9. Harus Tahu Diri

81 17 116
                                    

─aku berdoa pada Tuhan,

merayunya dari atas tadahan tanganku,

merayunya dari tiap untai kata yang ku ucap,

berdoa, agar kamu dan orang-orang di sekelilingku selalu sehat dan terus bahagia,

denganku atau tanpaku─

≈Ti amo≈

Aku meringkuk di sudut kamar. Di atas lantai kamar yang dingin ini. Memeluk tubuhku sendiri. Membiarkan rasa dingin masuk ke dalam tubuh hingga aku mati rasa.

Lampu kamar yang kubiarkan mati, gorden jendela yang sengaja gak ku buka menambah suasana gelap di dalam kamarku, padahal sekarang kalo gak salah hari udah siang.

Eh, tapi kayaknya aku beneran mati rasa. Karena aku udah tiga hari duduk di lantai ini, gak keluar kamar sejak malam itu. Bokongku rasanya udah kebas tapi aku tetap gak peduli. Aku masih pada posisiku, yaitu duduk di lantai kamar ini.

Gedoran demi gedoran yang ku dengar dari balik pintu kamarku gak berhenti sejak kemarin. Baik suara Bang Fadhil, suara Bang Riko, maupun suara Mama saling bersahutan memanggilku dan sesekali membujukku untuk makan dan keluar kamar. Kecuali suara Oma dan Papa, gak ada sama sekali terdengar.

Aku menenggelamkan kepalaku di atas lutut. Membiarkan semua isi pikiran tenggelam dengan rasa sakit yang masih bisa ku rasa. Untuk menangis pun rasanya aku gak mampu lagi. Air mataku mendadak kering.

Tiga hari, selama itu juga aku mengabaikan panggilan dan pesan teks di hapeku. Sekarang mungkin Gea dan Mitha lagi mencariku, Aleandro pun juga mungkin kebingungan karena panggilan video dan semua pesannya yang gak aku jawab.

Maaf pacar ku yang ganteng, aku butuh waktu sendiri. Semua ini kayak mimpi yang terasa nyata. Mungkin ini memang mimpi. Kalo aku keluar kamar sekarang, semua akan balik kayak semula. Ucapan menyakitkan yang sebelumnya ku dengar dari Papa sebenarnya cuma menjadi bunga tidur ku aja.

Fakta aku adalah anak angkat yang diambil di depan pagar rumah adalah cerita dogeng yang Mama bacakan sebelum tidur.

Seandainya, seandainya itu semua memang mimpi sesuai dengan keinginanku, tapi sayangnya itu semua fakta yang terus menghantui pikiranku.

Badanku udah lemas banget, mungkin karena gak ada masuk apa-apa selama tiga hari ini. Aku menyiksa diri sendiri dengan sangat keras.

Kedua lututku lagi-lagi gemetaran saat aku ingin berdiri, aku terpaksa mendudukkan lagi bokongku di lantai yang dingin ini. Gak bisa, aku lemas banget. Kayaknya ini adalah tips diet ala aku biar cepat turun berat badan.

Enggak, aku bercanda. Jangan coba-coba kalo kalian bukan aku.

Aku lemas banget. Perutku rasanya perih karena menahan lapar dari kemarin, padahal tadi baik-baik aja, mungkin efeknya mulai terasa.

"Ay, menjauh dari pintu, ya."

Aku gak tau itu suara siapa, entah Bang Fadhil atau Bang Riko. Aku lupa. Mata dan kepalaku berat banget, pengen tidur aja rasanya.

Beberapa kali sesuatu yang menghantam pintu kamarku masih dapat ku dengar dengan jelas, seseorang seperti ingin mendobrak pintu kamarku dan dibuka secara paksa. Aku yang masih punya kesadaran sekitar beberapa persen melihat seseorang berhasil masuk ke dalam kamar.

Pandangan mataku yang mengabur saat dia berdiri di ambang pintu mulai terlihat jelas saat orang itu berjalan mendekat. Aku pikir itu Bang Fadhil atau Bang Riko. Tapi aku salah, itu Aleandro.

Ti amo [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang