[1]

1.8K 122 6
                                    

Farid menatap wanita di depannya dengan pandangan khawatir. Binar, wanita yang tengah berbaring sambil memejamkan mata itu tampak kesakitan. Sesekali tangannya juga meremas tangan Farid yang sejak tadi tak lepas untuk menggenggamnya.

"Lo masih kuat, kan?" Tanya Farid pelan. Ia cemas. Sungguh, sangat cemas. Sekalipun Binar bukan orang yang ia cintai, tapi wanita itu ibu dari anaknya. Wanita itu akan melahirkan anaknya. Anak mereka.

Masih dengan memejamkan matanya, Binar mengangguk. "Rid, nyokap gue?" 

"Udah gue hubungi, tapi nggak ada balasan. Telpon juga nggak diangkat."

Binar tersenyum kecil. "Setidaknya dia tahu gue mau ngelahirin. Kalau keluarga lo tahu?"

Farid mengangguk. Ia tadi juga sudah menghubungi keluarganya bahwa istrinya akan melahirkan, tapi sama seperti orang tua Binar, ia juga tak mendapat respon berarti.

"Terus?"

"Pesannya cuman dibaca aja."

Binar tersenyum miris mendengarnya. "Anak kita nasibnya gini amat, ya, Rid?" 

Farid terdiam. Mendadak merasa sesak juga akan kenyataan itu. Sejak mereka menikah enam bulan yang lalu, baik keluarganya ataupun keluarga Binar benar-benar konsisten mengabaikan mereka. Mereka diminta untuk tinggal sendiri, dan mereka tak dibantu sama sekali perihal keuangan. Selama enam bulan ini, Farid dan Binar sibuk bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan persiapan biaya persalinan. Itu pun masih kurang. Tabungan mereka hanya cukup untuk biaya melahirkan, untuk biaya setelahnya mereka tak punya.

"Coba aja kalau jalannya nggak gini, mungkin nasib anak ini nggak akan sesial ini." 

"Semua udah jalannya gini, Nar. Nggak usah berandai-andai lagi." Balas Farid sambil mendesah pelan. Sejak mereka menikah dan kehidupan mereka amat sulit, entah sudah beratus kali Binar berandai-andai. Dan Farid tak suka jika Binar sudah seperti itu, karena mau bagaimana pun juga tak akan ada yang berubah di hidup mereka. Tak ada gunanya untuk menyesali hal yang sudah terjadi.

"Habis anak ini lahir, terus apa, Rid? Gue nggak yakin sanggup." Binar menatap Farid dengan raut wajah mendung. Tangannya menggenggam tangan Farid erat, ia butuh kekuatan untuk menghadapi semuanya.

"Binar.." Farid balas menggenggam tangan Binar dan menatapnya lembut. "Ini udah pilihan kita sejak awal. Dan kita pasti bisa ngelewatin ini, kok. Kita jalani semampu kita aja. Please, nggak usah terlalu khawatir, kita cukup jalani aja. Ya?"

"Gue merasa bersalah ke anak ini, Rid, karena harus lahir dalam kondisi seperti ini. Ibu bapaknya masih muda, gue bahkan nggak lulus SMA, nenek kakeknya nggak mau ngakuin dia, dia pun bakal hidup miskin karena kita nggak punya kerjaan yang layak. Anak ini.. harusnya nggak usah kita pertahanin, kan?" Binar pun terisak. Ia mengusap perut buncitnya sambil bergumam "maaf". Maaf karena mempertahannya anak itu tanpa mempertimbangkan masa depannya. Dan sialnya lagi, semua sudah terlambat karena hari ini kemungkinan anak itu akan lahir. 

"Binar!" Bentak Farid tanpa sadar. "Gue nggak suka lo menyesali pilihan kita. Kita udah sepakat buat pertahanin ini anak kan? Terus kenapa lo sekarang gitu? Lo mikir dong! Lo bahkan udah pembukaan dua, anak kita mau lahir, Nar."

"Gue kira nggak akan sesulit ini, Rid!" Binar balas dengan membentak. "Lihat, keluarga kita sama sekali nggak ada yang peduli sama anak ini. Gue nggak bisa ngebayangin gimana dia hidup nanti. Kalau gue atau lo nggak ada, gimana? Apa keluarga kita bakal peduli ke anak ini? Harusnya sejak awal kita mempertimbangkan ini juga. Kalau memang anak ini bakal hidup dengan banyak kesialan, mending dia nggak usah lahir, kan?!"

Tanpa bisa dicegah, Farid pun ikut terisak. Rasanya sesak. Sungguh, sangat sesak. Ia pun mengakui dan menyetujui semua perkataan Binar, tapi mereka sudah melangkah sejauh ini, tak ada waktu untuk menyesali pilihan. Dan ia tak mau menyerah begitu saja.

"Terus lo mau apa, Nar? Lo mau lahirin ini anak terus dia dibuang? Gitu?" Tanya Farid masih sambil terisak.

Binar hanya menangis menjawabnya. Ia pun tak tahu harus melakukan apa. Rasanya sungguh miris. Di saat ibu hamil lainnya gugup menanti buah hati saat akan persalinan, ia malah tak ingin untuk melahirkan. Ia tak sanggup jika pada akhirnya ada korban atas keegoisannya.

"Gue nggak tahu, Rid. Gue cuman takut." Binar pun langsung menarik Farid dan memeluk lelaki itu. Ia butuh kekuatan. Rasanya semua saat berat untuknya.

"Gue juga takut, Nar. Gue pun nggak yakin bakal jadi ayah yang baik, di saat jadi suami aja gue nggak becus. Bahkan untuk jadi manusia baik aja gue nggak bisa, Nar." Farid balas memeluk Binar, wanita yang selama berbulan-bulan ini ada di sampingnya. Orang yang ia renggut masa depannya.

"Maafin gue, Nar. Maaf karena gue, lo harus hidup kayak gini. Seharusnya malam itu kita nggak usah ketemu. Seharusnya malam itu kita nggak usah mabok."

Penyesalan selalu ada di bagian akhir dan mau seberapa besar penyesalan itu ada, tak akan mengubah apapun. Farid hanya bisa memaki dirinya terus menerus dan berusaha merangkai lagi hidupnya di saat ia merasa bahwa hidupnya sudah hancur berantakan.

"Kita bisa, Rid?" Gumam Binar. "Menurut lo, kita bisa besarin ini anak?"

Anehnya, tanpa ragu Farid mengangguk. "Bisa. Pasti bisa, Nar. Mungkin memang susah, tapi kita pasti bisa. Asal lo mau terus berusaha sama gue."

Binar melepaskan pelukannya, dan menatap Farid ragu. Sedangkan Farid sendiri memberinya tatapan yakin. Ia yakin bisa melalui semuanya.

"Setelah anak ini lahir, gue bakal usahain untuk kuliah sambil kerja. Gue mau nerusin pendidikan gue supaya bisa dapat kerja yang lebih baik. Lo juga bakal lanjutin sekolah supaya bisa nyelesain SMA lo yang ketunda. Nanti lo kuliah juga. Kita jalanin hidup kita sebaik mungkin, Nar, supaya anak ini pun nanti bangga ke kita. Meskipun dia lahir dengan keadaan terpaksa, tapi dia harus bangga punya kita, Nar. Nggak ada yang bisa dia andalkan selain kita berdua. Anak ini berhak hidup bahagia juga. Lo mau kan terus berusaha sama gue?"

Farid menggenggam erat tangan Binar. Ia menatap wanita itu dengan wajah yang penuh dengan bekas air mata. "Lo harus mau, Nar." Lirihnya. "Karena gue juga butuh lo."

Binar diam sejenak sambil terus terisak. Sampai akhirnya ia pun mengangguk. "Gue juga butuh lo, Rid."

"Makasih, Nar. Makasih karena mau bertahan sama gue." Farid pun mencium tangan Binar yang ada di genggamannya. 

Mereka memang tak saling mencintai. Pernikahan pun didasari kecelakaan karena Binar hamil olehnya. Selama enam bulan menjalani rumah tangga pun, mereka banyak konflik karena masih menjunjung ego masing-masing. Namun, di detik ini, Farid berjanji bahwa ia akan menjalani kehidupan rumah tangganya dengan lebih dewasa. Ia ingin membangun rumah tangga yang bahagia bersama Binar dan anak mereka kelak. Sekalipun banyak rintangan yang akan mereka hadapi, Farid berjanji akan berusaha menjalani itu.

Farid lalu mencium kening Binar, dan mengelus perut buncit itu. Dalam hati ia berdoa, semoga persalinan Binar lancar. Semoga Binar dan anaknya selamat. Dan meskipun Farid tak yakin apakah doanya akan dikabulkan karena ia hanyalah manusia pendosa, tapi Farid tak berhenti berdoa. Sampai akhirnya dokter datang dan menyatakan bahwa Binar sudah pembukaan sepuluh dan siap untuk melahirkan.

Farid terus berusaha berpikir positif. Ia yakin, semua akan baik-baik saja. Ia yakin, setelah ini ia dan Binar akan menjalani kehidupan pernikahan seperti yang tadi ia sebutkan pada wanita itu. Ia yakin. Sampai akhirnya keyakinan itu pupus saat dokter menyatakan bahwa Binar tak bisa diselamatkan, sedangkan bayinya lahir dalam kondisi kritis.

Saat itu, hidup Farid yang sudah hancur, kembali lebur.

Nadi | Seri Family Ship✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang