Senin pagi yang menyebalkan tiba, matahari dengan semangat memunculkan diri menghangati dan menyinari manusia-manusia banyak dosa. Hari senin yang semua orang bayangkan seburuk-buruknya hari, namun bagi Enggal cowok jangkung berkulit putih, bersurai hitam kecoklatan itu sudah bersiap dengan seragam putih abu-abu nya. Baginya, hari senin itu tidak terlalu buruk jika setiap pagi ia menjemput sang gadis pujaan hatinya yang berparas manis seperti gula nan tinggi bertubuh ideal.
Tepat pukul enam lebih tiga puluh menit Enggal keluar rumah setelah berpamitan dengan ibunya. Dengan semangat, ia mengambil sepedanya di garasi dekat gudang rumahnya. Sepeda onthel alias sepeda jengki kesayangannya itu lah yang setiap hari menemani pulang-pergi ke sekolah bersama sang gadis pujaan hatinya. Cukup jauh dengan jarak kurang lebih dua kilo meter menuju rumah pujaan hatinya itu, tapi baginya itu tak masalah karena toh searah dengan sekolahnya.
"Kulo nuwun ... (permisi) Gendhis" panggil Enggal dari depan gerbang rumah Gendhis yang bernuansa cat putih serta tanaman yang terlihat asri mengelilingi rumahnya. Ia baru saja sampai dengan senyum mengembangnya. Sedetik kemudian ia memarkirkan sepeda jengki kesayangannya itu didepan gerbang.
"Gendhis, itu Mas Enggal sudah datang. Jangan lama-lama, kasian Mas Enggal le nunggu," teriak Indri ibunya Gendhis yang terlihat keluar dari pintu rumah sambil menenteng ember berwarna hitam yang didalamnya ada pakaian yang sepertinya akan di jemur di tali jemuran depan rumah.
"Enggih (iya), Bu ..." jawab Gendhis yang sedikit teriak dari dalam kamar terdengar hingga depan pintu rumah.
"Eh ... Mas Enggal ..., sini le (panggilan nak untuk anak laki-laki) masuk dulu. Di tunggu di sini aja" ibunya Gendhis mempersilahkan masuk sambil membuka gerbang untuk Enggal.
"Sudah tidak apa, Bu pasti sebentar lagi juga Gendhis keluar kok, hehe" ujar Enggal tersenyum kuda sambil menunduk menjabat dan mencium tangan ibunda Gendhis. Sedetik kemudian terdengar hentakan kaki seseorang berlari dari depan rumah tersebut menuju gerbang.
"Ibu, Gendhis berangkat dulu nggih (ya)" pamit Gendhis pada ibunya sambil menunduk menjabat mencium tangan ibunya.
"Iya ..., hati-hati ya ..., Mas Enggal nyepedanya hati-hati jangan ngebut-ngebut nggih le ... (ya nak)" peringat Indri sambil mengelus lembut rambut Gendhis.
"Enggih, Bu. Kula kalih Gendhis pamit riyin nggih, Bu ..."
"Iya Bu. Saya sama Gendhis pamit dulu ya, Bu ..." pamit Enggal yang juga menunduk menjabat tangan ibunya Gendhis yang setelahnya mengambil sepedanya. Lalu keduanya berangkat bersama.***
Bunyi lonceng sekolah terdengar dibunyikan, Enggal dan Gendhis baru saja tepat tiba di SMA Prasajaraga. Semua siswa-siswi berhamburan ke tengah lapangan untuk melaksanakan upacara, ada juga yang bergegas cepat masuk ke dalam pintu gerbang karena gerbang sudah hendak segera ditutup oleh Pak Tri satpam SMA Prasajaraga. Baru saja tertutup rapat, datang dua cowok jangkung berseragam putih abu-abu yang tidak dimasukkan.
"Telat meneh, Mas?"
"Telat lagi, Mas?" goda Pak Tri dari sebalik gerbang sambil bersedekap dada tersenyum simpul."Ndadak takon"
"Pake nanya" gumam Bima sambil menatap jengah Pak Tri."Biasa aja kali, Mas liatinnya. Alasan apa lagi hari ini?" tanya Pak Tri sambil berjalan mendekati Bima dan Arka.
"Makanya to, Mas berdua ini, gek ndang punya pacar koyo Mas Enggal itu lo. Berangkatnya ndak pernah telat, soalnya kan jemput pacarnya. Jadi semangat bangun pagi" ujar Pak Tri yang sedikit menyindir.
KAMU SEDANG MEMBACA
WETON [vers 2]
Historical Fiction⚠️KISAH INI DIAMBIL DARI TANAH JAWA YANG SUDAH TURUN TEMURUN. TOLONG MENJADI PEMBACA YANG BIJAK, WETON YANG SAYA ARTIKAN MEMANG BENAR, TAPI BUKAN BERARTI CERITA SAYA ADA DI REAL LIFE. SAYA HANYA MENULISKAN ISI IMAJINASI SAYA⚠️ "Kita hitung dulu puny...