9

684 62 2
                                    

Pertemanan antara Noah dan Rahsya serta sahabatnya semakin hari semakin erat. Bahkan tak jarang Noah mengantarkan Rahsya pulang ke rumah jika Al akan pulang terlambat karena latihan basket.

Bunda serta Ayah juga sudah mengenal Noah. Sejak seminggu yang lalu ketika Noah diajak oleh Rahsya untuk mampir ke rumahnya bersama ketika sahabatnya yang lain.

Seperti hati ini, kelima remaja laki-laki itu sedang merencanakan untuk mengunjungi panti asuhan yang dimiliki keluarga Karunasankara. Karena sudah hampir sebulan, mereka tidak pernah datang ke sana. Ditambah lagi pada guru akan melaksanakan rapat siang nanti, jadi siswa-siswi akan pulang tiga jam lebih awal dari biasanya.

"Langsung aja yok!" Ujar Gibran yang sudah merapikan semua alat tulisnya setelah bel pulang berbunyi.

"Eh bentar Gib, gue lupa ngasih tau kak Al." Balas Rahsya lalu tangannya sibuk menari di atas layar handphone untuk mengirim pesan singkat pada kakaknya.

"Yok guys!" Ajaknya kemudian keluar dan diikuti ketiga sahabatnya.

Sesampainya di luar kelas, ternyata sudah ada seseorang yang menunggu mereka. Siswa itu terlihat duduk tenang pada bangku panjang dengan tangan yang sibuk mengutak-atik benda pilih bewarna hitam.

"Baru aja kita mah samperin ke kelas Lo. Eh ternyata Lo-nya udah di sini" ucap Rahsya yang langsung duduk di samping Noah.

"Hehehe, iya Sya. Gue udah keluar kelas dari tadi" jawab Noah yang tengah memasukkan handphone nya ke dalam saku celana.

"Udah yok, cabut!" Ajak Irsyad kepada keempat temannya.

Ketika baru saja berdiri dari duduknya, Rahsya langsung meringis seraya memijat pelan pangkal hidungnya.

"Kenapa Sya?" Tanya Noah dengan raut khawatir.

Noah sudah mengetahui semuanya, tentang keluarga Rahsya. Tentang penyakit Rahsya, juga tentang kekurangan Rahsya yang tidak bisa melihat warna seperti orang normal.

"Pusing" keluh Rahsya dengan suara lirihnya.

"Pulang aja ya, gue telfonin kak Al." Bujuk Gibran dengan salah satu tangan yang merangkul Rahsya.

Sedangkan Rahsya hanya menggelengkan kepala. Ia sudah lama tidak bermain dengan anak-anak panti, dan ia sangat merindukan mereka.

"Oke, tapi jangan lama-lama ya disana." Putus Gibran lalu membantu Rahsya berjalan ke parkiran sekolah menuju mobilnya.

o0o

Pukul empat sore Rahsya sudah sampai di rumahnya. Ia diantar oleh Gibran, sedangkan temannya yang lain sudah pulang terlebih dahulu dengan kendaraan mereka masing-masing.

"Mampir dulu Gib" ajak Rahsya sebelum membuka pintu mobil.

"Gak usah deh Sya. Gue langsung balik aja. Lo langsung istirahat! Gak usah bandel!" Nasihat Gibran yang sudah seperti seorang Ayah kepada anaknya.

"Ishhh iya iya bawel banget si Lo. Udah sana pulang, gak usah ngebut-ngebut. Inget nyawa Lo cuma satu!" Balas Rahsya tak kalah cerewetnya.

Lalu mobil berwarna hitam itu meninggalkan kediaman Rahsya dan membelah padatnya jalan raya ibu kota di sore hari.

"Assalamualaikum, Rahsya pulang." Rahsya mengucapkannya dengan suara yang lirih. Ia merasa sangat lemas padahal hanya berkunjung ke panti. Di sana pun ia tak bermain kejar-kejaran dengan anak-anak panti karena ia paham dengan kondisi tubuhnya sendiri.

"Waalaikumsalam, adek udah pulang. Ya udah sekarang kamu mandi dulu habis itu ke ruang tengah ya, Bunda udah bikin brownies kesukaan adek." Ujar Bunda yang hanya dijawab anggukan oleh Rahsya.

Selepas kepergian Rahsya, Bunda merasa ada yang aneh dengan anaknya itu. Rahsya terlihat lemas dan tidak cerewet seperti biasanya. Lalu wanita cantik itu berbalik menuju tangga untuk menghampiri Rahsya yang pasti sudah ada didalam kamar.

Sesampainya di kamar Rahsya, Bunda dikejutkan dengan pemandangan anaknya yang tengah menggigil di balik selimut tebal yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.     Kemudian Bunda menempelkan telapak tangannya pada dahi Rahsya dan ia sangat kaget dengan suhu tubuh anaknya yang sangat tinggi.

Tanpa pikir panjang, Bunda langsung berlari ke dapur untuk mengambil sebaskom air dan handuk kecil untuk mengompres anak bungsunya.

o0o

Brak

Pintu jati itu terbuka dengan kasar menampilkan sosok laki-laki berseragam SMA yang sudah kusut di tubuhnya. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir, pun dengan dadanya yang naik turun tak beraturan karena dirinya berlari sepanjang anak tangga menuju kamar sang adek.

Al berjalan mendekat ke arah Rahsya yang tengah tertidur membelakangi pintu. Lalu tangannya terangkat untuk mengelus pekan rambut lepek Rahsya hingga tak Kana sebuah lenguhan kecil keluar dari mulut anak itu.

"Eh, kakak ganggu ya? Maaf ya dek?" Ucap Al tak enak pada adeknya yang terbangun akibat ulahnya tersebut.

Rahsya hanya menggeleng pelan dan kembali merapatkan selimut yang tengah ia gunakan.

"Kakak baru pulang?" Tanya Rahsya dengan suara yang terdengar lemas.

"Iya, kakak abis latihan tadi." Jawab Al, setelah itu terdengar suara pintu terbuka menampilkan sang Bunda yang membawa sebaskom air dan handuk kecil berwarna putih.

"Kak, adeknya biar istirahat dulu. Kamu mandi aja sana!" Ucap Bunda yang membantu Rahsya untuk berganti pakaian sebelum mengompres dahinya.

"nanti dulu lah Bun, kakak masih mau disini" tolak Al dengan muka yang sudah ditekuk.

"Mandi atau Bunda larang kakak main basket lagi!" Tegas Bunda dengan kedua mata yang sudah melotot.

Kemudian Al langsung berlari keluar dari kamar sang adek menuju kamarnya sendiri untuk melaksanakan perintah Bundanya.

"Kakak kamu itu dek" ucap Bunda seraya tersenyum.

"Anak Bunda juga itu" balas Rahsya lalu ia membaringkan tubuh lemasnya di atas kasur king size miliknya.

o0o

"Ayah" ketika membuka kedua matanya, Rahsya langsung disuguhkan parah tampan milik Ayahnya yang sejak tadi memperhatikannya tertidur serta mengelus Surai hitamnya.

"Iya dek. Bangun yuk udah mau Maghrib, gak baik kalo jam segini tidur." Ucap Ayah lantas anaknya itu hanya menguap dan mengucek-ngucek salah satu matanya.

"Jangan dikucek dek matanya!" Peringat Ayah dengan jemari yang menggenggam kedua lengan sang putra.

"Udah yuk bangun." Lanjutnya dengan kedua tangan yang membantu Rahsya berdiri.

"mau wudhu sendiri apa dibantuin?" Tawar Ayah ketika Rahsya hendak berjalan ke kamar mandi.

"Sendiri lah, emang Rahsya anak kecil!" Balas Rahsya dengan suara ketusnya yang langsung membuat Ayah tertawa, gemas akan tingkah putranya yang satu ini.

Kemudian Rahsya melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi untuk berwudhu lalu malaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang