Hari-hari pembalasanku dimulai setelah perlombaan itu. Jessi dan teman-temannya mulai bertingkah menjengkelkan. Baru saja satu minggu setelah pengumuman pemenang, mereka sudah mulai mengincarku kembali.
Aku kembali berangkat ke sekolah bersama dengan Mark. Sekarang kami tak begitu canggung berangkat ke sekolah bersama. Ayah juga kadang-kadang mengantar kami.
Sesampainya di gerbang, Mark memilih untuk lewat pintu belakang karena khawatir para siswi akan mengerubunginya. Makhluk itu mulai populer rupanya.
"Wah wah, siapa pecundang ini?" Jessi menyambutku dengan nada angkuh seraya bersedekap. Sebuah gagang permen menempel di sudut bibirnya.
Aku berhenti, disekelilingku banyak sekali boneka Anabelle. Aku tak membuka mulut.
Tanpa aba-aba, kedua temannya menarikku ke suatu tempat. Ya, tempat favorit mereka saat 'menghajar' seseorang.
Aku menggulirkan mata ke atas, ke sebuah tembok pembatas. Dulu aku suka nongkrong disana. Sekilas aku menyungging senyum.
Kedua temannya itu langsung mendorong kedua bahuku ke bawah hingga aku kini dalam posisi bersimpuh. Rasanya kakiku yang kram itu kembali berdenyut.
"Beginilah seharusnya babu menghadap," kata Jessi puas.
Aku pun terkekeh lalu tertawa. Membuat mereka kebingungan.
"Babu? Sejak kapan? Setelah aku bangkit dari kematian, aku bukanlah babumu. Yah, walaupun dulu aku memang bodoh mau saja di perbudak sama kalian para muka badut," ujarku sarkas.
Aku tidak menatap mata mereka, tapi setelah aku berbicara semua terdengar hening. Aku tahu mereka sangat kesal. Aku mulai menikmati hal ini.
Kemudian Jessi menarik kerahku, menarikku dan mendekatkan wajahku padanya. Matanya menyorot tajam dan berapi-api.
"Hei, kau mau mati, ya?" Jessi melotot.
"Bukankah aku sudah mati sekali?" Aku membalas dengan santai. Jessi terhenti.
Aku melihat tangannya bergetar, seakan ingin mulai menamparku seperti ia menampar Arshea pada saat dahulu.
"Whoa, tanganmu tremor? Sepertinya kau perlu ke dokter." Aku tersenyum dan sebisa mungkin tidak terpancing emosi.
"Kurang ajar!" Jessi hendak melayangkan tamparan, namun dengan cepat aku menahan tangannya sebelum mengenai pipiku.
"Dengar ya anak manja, aku bukanlah Arshea yang kau kenal dulu. Mungkin Arshea yang dulu diam saja saat kalian menindasnya, tapi kini tidak. Aku tidak akan membiarkannya," ujarku dengan nada dingin. Sorotan mataku juga tak kalah tajam.
Jessi terlihat terkejut. Aku segera membuang cengkeramanku dan berbalik. Aku melirik Susi yang nampak diam saja dan menunduk kebawah.
"Selamat bergabung dengan anak manja ini, Susi," ujarku seraya berlalu.
Sambil berjalan aku merasa bangga, wah, keren sekali aku tadi! pikirku beberapa saat. Tapi, apakah gertakanku berhasil?
Aku melengos dan duduk di kursiku. Kursi Susi yang masih kosong membuatku sedikit sedih. Mungkin jika Arshea masih hidup, dia akan lebih sedih daripada aku.
Aku mengeluarkan sebuah buku dan mulai membaca sedikit sebelum kelas dimulai. Tak lama kemudian, aku melihat Mark memasuki kelas dengan kerah baju yang sedikit berantakan.
"Kau habis berantem?" tanyaku sesudah Mark duduk dengan hembusan napas yang terdengar dalam.
"Yah, sama para wanita. Lewat pintu belakang lebih mengerikan daripada yang kukira," sahut Mark lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I've Become My Master
ФэнтезиSetelah insiden bunuh diri itu, majikanku terbaring koma dan meninggal. Aku, sebagai kucing peliharaanya, tidak tega melihat majikanku tertidur dengan begitu pulasnya di peti mati yang berukir warna emas. Aku melihat sosok tampan dengan sayap dan ju...