18. Hidup yang berliku

11 5 15
                                    

18

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

18. Hidup yang berliku

Aku terlalu berharap pada jalan yang lurus saja, sehingga aku lupa bahwa jalan yang sudah ku lewati begitu berliku. Ternyata benar, aku bisa.

_Alvaro Aidan Melviano_

•••

   Pagi ini langit sangat cerah, secerah hati seorang gadis yang sedari tadi sedang berkutat di ruang dapur. Setelah menunaikan shalat subuh tadi, Thanisa bergegas ke dapur untuk memasak bubur kacang hijau. Sudah satu minggu, selama Thanisa kembali bersekolah dirinya tidak berjualan bubur. Dan hari ini gadis itu berniat untuk menjual buburnya di sekolah.

"Di kantin sekolah gak ada yang jualan jajanan kayak begini. Semoga aja dengan begitu, banyak yang suka kalau aku jual di sekolah." Ucap Thanisa seraya memasukkan cup berisikan bubur kacang hijau buatannya ke dalam plastik besar.

Thanisa teringat sesuatu, ia mendudukkan dirinya di kursi kayu yang berada di sudut dapur. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar dengan kencang dan matanya mulai memanas. Ingatan itu kembali berputar di otak Thanisa, seolah sedang menayangkan sebuah film tentang ingatan-ingatan yang telah lama berusaha ia lupakan.

"Thanisa gak pernah nyangka, kalau Thanisa bakal hidup seorang diri sampai Thanisa sebesar ini. Dulu, Thanisa selalu memiliki keinginan untuk hidup bahagia di rumah sederhana bersama Ayah dan Ibu."

"Tapi, siapa yang menyangka kalau ternyata semesta tidak berpihak sama Thanisa. Mereka pergi meninggalkan Thanisa tanpa Thanisa memiliki bekal apapun."

Tangan Thanisa bergetar, hal yang selalu di rasakannya ketika kembali mengingat figuran kedua orang tuanya. Air matanya luruh begitu saja, membasahi pipi mulus miliknya tanpa rasa bersalah. Jari jemari lentik Thanisa memegangi dadanya yang terasa begitu sesak, Thanisa berusaha menstabilkan emosinya, menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan perlahan.

"Dari banyaknya manusia di dunia ini, kenapa harus Ayah dan Ibu yang memberi luka untuk Thanisa? Thanisa gak sekuat itu yah, bu."

"Thanisa kira, Ayah itu cinta pertama untuk Thanisa. Tapi, ternyata Thanisa salah, Thanisa salah karena pernah berfikir kayak gitu. Karena kalian, buat aku harus hidup penuh kebencian untuk cinta."

Thanisa menghapus sisa air matanya, beranjak dari kursi kayu tadi dan berjalan ke arah kamar. Kamar kecil dengan nuansa berwarna putih, terlihat rapih dengan barang-barang yang tersusun pada tempatnya. Thanisa mengambil sesuatu dari dalam lemari, buku kecil berwarna biru, buku itu adalah diary Thanisa, buku yang selama ini menemani ruang gelap, kehampaan, dan kesunyian dalam hidupnya.

Thanisa melampaui nestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang