3

1.1K 73 5
                                    

Bunyi bel pulang baru saja terdengar nyaring di seluruh penjuru sekolah elit itu. Para siswa langsung berhamburan keluar dan hendak meninggalkan sekolah. Namun berbeda dengan keempat sahabat itu yang masih duduk dibangku mereka masing-masing. Keempat siswa itu memilih untuk menunggu sampai keadaan sekolah sedikit sepi dan baru akan berjalan keluar.

"Yok Sya, ke ruangan bokap Lo." Rahsya yang baru saja selesai memasukkan alat tulisnya ke dalam tas menoleh kepada Gibran yang sudah akan beranjak.

"Ngapain?" Balas Rahsya yang juga ikut berdiri.

"Kan tadi kata Kak Al, Lo harus nunggu disana kalo gak mau minta dijemput sopir." Jawab Gibran lalu mengambil tasnya.

"Kak Al gak pulang?" Sahut Irsyad yang bingung sendiri karena menyimak percakapan kedua sahabatnya itu.

"Mau latihan basket dulu Syad. Ah elah tadi waktu istirahat Rahsya juga udah bilang." Balas Angga yang tidak mengerti mengapa memiliki sahabat pelupa seperti Irsyad.

"Jadi?" Tanya Gibran yang melihat Rahsya hanya diam memperlihatkan interaksi antara Irsyad dan Angga. Baginya kedua sahabatnya itu sangat lucu, entah kenapa alasannya ia pun tak mengerti.

"Gue mau main basket." Rahsya berucap lalu berjalan meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih diam. Ia berjalan menuju lapangan basket indoor yang terletak lumayan jauh dari tempat latihan basket kakaknya. Di sekolah itu memang memiliki lapangan basket outdoor dan indoor.

"Eh Lo gila! Kalo ka Al tau, bisa abis Lo" Gibran berkata setelah menyamakan langkahnya dengan Rahsya.

Namun Rahsya hanya diam dan tetap melanjutkan langkahnya. Sudah dua Minggu sejak vonis itu dinyatakan dan selama itulah ia tak pernah menyentuh bola basket karena dilarang oleh keluarganya. Tapi entah kenapa hari ini ia ingin melanggar aturan itu, aturan yang membuatnya merasa terkekang karena tak bisa bebas seperti teman-temannya.

o0o

Bunyi perpaduan antara bola basket dengan lantai dasar lapangan basket terdengar ketika Rahsya mulai mendribel benda bulat itu. Seragammya sudah dilepas dan berganti dengan kaos itu mulai terlihat basah karena keringat.

Demi persahabatan, akhirnya ketiga remaja itu mengikuti permainan basket Rahsya. Mereka tidak memikirkan jika nantinya akan dimarahi oleh Al, karena bagi mereka kebahagiaan Rahsya itu lebih penting.

Tiga puluh menit mereka bermain basket dan sekarang keempat remaja itu tengah beristirahat di pinggir lapangan.

"Jangan bilang Kak Al." Ucap Rahsya tiba-tiba setelah meneguk setengah botol air mineral.

Ketiga sahabatnya itu hanya mengangguk namun di dalam hati mereka timbul keraguan karena tidak mungkin mereka akan berbohong dengan kakak sahabatnya itu.

Hingga getaran dari salah satu ponsel mengalihkan atensi mereka yang sedang terdiam.

"Halo kak?" Telepon itu berasal dari handphone milik Rahsya.

"Halo dek, Lo di mana? Gue cari di ruangan Ayah kok nggak ada?".

Deg.

"G-gue, gue masih di kelas kak." Jawab Rahsya yang terpaksa bohong pada Kakaknya.

"Bener? Ya udah gue susulin ke kelas Lo ya".

"Emm gak usah kak, ini gue sama temen-temen. Abis ini mau langsung ke parkiran, Lo tunggu disana aja".

"Ki-kita abis main basket Kak." Jawab Gibran dengan menundukkan kepala serta kedua jemari tangannya yang saling meremat.

"Masuk dek." Perintah Al kepada adeknya yang masih diam.

"Ta--".

"Masuk!!" Bentak Al ketika adeknya itu ingin mengatakan sesuatu.

"Ikut gue." Ucap Al lalu beranjak untuk sedikit menjauh dari mobilnya.

"Kalian tau kan, Rahsya gak boleh kecapean?" Setelah berada agak jauh dari mobil. Al berucap kepada tiga remaja itu dan hanya dibalas anggukan oleh mereka.

"Kenapa kalian ngebolehin adek gue main basket?" Tanya Al sekali lagi.

Setelah hening beberapa detik akhirnya Gibran mengeluarkan suaranya.

"Lo yang gak ngerti kak. Lo gak ngerti gimana terkekangnya adek Lo dengan semua aturan yang harus dia ikuti. Lo gak tau gimana hancurnya dia waktu dia divonis kanker setelah vonis buta warna yang gak ajan pernah sembuh dari dia kecil. Gue cuma mau Rahsya seneng kak." Jawab Gibran dengan menatap tajam ke arah Al.

Lantas mereka hanya diam dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga sebuah suara seorang laki-laki mengalihkan atensi mereka. Dia adalah Rey, sahabat serta teman satu tim Al yang mengatakan jika Rahsya pingsan setelah anak itu hendak berjalan keluar dari mobil untuk menemui kakaknya.

"Dek, adek bangun dek!" Al memangku kepala Rahsya, lalu menepuk pelan pipi tirus remaja itu.

"Bawa ke rumah sakit aja Al" ucap Rey yang melihat sahabatnya itu sudah menangis histeris dengan memeluk tubuh lemas Rahsya.

Al menggendong tubuh Rahsya lalu masuk ke dalam mobil dengan Rey yang menyetir.

Ketiga sahabat Rahsya juga mengikutinya dengan menaiki motor mereka masing-masing.

"Dek bangun, maaf maafin gue. Gue bego dek, gue emang bego. Gue udah tinggalin ko sendiri di mobil, maaf dek maaf. Please bangun!!" Racau Al ketika berada di mobil dan memeluk tubuh lemas Rahsya.

Ia merasa bersalah, ia merasa bodoh. Dan ia merasa sudah menjadi kakak yang gagal dan buruk di waktu bersamaan. Seharusnya ia langsung mengajak adeknya pulang. Seharusnya ia tidak perlu membuang waktu untuk memarahi ketiga sahabat adeknya. Dan seharusnya ia tidak meninggalkan Rahsya yang kesakitan setelah mendapat bentakan dari dirinya. Banyak kata seharusnya yang memenuhi pikiran seorang kakak itu, hingga ia tidak mengerti apakah ia hidup dalam bayang-bayang kata seharusnya atau memang dalam kenyataan.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang