[2]

1.4K 118 5
                                    

Farid kira semua rencana yang ia bangun bisa ia jalankan dengan baik secara perlahan. Ia yakin bahwa rencana yang ia punya adalah rencana terbaik yang ia bangun. Ia sudah terlalu banyak melakukan dosa, dan berusaha memperbaiki hidup adalah hal baik yang patut ia perjuangkan. Tak pernah ia seoptimis ini untuk menjalani hidup yang lebih baik lagi. Sayangnya, sepertinya Tuhan tak akan memberinya jalan yang mudah sekalipun ia sudah memohon ampunan sebanyak apapun.

Rencana yang ia bangun bersama Binar perlahan pupus. Dan itu karena Binar pergi meninggalkannya. Meninggalkannya sendiri bersama anak yang seharusnya mereka besarkan bersama-sama.

"Melahirkan di usia seperti ini rentan untuk Binar. Mohon maaf, karena saya tidak bisa menyelamatkan istri Anda. Bayi anda pun sekarang kritis karena denyut nadinya sangat lemah."

Penjelasan dokter hanya membuat Farid semakin tak sanggup untuk berdiri. Ia pun mendudukkan dirinya dan menatap lantai dengan tatapan datar.

Binar pergi, batinnya.

Tak bisa menahan diri, Farid pun langsung terisak. Ia menangis hebat. Tangannya tidak bisa diam, ia mulai menjambak dan memukul kepalanya sendiri. Hancur sudah. Hidupnya hancur.

Setelah itu, dengan sisa-sisa tenaganya, Farid menghubungi keluarganya dan Binar. Satu jam kemudian, Ayah dan Ibu Binar datang ke rumah sakit dengan tatapan marah, tanpa berkata apapun, lelaki tua itu langsung memukulnya beberapa kali. Farid hanya diam, ia menerima semua pukulan itu. Ia memang layak.

"Kalau Binar nggak kenal kamu, hidupnya nggak akan gini sekarang. Anjing kamu!" Maki Ayah Binar.

Sambil terisak, Farid berucap, "Saya memang brengsek. Saya goblok. Saya anjing. Saya tolol. Saya manusia penuh dosa."

Ternyata, mau seberapa usaha Farid untuk memupuk kembali kepercayaan dirinya, hari ini ia kembali memandang rendah dirinya, tapi kenyataannya memang seperti itu. Farid memang brengsek. Ia hanyalah manusia penuh dosa dan kenyataan itu membuat Farid benci dengan dirinya sendiri.

"Anak saya mati karena kamu!" Ayah Binar menangis hebat. Tampak sangat frustasi. "Harusnya kalian gugurin itu kandungan dari awal, nggak usah sok pahlawan untuk mempertahanin kandungan itu. Kalian itu masih kecil, nggak akan sanggup untuk ngebesarin anak."

Sambil terduduk di lantai rumah sakit, Farid menunduk. Ayah Binar sudah berhenti memukulnya, tapi rasanya ia belum merasa cukup. Maka, Farid pun kembali menyerang dirinya sendiri. Ia menampar pipinya, menjambak dan memukul kepalanya sendiri. Masih dengan mulutnya yang bergumam, "Farid goblok, brengsek, anjing, tolol."

"Sekarang saya tanya," Ayah Binar menarik kerah baju Farid dan memaksanya untuk menatapnya. "Sekarang apa yang bakal kamu lakuin? Kamu bisa ngurus anak kamu sendiri? Anak itu gimana nasibnya? Karena saya dan istri saya nggak akan mau untuk nerima anak haram itu sekalipun dia cucu saya."

Farid diam. Ia tak tahu. Ia tak punya jawaban sama sekali. Karena dengan kepergian Binar, semua rencana yang ia bangun sudah pupus. Ia tak yakin sanggup untuk menjalaninya tanpa Binar di sisinya. Farid tak bisa. Ia tak yakin.

Setelah itu, Ayah dan Ibu Binar meninggalkannya. Mereka beralih mengurus jenazah Binar untuk dipulangkan, dan mereka pun tak memberinya kesempatan untuk bisa menemui Binar terakhir kalinya. Mendadak, Farid linglung, ia tak tahu harus kemana sampai seorang suster memanggilnya dan berkata bahwa bayinya sudah bisa dijenguk.

Dan saat Farid melihat bayi mungil itu, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis. Bayi itu tak berdosa sama sekali, dan di hari kelahirannya banyak orang yang tak menginginkan kehadirannya. Karena keegoisan dan kebodohannya, Farid telah membuat bayi itu sebagai korban. Anaknya, seharusnya tida lahir dengan cara yang seperti ini.

***

"Jangan nangis." Ucap Farid pelan sambil berusaha memberi susu pada bayi yang sedang tidur di kasur tipisnya. 

"Kenapa nggak mau diminum?" Gumamnya frustasi. Sejak tadi, bayi itu menolak susu yang diberikannya dan terus menangis. Bahkan sudah hampir dua jam bayi itu menangis tanpa Farid ketahui sebabnya. Ia benar-benar buta mengenai cara mengurus bayi yang baru lahir.

Dengan kesal, Farid pun melempar botol susu yang dipegangnya membuat air susu di botol itu langsung tumpah. Ia memejamkam matanya, berusaha menahan gejolak emosi yang ingin keluar. Dan tangisan bayi di depannya membuat Farid sadar akan posisinya.

"Kamu mau apa?" Tanyanya frustasi yang hanya dijawab dengan tangisan. Mendengar tangisan bayi itu yang semakin kencang, Farid malah ikut menangis. 

Sudah dua hari sejak kepulangan bayi itu di rumah sakit, dan sudah sepuluh hari lamanya sejak kepergian Binar. Selama sepuluh hari ini, hidup Farid tidak baik-baik saja. Ia bolak balik rumah sakit, dan berusaha mengikuti serangkaian kegiatan pemakaman di rumah Binar meskipun Ayah dari istrinya itu sudah menolak kehadirannya terang-terangan. 

Dan sejak bayi itu diperbolehkan pulang, Farid mendadak kelimpungan. Selama di rumah sakit, ada suster yang merawat anaknya, tapi di indekos tempat Faris tinggal, hanya dirinya yang bisa merawat bayi itu. Dan ia benar-benar tak tahu harus melakukan apa.

Baru dua hari mengurus bayi, dan Farid sudah sangat frustasi.

Ia lalu mengambil ponsel dan kembali berusaha menghubungi Mamanya yang sudah lama tak ia temui. Penolakan panggilan pun ia terima. Farid menghembuskan napasnya berat, seiring dengan tangisan bayi yang belum berhenti.

Dan dengan segenap rasa frustasinya, Farid memakai jaket, ia menyelimuti bayi itu agar hangat, dan ia keluar kamar. Farid tahu, bahwa keputusannya saat ini mungkin sangat beresiko dan akan ia sesali seumur hidup, tapi ia benar-benar tak punya pilihan. Hanya satu tempat yang ia pikirkan saat ini; panti asuhan.

***

Nadi | Seri Family Ship✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang