Bulan Januari merupakan awal dari tahun yang baru. Tak disangka, pada tahun barunya serta bulan pertamanya dihari keempat, ia harus siap meninggalkan kota tempat tinggalnya.
Bandung, telah menjadi saksi bisu atas perkembangan gadis berusia 15 tahun ini, selama 9 tahun lamanya. Banyak kenangan serta memori di kota tersebut yang melekat sempurna dikepalanya.
Sekitar jam 07.49 WIB. Sebuah suara menggema di dalam rumah tersebut. Seluruh ruangan terisi penuh oleh suara tersebut, hingga hilang perlahan bersama pertukaran angin di dalam sana.
"Ruh, ayo sini. Kita berdoa dulu sebelum kamu berangkat," ucap seorang lelaki yang tak lain ialah ayahnya sendiri. Lelaki dengan umur hampir 60 tahun ini sudah duduk tegak di kursinya. Menantikan sang buah hati untuk ikut bergabung.
Gadis itu sudah berpakaian rapih, serta jaket merah dari sang ibunda yang menjaga hangat tubuhnya. Ia pun berjalan dengan tegak menuju kursi kosong diseberang ayahnya.
Dirasa sudah siap, sang ayah mulai merapal doanya untuk anak-anaknya. Doa untuk sang kakak yang sedang study di Taiwan, kemudian si anak tengah yang siap untuk perantauan pertamanya, serta untuk sang adik yang masih menetap disana. Doanya didengar oleh seluruh penghuni rumah dan langit, hingga berakhir dikata, "aamiin."
Setelah doa selesai, gadis berjaket merah itu kembali ke kamarnya. Ia merasa takut, khawatir tak bisa menjaga baik dirinya, ia tak berani melepaskan segala hal yang ada disana.
Bingung, sebuah kata yang dapat menjelaskan apa yang ia pikirkan saat itu. Ia terus termenung hingga jam 09.58 WIB tiba. Sang ayah sudah menunggunya dihalaman depan rumah, tempat motornya terparkir.
Jantungnya berdegup cukup kencang, ia takut meninggalkan segalanya yang ada di kota Bandung ini. Perjalanan menuju kantor travel pun dimulai. Sepanjang perjalanan sering kali hati kecilnya berkata, "Papa.. aku takut."
Setengah jalan perjalanan mereka mulai terhambat oleh hujan deras. Dengan segera sang ayah mengendalikan motornya, membawanya ketepian untuk berteduh dibawah pohon sejenak.
"Dipake jas hujannya," ucap lelaki itu. Dengan segera gadis itu mengenakan baju jas hujannya, tidak dengan celananya. Aku tak peduli jika kaki ku basah, asal kepala dan badan ku tidak basah, aku tidak apa. Begitu pikirnya.
Perjalanan kembali dilanjutkan, semakin memasuki area kota Bandung semakin deras pula hujannya. Mereka basah kuyup diguyur hujan, air hujan mulai menggenangi jalanan. Sedikit banjir, cipratan air dimana-mana berkat mobil yang melaju kencang. Cukup jengkel, hingga akhirnya sampailah mereka di lokasi yang dituju.
Saat sampai, ia baru menyadari satu hal. Itu kali pertama dirinya hujan-hujanan bersama sang ayah. Baru kali itu pula, sosok ayah menemaninya menikmati hujan diluar.
Sosok yang selalu ia anggap pilih kasih itu, ternyata seseorang yang benar-benar sayang padanya. "Pah, papa gak pulang?" Tanya gadis berjaket merah itu. "Nunggu kamu berangkat dulu, baru papa pulang," balas lelaki itu.
Kenapa harus ditunggu? Padahal tak apa, tinggal saja diriku.. pasti bosan menunggu satu jam dengan ku, kan? Itulah yang ada dibenak gadis kecil itu.
Tapi sang ayah tetap setia menunggu bersamanya. Sesekali, sorot mata gadis ini menatap ke arah sang ayah. "Pah, aku bisa kah disana sendiri nanti?" Hati mungilnya berkata demikian.
"Pah, takut.. kalau aku gak bisa gimana..?" Tanya kembali hatinya.
"Pah, yakinin aku dong, bilang 'pasti bisa!' gitu.." hati gadis kecil itu terus berbicara. Hingga akhirnya tangan besar dengan permukaan kasar itu meraih tangannya.
"Di Jakarta nanti, baik-baik ya? Kalau ada sesuatu yang kamu bingung, bisa diskusiin ke mama atau papa. Kami selalu siap juga selalu ada kok buat kamu, ya." Kata-kata tersebut berhasil menyadarkan hati kecil gadis tersebut.
"Pah, maaf ya. Mungkin kata 'maaf' ini tak tersampaikan, tapi terimakasih pula atas segala hal yang sudah engkau bagi bersama ku." Hati kecilnya itu kembali mengucapkan sepatah dua kata.
Jam 12.30 WIB, mobil travel menuju Jakarta sudah siap. "Grogol!" Teriak salah seorang petugas disana. Sang ayah dengan segera membantu gadis tersebut membawakan kopernya.
"Ayo," ucap lelaki itu sembari membawakan barang sang buah hati. Lagi-lagi hati kecilnya berkata, "pah, aku udah siap?"
"Udah, langsung naik, Ruh." Pertanyaan dari hati kecilnya itu langsung dijawab mantap oleh sang ayah. Gadis itu menganggap jawaban tersebut sebagai tanda "Kamu siap."
Lagi lagi merasa takut, untuk kali terakhirnya ia memilih untuk salim kepada sang ayah. Setelahnya, tangan besar itu ditarik olehnya, anak itu langsung memeluk ayahnya, melepas sebentar kekhawatirannya. "E-eh, basah non," ucap sang ayah.
"Gapapa pah," balas gadis itu membiarkan jaketnya basah sedikit karena butiran air yang masih menempel pada jas hujan yang dikenakan ayahnya.
Pelukan singkat itu berhasil gadis itu abadikan. Mungkin saja jika pelukan tersebut dapat berbicara, mereka akan berkata seperti ini.
"Ruh, papa gak siap lepasin kamu." Raut wajahnya nampak khawatir akan terjadi sesuatu pada gadis kecilnya.
"Pah, aku takut gak bisa liat papa." Suaranya tak lagi terdengar karena dikelilingi oleh rasa takut yang luar biasa.
Perantauan pertama, dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4 JANUARI 2024] PELEPASAN
Short Story"Jikalau aku sudah disini, artinya aku sudah siap menjalani waktu selanjutnya." - Gadis Berjaket Merah -