6 : Perdebatan

609 69 101
                                    

18 April, Kamis

Amato salah kalau berpikir Taufan akan menurutinya dengan berhenti menggambar dan melukis sampai tangannya sembuh. Salah besar.

Faktanya, anak dengan sejumput surai putih itu kini duduk, kakinya bersilang. Cahaya rembulan masuk ke kamarnya tanpa ragu, apalagi pintu balkon dibuka. Benang-benang coklat si lelaki menari-nari kecil didorong embusan angin.

Taufan bersenandung. Senandung kecil yang sering dinyanyikan ibunya dulu, saat umurnya masih lima tahun. Suara miliknya teduh diantara bisingnya malam, tapi tetap menyayat seperti lonceng kesukaran, kesedihan, dan ketiadaan.

Ia menyatukan dua ujung tangannya, sulit memang, tapi ia harus bisa beradaptasi. Terhitung sudah lima puluh kali kuasnya jatuh dalam satu jam. Dan dia hampir membenturkan kepalanya ke dinding karna frustrasi. Ia kesal, ingin menghancurkan tembok, ingin menyumpah serapahi apa yang terjadi padanya, tapi tidak, tidak boleh.

Matanya sudah terkatup-katup, menutup, dan terbuka, menutup, dan terbuka lagi, begitu terus. Namun, tak berhasil menyempilkan pikiran untuk tidur pada kepala Taufan. Taufan tetap menghadap dinding, melukis disana. Bodo amat kalaupun besok Amato akan marah-marah, lagi pun, mana tau tua bangka itu apa yang dirasakan Taufan?

Taufan masih sibuk menggores ujung kuas pada dinding, mengambil warna-warna yang tak ia ketahui apa (abu-abu mungkin — dia tak pernah membeli cat selain warna abu), mengabaikan bercak-bercak yang berserakan di lantai, tak mengacuhkan pakaiannya yang benar-benar kotor, noda di mana-mana dan Taufan sama sekali tidak peduli.

Taufan melukis bintang yang amat terang, begitu indah, dan sebuah tangan yang ingin menggenggamnya, tangan yang pucat, gemetar, tangan itu tertahan oleh sulur-sulur berduri yang melilitnya, tangan itu tergores dimana-mana, darah menetes dari luka-luka tangan itu, tapi tangan itu tak berhenti. Keras kepala.

Taufan tersenyum tipis, matanya layu, hampir tertutup. Ia menyelesaikan gores terakhir di dinding dan ...

bruk!

Taufan terhempas ke belakang, matanya tertutup dan dengkuran halus mencelos keluar dari sela-sela bibirnya. Sudah tak sanggup menahan kantuk.

--

Diam, sunyi menemani pemilik netra biru. Membisu dirinya di hadapan sepiring makanan. Alisnya mengerut, matanya menyorotkan rasa bingung dan kesal.

Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana dia bisa makan?

Sudah sejak pukul tujuh pagi Mbak Tian meletakkan sepiring makanan di meja, dia memanggil Taufan untuk makan dan pergi, pergi meninggalkan seorang disabilitas yang kebingungan memikirkan cara untuk makan. Disabilitas yang semalam menggunakan kaki, dua tangannya yang tak utuh, dan gigi-giginya untuk memegang kuas, yang justru tak terpikirkan secuil ide pun untuk makan, untuk memegang sendok.

Siapa dia? Arma Taufan Antares.

Sudah satu jam Taufan diam di ruang makan sendirian, dan makanan itu juga belum tersentuh sama sekali. Bahkan si lelaki pasrah, merebahkan kepalanya di meja, frustrasi.

"Lah? Kok belum dimakan, Res?"

Taufan mengangkat kepalanya, ia menoleh ke sumber suara, mendapati Mas Rio menutup pintu dan mulai mendekatinya — dia memasang muka bingung. "A-anu, Mas ... Saya bingung gimana caranya ...."

Warna Mimpi [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang