Lelah. Aku rasa, satu kata cukup tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisiku saat ini. Entah mengapa, satu semester di perkuliahan cukup untuk membuatku hampir menyerah dengan apa yang sedang aku jalani saat ini. Semua perasaan, melebur menjadi satu Ketika aku harus menghadapi kenyataan yang ada di depan mata. Mungkin, kalau bukan karena Gracia, aku sudah pulang ke tanah asalku.
Adit. Nama yang diberikan 20 tahun lalu oleh orang tuaku ketika seorang bayi laki-laki lahir ke dunia ini, tanpa tahu apa yang akan dihadapinya. Saat ini, aku sedang berkuliah di salah satu universitas ternama di kota Semarang.
Berangkat dari Bandung, Tuhan masih membukakan jalan untukku setelah bersusah payah melewati serangkaian ujian untuk masuk ke sini. Berangkat tanpa ditemani oleh siapapun, aku berusaha untuk bertahan hidup di kota ini dengan kiriman dari orang tua yang pas-pasan. Aku rasa, memang ini yang harus kujalani. Orang tua yang menunggu di sana, pasti tak mau mendengar kabar buruk tentang akademik anak semata wayangnya.
Ah, sudahlah. Tak perlu berlama-lama untuk memperkenalkan diriku. Sebab, cerita ini bukan hanya tentang diriku, melainkan tentang aku dan gadis asal Jakarta yang tak akan pernah kusangka akan berakhir di ranjang denganku, Gracia. Shania Gracia namanya.
Kami bertemu, pada masa awal pengenalan lingkungan kampus. Aku dipertemukan dengan dia melalui kelompok kecil yang dibuat oleh senior kami. Entahlah. Namun, aku merasa bersyukur dikelompokkan dengan Gracia yang memang kelihatannya dari awal adalah orang yang ceria, aktif, dan memang giat dalam menjalani perkuliahan.
"Eh, guys. Gimana nih? Kapan mau kelarin tugasnya? Deadline-nya besok loh!" tukas Gracia melalui group chat.
"Yaudah ayo kelarin aja. Dimana nih, enaknya?" balas Cindy.
"Gimana, pakbos yang punya Semarang?" sahut Gracia sambil menandai Randy, akamsi yang tak pernah beranjak dari Semarang semenjak lahir.
"Yawes ning Semarang ngisor wae. Akeh tempat tongkrongan kok." jawab Randy tak lama.
"Indonesian, please bro." balasku, lantaran tak mengerti satu katapun yang Randy ucapkan.
"Di Semarang bawah aja. Banyak tempat tongkrongan kok." balasnya sambil menambahkan emot tertawa.
"Oh oke-oke. Jam 7 malam aja ya?" jawabku.
"Eh, ada yang kosong ga? Aku sekalian nebeng dong. Belom punya kendaraan nih." tambahku.
"Yaudah, Dit. Bareng aku aja, entar shareloc aja ya." balas Gracia.
Aku langsung membagikan lokasiku, lalu menyambar handuk dan segera mandi karena jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Selesai mandi, kukenakan pakaian terbaikku untuk memberikan kesan yang baik. Tak lama kemudian, kudengar suara mobil mendekat ke arah gerbang kosku, diiringi dengan nada panggilan masuk dari Gracia. Aku memang sengaja tak mengangkat telepon, karena aku sudah berada di dekat gerbang.
"Hai Dit. Oh ini kosmu?" kata Gracia melalui jendela mobilnya dengan wajah penasaran.
"Iya Gre. Nanti kalo pengen main, kabarin aja." jawabku santai.
"Dih baru kenal udah ngajak ke kos, hahahaha." canda Gracia.
"Hahaha, siapa tau kan." balasku sambil menutup pintu mobilnya.
Gracia terlihat cantik malam ini. Baju warna pink tanpa lengan membalut tubuhnya, dipadukan dengan rok pendek di atas lutut yang membuatnya terlihat manis. Payudara yang terlihat ranum dan menantang, aku taksir berukuran 32b melengkapi bentuk tubuhnya yang elok.
"Eh, Dit. Bisa nyetir gak? Aku capek nih, abis beres-beres kosan tadi." tanya Gracia.
Aku tersadar dari lamunan, dan langsung mengiyakan permintaannya karena tak tega melihatnya dan meluncur ke kafe yang dimaksud Randy. Tak butuh waktu lama, kami sampai di cafe tersebut, dan segera menyelesaikan tugas kami.
Saat pulang, Gracia kelihatan murung, tak seperti biasanya. Aku yang bisa melihat ekspresi wajahnya yang berubah, aku belum berani untuk menanyakan apa-apa. God damn it. Bahkan dengan wajah murung, dia masih bisa terlihat cantik.
~A hundred days have made me older, since the last time that I've saw your pretty face
~A thousand lies have made me colder, and I don't think I can look at this the same.
Alunan lagu dari 3 Doors Down menemani kami melalui kemacetan Simpang Lima. Aku yang masih memperhatikan Gracia, tiba-tiba melihat air mata mengalir dari sudut matanya.
"Kenapa Gre? Kok nangis?"
"Oh enggak, Dit. Aku gapapa kok. Kelilipan doang." jawabnya sambil mengusap air matanya.
"Lo gak jago bohong ya Gre? Sumpah jelek banget bohong lo, hahaha."
"Kelihatan banget ya? Ah payah gue emang." balasnya sambil tertawa kecil.
"Gue baru diputusin Dit. Kita udah pacaran setahun lebih. Emang, sebulan ini ribut mulu, semenjak dia tau gue keterima disini. Dia gak tahan buat LDR."
"Oh. Emang gak ada harapan buat lanjut?"
"Gatau gue Dit. Bingung parah. Gue pernah ngegep dia selingkuh. Sebatas chat doang emang, cuma udah menjurus ke yang aneh-aneh."
"Aneh-aneh gimana?" tanyaku penasaran.
"Ya gitu. Udah menjurus kearah seks." jawabnya lesu. Wah, udah gila ini orang, pikirku.
"Yaudah tinggalin lah. Ngapain dipertahanin." jawabku sedikit emosi.
Air mata Kembali mengalir, yang membuatku tak mau melanjutkan percakapan kami. Aku rasa, membiarkannya untuk tenang dulu merupakan pilihan yang tepat untuk saat ini.
~I'm here without you baby, but you're still on my lonely mind
~I think about you baby, and I dream about you all the time
Kembali, air mata turun melalui pipinya yang menggemaskan. Aku, yang masih belum berani berkata apapun, mencoba untuk menenangkan Gracia dengan mengacak-acak rambutnya.
"Udahlah Gre. Lupain aja. Masih banyak cowok kok." kataku menghibur Gracia.
"Haha iyaa Dit, kalem." balas Gracia.
"Adit? Jangan balik dulu yahh. Gue bosen di kosan." tambah Gracia.
"Oke, princess. Where are we going?" tanyaku.
"Gue mau ke pantai Dit." balas Gracia.
"Oke-okee. Kita meluncurrr."Selengkapnya ada di link yang ada di bio.