah pintu dimana Alva datang dengan Revano dengan terburu-buru. Dapat dilihat wajah Alva yang panik dan kebingungan mencari keberadaannya. Jennie dan Naya melambaikan tangannya ke atas dan itu berhasil membuat Revano menyadarinya.

Mata Alva tidak berkedip melihat penampilan Jennie yang memukau. Namun beberapa saat berikutnya wajah Alva menjadi pias melihat kalung yang dipakai Jennie. Kalung dengan batu merah yang sederhana namun tampak sangat berkilau diterpa cahaya lampu. Kalung yang sama dengan yang dulu pernah dia punya.

"Aku ngga cantik, ya?" tanya Jennie yang melihat ekspresi wajah Alva yang serius. 

Alva buru-buru menggeleng. "Kamu cantik banget. Aku sampai terpukau lihat kamu." sembari tangannya dibentangkan untuk memeluk Jennie.

"Karena itu, kamu harus terus deket sama aku." ucapnya pelan dalam pelukan yang erat itu.

Jennie mengangguk dan menepuk pundak Alva pelan. "Aku kan emang selalu di sampingmu." membuat Alva mengangguk dalam pelukan.

"Aku mau dansa." bisik Jennie pelan membuat Alva melepaskan pelukannya. "Mau dansa sekarang?" 

Alva mengulurkan tangan kanannya di hadapan Jennie. "Bersediakah tuan putri untuk berdansa dengan saya?"

Jennie tertawa pelan melihat tingkah Alva yang memperagakan layaknya pangeran. Kemudian Jennie kembali bersikap anggun menyambut uluran tangan Alva. "Tentu saja."

Mereka berdua berjalan menuju tengah tempat dansa. Musik berputar, kaki mereka mengambil langkah berani yang anggun dan badan mereka mengikuti irama musik yang membuat terlena. Alva tersenyum melihat Jennie yang tampak menikmati dansa kali ini setelah belajar hingga beberapa hari. 

"Kamu senang, Jen?" tanya alva di tengah dansa berlangsung.

Jennie mengangguk, "sangat senang."

Hanya tinggal du putaran lagi dansa akan berakhir. Jennie berputar membuat gaun itu mengembang dengan dan rambutnya terbang dengan indah. Alva kembali jatuh cinta.

"Jen, I love you. Meskipun seluruh dunia harus mendeskripsikan rasa cintaku, itu ngga akan cukup. I love you. Sedalamnya lautan, seluasnya daratan, setak terhingganya angkasa. Aku akan tetap cinta dan cinta kamu, Jennie." ucap Alva ketika Jennie kembali dalam pelukannya.

Jennie benar-benar dibuat salah tingkah dengan ungkapan Alva. Dari siapa Alva mempelajarinya. Dia sangat ingin berterima kasih!

Putaran terakhir yang sangat sempurna dan Jennie kembali dalam pelukan Alva. "Aku juga cinta kamu. Sekalipun waktu tak pernah berakhir ataupun aku yang akan berakhir dalam waktu. Aku akan tetap cinta kamu. Semoga kita berbahagia dalam doa."

Dansa itu berkahir dengan tepuk tangan yang meriah. Jennie memandang wajah Alva dengan senyuman tulus bahwa pria ini mau mengabulkan semua keinginannya. Dia sangat bersyukur.

Namun, lamunannya berhenti ketika bahunya ditarik menjauh dari Alva dan rasa sakit itu menjalar dari dada sebelah kirinya. Dia terdiam melihat darah mengalir dari tusukan pisau yang masih menancap di dadanya. Dia lemas ditopang tangan Alva yang gemetar dengan wajah pucat pasi mencium bau anyir dari Jennie.

Kaki Alva terasa seperti jely dan lidahnya kelu. Ingatannya ditarik kembali seolah beberapa kejidian serupa pernah dia alami sebelumnya. Jennie terbatuk membuat Alva tersadar.

"Kamu bertahan, okey? Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Tolong tetep sadar, Jen." ucap Alva dengan suara bergetar.  

Alva menjadi tuli dengan sekelilingnya. Bahkan jika Derrel dan Revano tidak menepuk pundak Alva, pria itu akan berlari kesetanan mencari mobil yang bisa digunakan untuk menolong Jennie.

"Kali ini kamu harus hidup, Jen. Kali ini jangan tinggalin aku lagi, ini adalah yang terakhir. Aku mohon tetap bertahan. Aku mohon. Aku ngga mau sendirian tanpa kamu. Aku takut kamu pergi. Kutukan sialan, kalian semua sialan." gumam Alva sembari memegang tangan Jennie yang sudah lemas.

Jennie tersenyum menatap Alva dnegan pandangan yang kabur. Mulutnya berguman tak jelas, namun kata-kata yang terakhir diucapkan Jennie dan dipahami Alva hanyalah. "Aku bersamamu hingga mati, I love you."

Dan itu membuat Alva histeris melihat Jennie yang perlahan menutup kedua matanya.

but it's youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang