[4]

1.1K 123 9
                                    

"Sekali lagi, mohon maaf Pak karena kelalaian kami dalam mendidik anak-anak di sekolah."

Wanita paruh baya bernama Mira itu menatap Farid dengan tatapan tak enak. Sangat merasa bersalah karena harus ada konflik perundungan di sekolah mereka.

"Tapi anak saya nggak apa-apa, kan?" Tanya Farid datar, berusaha menahan emosi yang bisa meledak kapan saja.

"Dagunya luka, Pak, tapi sudah diobati, sekarang Nadi ada di UKS." Jawab Mira. Ia melirik wanita di sebelah Farid yang tak bersuara sejak tadi padahal anak dari wanita itu yang berperan sebagai tersangka.

"Mohon maaf, Bu, Rio akan kami hukum. Dia diskors selama tiga hari."

"Rio aja yang diskors?" Wanita bernama Fira itu bertanya. Ia melirik pada Farid dan menatapnya tak suka. "Pihak sekolah memang melihat Rio yang mendorong Nadi sampai jatuh, tapi seharusnya sekolah menyelidiki juga kan alasan anak saya berbuat seperti itu apa. Pasti ada yang aneh dari Nadi sampai anak saya berbuat seperti itu." Jelasnya tak terima.

Farid mendengus. Ia menatap Fira jengah. "Silahkan, tanyakan Rio. Ajak anaknya ke sini, saya juga pingin tahu alasan dia dorong Nadi itu apa."

Mira yang melihat perdebatan itu pun merasa tak enak, ia langsung berdiri dan meminta salah satu guru memanggil Rio yang memang sedang tak jauh dari kantor.

"Sebenarnya saya sudah menanyakan alasannya pada Rio, Bu, Pak. Tapi mungkin boleh ditanya lagi anaknya." Ucap Mira sungkan saat Rio sudah duduk diantara mereka.

"Rio, jelasin ke Mama, apa yang Nadi lakuin sampai kamu kesel ke dia?"

Farid mengernyit, tak setuju dengan pertanyaan itu, maka ia pun menimpali, "Coba jelaskan alasan kamu dorong Nadi sampai jatuh tadi?"

Rio yang mendapat pertanyaan itu mendadak menciut. Ia menatap keduanya takut.

"Ayo jawab aja, Rio." Bentak Fira.

"Rio cuman kesel aja, Ma, ke Nadi.." jawab Rio pelan.

"Iya, kenapa? Dia ngapain kamu?" Desak Fira lagi.

"Nadi nggak ngapa-ngapain, Nadi itu selalu diam aja kalau diajak ngobrol. Dia nggak pernah mau diajak main sama siapapun, nggak pernah mau berteman sama yang lain. Dia sombong, Ma. Bukan cuman Rio yang nggak suka sama dia, tapi temen-temen yang lain juga. Tadi Rio cuman iseng ngerjain Nadi, tapi dia diem aja, terus Rio sengaja nendang kaki Nadi. Pelan kok, sumpah, tapi Nadi malah jatuh dan dagunya kena lantai." Rio menatap Farid tak enak, lalu menunduk, "Maafin saya, Om. Saya nggak tahu kejadiannya bakal gini."

Farid pun menghela napas kasar. Tak percaya bahwa Nadi harus terlibat konflik seperti ini.

"Anda dengar, kan? Rio melakukan itu ada alasannya. Itu tugas anda untuk mendidik Nadi supaya nggak jadi anak yang sombong, yang nggak pintar bersosialisasi." 

Farid menatap Fira tak suka, kenapa ini jadi salah Nadi? "Anda juga seharusnya mendidik anak anda supaya nggak main fisik. Apalagi sama perempuan. Kalau memang sikap Nadi buat dia nggak nyaman, harusnya bicarakan baik-baik, bukan malah ngerjain anak saya sampai dia luka." Balasnya tak terima.

"Rio, sikap kamu itu salah. Kamu tahu itu?" Lanjutnya pada Rio.

Rio yang mendapat pertanyaan itu hanya menunduk. 

Farid memejamkan matanya sejenak, berusaha memedam emosinya. Ia lalu menatap anak di depannya lekat. "Rio, Nadi itu sejak kecil udah nggak punya Ibu. Dia juga jarang ngobrol sama saya karena saya sibuk kerja. Di rumah dia nggak punya temen dan selalu sendirian. Masalah dia sejak dulu memang kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain, saya berharap dengan dia sekolah di sini dia bakal punya banyak teman. Bukan kejadian ini yang saya harapkan. Kalau memang sikap dia bikin kamu nggak nyaman, harusnya kamu bilang ke guru atau kalau bisa kamu bantu dia supaya dia bisa belajar untuk berteman, bukan malah ngebully-nya. Kamu malah buat anak saya makin takut buat berteman." Tak tahan, akhirnya Farid pun mengeluarkan semua unek-uneknya.

Setelah itu, ia bangkit berdiri. "Nadi di UKS, kan? Saya ijin bawa Nadi pulang, ya."

Tanpa mengucapkan apapun lagi, ia pun keluar kantor dan berjalan menuju UKS yang tak jauh dari kantor guru. Dan di sana, ia mendapati remaja perempuan yang duduk di salah satu kursi dengan perban di dagunya.

Melihat kedatangan Farid, Nadi langsung berdiri dan menatapnya tanpa kata.

"Kita pulang." Ucap Farid.

"Masih ada dua pelajaran lagi." Jawab Nadi sambil ikut berjalan di samping ayahnya.

"Ayah udah minta ijin untuk kamu pulang sekarang. Ayo, kita ke kelas kamu dulu bawa tas."

Tanpa kata, Nadi pun menuruti perkataan ayahnya. Mereka sama-sama diam sampai akhirnya mereka masuk ke dalam mobil. Namun, sampai satu menit lamanya, Farid tak kunjung menjalankan mobilnya. Ia hanya diam, dan Nadi pun ikut tak bersuara.

Melihat keterdiaman Farid, Nadi pun menyadari sesuatu. "Maaf, karena aku Ayah harus ke sekolah." Gumamnya. 

"Kamu nggak punya teman?" Tanya Farid mengabaikan permintamaafan anaknya. Ia mengubah posisi duduknya, agar bisa menatap Nadi secara penuh.

"Aku masuk SMP kan baru beberapa bulan. Aku belum kenal semua temen sekelasku."

"Yang dekat sama kamu, ada?"

Dengan pelan, Nadi menggeleng. 

"Kenapa? Kamu nggak ingin berteman?"

"Bukan gitu. Aku pingin temenan sama mereka, tapi mungkin merekanya yang nggak mau." Jelas Nadi. Sejak tadi, anak itu sama sekali tak menatap Farid. 

"Memang ada yang salah sama kamu?" Tanya Farid tak habis pikir. 

"Aku anaknya nggak seru." Gumam Nadi. 

"Itu bukan alasan, Nadi." Jawab Farid tak terima. "Dulu di SD pun kamu gini. Kamu selalu kemana-mana sendiri, sampai guru-guru khawatir dan minta Ayah ke sekolah buat bahas kamu. Ayah cuman nggak mau kejadian di SD terulang lagi. Ayah pingin kamu punya teman, Nadi. Punya teman itu menyenangkan. Kamu bisa punya teman cerita, nggak semuanya harus dipendam sendiri."

Farid menatap anaknya dengan nanar. Selama ini, ia tak pernah menjadi tempat untuk Nadi bercerita. Orang-orang di rumahnya pun tak dekat dengan Nadi. Selama ini anaknya selalu menyimpan semua cerita dan keluh kesahnya sendiri. Farid hanya ingin Nadi punya teman. Ia ingin anaknya bisa membagi hal yang dirasakannya pada orang lain.

"Aku juga pingin punya teman, kok." Ujar Nadi membela diri. Ia menatap Farid sedih. Selama ini ia selalu berusaha, tapi ia selalu tetap menjadi anak yang kikuk, pendiam, dan tak bisa menjalin hubungan dengan orang lain. Ia juga bukan anak yang menyenangkan. Mungkin itu alasannya mengapa banyak yang tak betah untuk berteman dengannya.

"Maaf karena bikin Ayah sedih. Nanti aku bakal belajar lagi buat berteman." Nadi mengalihkan tatapannya ke samping, menatap luar dari jendela mobil dan perkataan akhirnya sebagai pertanda bahwa ia tak mau melanjutkan pembicaraan apapun dengan Farid.

Farid pun menghembuskan napasnya kasar. Selalu seperti ini. Pembicaraannya dengan Nadi selalu berakhir dengan anak itu meminta maaf dan akan menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka tak pernah saling terbuka dan menyatakan perasaannya masing-masing. Nadi dengan sikap membatasi dirinya, dan Farid dengan ego tingginya yang tak pernah mau belajar menurunkan egonya.

Farid pun menjalankan mobilnya dengan perasaan yang berat. Ia memikirkan anak di sampingnya, tapi ia tak tahu harus melakukan apa. Hanya perasaan bersalah yang terus menghampirinya. Tanpa sadar, Farid tersenyum miris, untuk menghadapi anaknya saja, ternyata Farid sepengecut ini.

***

Hai, gimana kesan untuk 4 bab awal kisah Nadi? Boleh dikomen yaa. Aku butuh jawaban dri tmn2 hihi

Makasih udh baca. Semoga ceritaku bisa jadi teman untuk kamu terus tumbuh, ya!

Nadi | Seri Family Ship✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang