[5]

1.1K 129 7
                                    

Sejak tiga belas tahun lalu, perasaan Farid tak pernah baik-baik saja, meskipun kenyataannya kehidupannya jauh lebih baik. Ia bisa kuliah, bahkan sampai magister lalu karirnya pun meningkat. Ia bekerja sebagai konsultan di salah satu perusahaan, memiliki bisnis toko sembako, dan mencoba berkarir sebagai dosen di kampus tempat ayahnya bekerja. Kehidupannya berjalan dengan mulus sejak orang tuanya menerimanya kembali dan ia mau menuruti semua perkataan mereka.

Anehnya, Farid selalu merasa tak bahagia. Apalagi saat ia pulang ke rumah dan mendapati Nadi yang selalu tampak kesepian. Ia dan Nadi memang tinggal bersama orang tuanya, tapi ia sangat menyadari bahwa orang tuanya tak memperlakukan Nadi dengan baik, terlebih ibunya.

Dewi, ibunya, sejak awal sudah mendeklarasikan bahwa ia tidak bisa menerima Nadi sebagai cucunya. Awalnya Farid mencoba memaklumi, ia berpikir bahwa mungkin seiring berjalannya waktu Dewi akan luluh dan menerima anaknya. Namun, sampai usia Nadi tiga belas tahun, anak itu selalu menjadi cucu yang tak dianggap. Dewi terang-terangan memperlakukan Nadi dan cucu-cucu lainnya dengan berbeda. Nadi selalu melihat bagaimana bahagia dan sayangnya Dewi ketika Edo, anak dari Kakak Farid berkunjung ke rumah mereka.

Farid pun selalu mendapati Nadi yang diam di taman belakang rumah atau mengurung diri di kamar jika kedua orang tuanya sedang ada di rumah. Anak itu akan keluar jika Dewi menyuruh sesuatu. Dan Farid bersumpah bahwa ia paling tak suka saat melihat Nadi mencuci piring, mengepel atau pun melakukan pekerjaan rumah di saat mereka memiliki asisten rumah tangga.

"Biar anak itu nggak usah ngurung diri terus di kamar." Ujar Dewi saat Farid melarangnya untuk menyuruh Nadi mengerjakan pekerjaan rumah.

"Tapi Nadi habis pulang sekolah, Ma." Sanggahnya.

"Cuci piring juga nggak banyak, Rid. Kamu nggak usah lebay."

Pada akhirnya, Farid selalu kalah. Ia tak pernah bisa membela Nadi. Selama ini ia jengah dan merasa sesak melihat perlakuan orang tuanya pada Nadi. Dan ia ingin sekali mendengar Nadi berkeluh kesah padanya lalu ia akan memberikan pengertian pada anak itu. Namun, sampai Nadi beranjak remaja, anak itu sama sekali tak pernah berkeluh kesah padanya. Nadi seolah menyadari sendiri bahwa hidupnya tak diinginkan. Anak itu bahkan tak pernah protes pada Dewi dan selalu menjalankan perintahnya tanpa bicara. Dan inilah yang selalu Faris risaukan.

"Kalau Nenek suruh, kamu bisa nolak." Suatu hari, Farid pernah berkata seperti itu pada Nadi.

Anak itu menatapnya ragu, "Memang boleh?"

"Boleh. Kalau kamu nggak mau, kamu bisa nolak." Tegas Farid lagi. Ia ingin Nadi menjadi anak yang berani mengutarakan perasaannya.

"Kalau Nenek marah gimana?"

"Nggak apa-apa." Ucapan meyakinkan Farid tak cukup mampu membuat Nadi yakin karena setelahnya Nadi malah menggeleng. "Aku nggak mau Nenek marah. Aku nggak apa-apa, kok."

Meski begitu, Farid yang merasa tidak baik-baik saja. Sayangnya, ia hanyalah lelaki pengecut yang tak bisa membahagiakan anaknya sendiri.

Dan perasaan Farid semakin hancur saat hari ini pada pukul setengah delapan malam ketika Farid baru saja pulang kerja, ia mendapati Nadi yang berdiri di teras rumah dengan wajah bengkak sehabis menangis.

"Kenapa?" Tanyanya khawatir.

"Memew nggak ada." Gumamnya.

Farid mengernyit. Memew adalah kucing Nadi selama setahun ini. Anak itu memang memelihara kucing kampung yang tak sengaja ditemuinya di depan rumah.

"Kamu udah cari?"

"Memew dibuang. Dibawa sama truk sampah yang suka lewat." Jelas Nadi sambil menahan tangis.

Nadi | Seri Family Ship✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang