Satu

54 10 0
                                    

Aku menyerah...

Aku adalah dalang dari semua yang terjadi padanya saat ini...

Aku yang membuat dia berakhir menyedihkan tanpa memikirkan perasaannya dan orang lain...

Aku pelaku utama dalam segala keputusan bodohnya...

Aku... ah...

Tidak berguna.

***

Suara dentingan gelas kaca dengan meja menyadarkanku. Aku mengantuk, sangat mengantuk. Mataku merem melek seperti orang baru saja dibangunkan oleh suara keras seperti bom. Kulihat pelakunya, kemudian tersenyum kikuk. Sepertinya aku sudah melupakan teman setinggi tiang di depanku, bahkan aku bisa merasakan bahwa suasana bar sudah sepi pengunjung.

"Berapa lama aku tidur?" tanyaku santai sembari mengambil sloki untukku tuang minuman keras, kemudian kembali bersiap tidur.

"Baekhyun."

Aku mengangkat kepala beratku. Memberi senyuman terbaik untuknya, entah senyuman lelah ataupun arti lain. Tubuhku sudah terlalu lelah untuk memberi respon pada temanku ini.

"Jangan terlalu pikirkan kejadian itu. Lagian itu sudah 2 tahun yang lalu," ucapnya yang membuatku terkekeh.

"Hei, Chanyeol," kupanggil namanya sambil mengangkat gelas dan meminum minuman berwarna merah itu, "kau tahu? Kasus itu tidak akan ditutup sampai aku mati!"

"Tapi kamu bukan pelakunya. Aku yakin, kamu—." Aku tertawa keras mendengar pernyataan gila dari Chanyeol.

"Pelaku?" aku menunjuk diriku sendiri, "aku pelakunya, Chanyeol. Hahaha. AKU PELAKUNYA!" tekanku, terutama di kalimat akhir.

Teriakanku berhasil membuat semua orang, maksudku karyawan bar yang tengah bersiap untuk tutup. Mereka menatapku tak suka, seperti aku adalah pengunjung terburuk mereka hari ini. Sudah numpang tidur, mabuk, teriak-teriak pula. Mungkin itu yang ada di pikiran mereka saat ini.

Chanyeol berdiri lalu membungkuk ke mereka sebagai permintaan maaf, sementara aku kembali mengambil minuman dan membukanya. Kembali ku sesap minuman rasa asam nan pahit itu, kembali membawanya ke kerongkonganku guna menyegarkan tubuh dan pikiran. Chanyeol tampak panik kala aku membuka botol ke-10 di depan meja. Kembali tawaku menggelegar melihat tingkah paniknya. Penuh usaha, dia membopongku untuk keluar dari bar.

"Hei... hei... kita belum selesai, aku masih ingin mabuk."

"Kita pulang. Kau mabuk," katanya. Aku terkekeh dan mendorong tubuh jangkung itu.

"Kau bukan ibuku!"

"Tapi aku bertanggungjawab padamu malam ini! Ayolah, Byun Baekhyun! Jangan paksa aku menyeretmu ke mobil lagi kali ini."

"Coba saja seret aku!"

Kulihat Chanyeol menghela napas panjang. Wajah lelah tersirat darinya, berkali-kali pula dia menghela napas lelah, seperti Ayah yang sudah penat melihat putranya kembali mabuk tanpa jeda.

"Aku sudah tidak bisa mabuk lagi," ucapnya menyerah.

"Hahaha... lemah sekali kamu! Percuma tubuh besar, tapi badanmu lembek seperti perempuan!" teriakku, lalu meninggalkan Chanyeol di bar sendirian.

Aku berjalan menembus angin malam. Sungguh, ini malam terdingin yang pernah kurasakan selama bertahun-tahun. Menurut perkiraan cuaca, malam ini akan terjadi badai salju yang tebal, sehingga orang-orang disarankan untuk berdiam diri di rumah sembari menikmati cokelat panas atau bermain tic-tac-toe.

Namun aku, masih sendiri merasakan dingin tanpa alas jaket. Kaos tipis, celana panjang sobek sana-sini seperti kurang bahan, ditambah sepatu sneakers. Cukup untuk membuatku mati kedinginan malam ini.

The ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang