12

638 54 2
                                    

Sosok itu masih setia terpejam erat dengan infus yang berada di tangan kirinya serta masker oksigen juga bertengger di hidung mancungnya. Ia tidak terusik sedikit pun meskipun sang Bunda menangis sesenggukan di samping brankar dan Al yang tak henti-hentinya memanggil namanya agar dia mau membuka mata.

Ceklek.

Suara pintu terbuka menampilkan sosok pria ber jas hitam yang biasa mereka panggil dengan sebutan Ayah. Pria itu datang dengan nafas yang tersengal-sengal akibat ulahnya berlari dari loby rumah sakit. Bahkan rambut yang biasanya tertata rapi itu sekarang terlihat sangat berantakan dan lepek.

Ia berjalan mendekat ke tempat dimana sang putra bungsunya sedang terpejam. Ia genggam tangan yang lebih kecil darinya dan ia cium kening sang putra dengan lembut.

"Dek" semua kata yang ingin ia ucapkan tiba-tiba hilang begitu saja. Pria Itu hanya bisa menggigit bibir bawah agar tidak meloloskan air matanya.

"maaf" ucapan itu meluncur dari mulut Al dengan pelan. Ia masih setia memandangi adeknya yang masih terpejam.

"Maafin kakak yang gak bisa jagain adek di sekolah." Lanjutnya dengan menatap wajah Ayah yang tengah terdiam.

Sang Ayah hanya tersenyum sendu lalu tangannya terangkat untuk mengacak pelan rambut putra sulungnya.

"Kamu gak salah kak. Ayah yakin adek bakal baik-baik aja".

Al hanya mengangguk mantap, ia juga yakin adeknya akan baik-baik saja. Namun jika bernafas saja harus memakai alat bantu, apa adeknya masih bisa dikatakan baik-baik saja?

o0o

"Assalamualaikum om".

"Waalaikumsalam, ayo masuk. Baru pulang sekolah langsung ke sini ya?" Balas Ayah setelah membuka pintu ruang rawat Rahsya dan menemukan ketiga sahabat anak bungsunya itu.    Lantas keempat lelaki itu berjalan menghampiri Rahsya yang sudah lebih baik dari tujuh jam belum terbangun dari pingsannya.

"Maaf ya, Rahsya nya belum bangun. Jadi dikacangin deh" ujar Ayah seraya tertawa sumbang dan sempat mengusap sedikit air matanya yang tiba-tiba keluar.

"semoga Rahsya cepet bangun ya om. Oh ya, Bunda sama kak Al di mana om?" Balas Gibran dengan tangan yang sedari tadi mengusap kening hangat Rahsya.

"Mereka lagi pulang Gib, ngambil keperluan Rahsya selama dirawat." Jawab Ayah tak lupa dengan senyuman hangatnya.

Keempat pria tampan itu terlarut dalam obrolan ringan mengenai kondisi Rahsya akhir-akhir ini serta kegiatan-kegiatan sekolah yang membuat Rahsya menjadi kelelahan dan berakhir collapse.

Hingga suara pintu terbuka mengalihkan perhatian mereka ke pintu yang terbuka.

Terlihat seorang dokter dan perawat berjalan menghampiri brankar tempat Rahsya berbaring.

"Anak gue kenapa gak bangun-bangun ya Fi?" Tanya Ayah setelah dokter tampan itu selesai memeriksa Rahsya.

"Kondisinya udah drop dari beberapa hari yang lalu, dan ini puncaknya Thir. Kenapa gak bawa Rahsya ke sini dari kemarin?" Balas Dokter Rafi dengan tatapan sendu yang mengarah kepada mata terpejam milik Rahsya.

Pria itu hanya menghela nafas lemah. "Dia selalu nolak kalau diajak ke rumah sakit Fi, gue gak tega kalau harus maksa Rahsya." Jawabnya.

"Lo yang sabar ya Thir, gue tau Rahsya kuat. Dia akan lebih kuat dari mendiang anak gue" ucap Dokter Rafi dengan menepuk pelan pundak sahabatnya itu.

"Thanks Fi" balas Ayah yang hanya dijawab anggukan oleh Rafi dan setelahnya dokter serta perawat itu pamit untuk keluar dari kamar rawat Rahsya karena harus memeriksa pasien yang lain.

o0o

Keempat teman Rahsya sudah pamit untuk pulang sejak satu jam yang lalu. Bunda serta Al pun sudah sampai di rumah sakit sekitar dua puluh menit setelah anak-anak itu pulang. Namun, tidak ada sedikitpun tanda-tanda Rahsya akan terbangun dari pingsannya.

Bunda yang masih setia duduk di samping brankar Rahsya semenjak kedatangannya ke ruangan ini. Sedangkan Al memilih duduk bersandar di sofa yang terletak di pojok ruangan itu.

"Bun, udah waktunya shalat Maghrib. Kakak shalat dulu ya, tapi di sini aja" ucap Al. Sang Ayah sedang kembali ke rumah untuk membersihkan diri. Maka Al memilih melaksanakan kewajibannya di ruangan itu saja.

"iya, kakak shalat dulu. Nanti gantian" balas Bunda menoleh ke arah anak sulungnya.

Wanita cantik itu tidak pernah lelah untuk menunggu sang putra terbangun. Tangannya juga tak henti-hentinya mengajak Surai hitam Rahsya. Serta sesekali ciuman hangat ia daratkan pada kening hangat putranya.

Ia melihat anak sulungnya yang tengah mengadahkan kedua tangannya. Memanjatkan doa yang selalu anak itu minta. Bunda tau, dibalik tegarnya sosok Al. Ia adalah orang yang paling lemah jika dihadapkan dengan situasi seperti ini.

Al hanya ingin semua orang tidak melihat sisi rapuhnya, terutama Rahsya. Adeknya yang manja, adek tersayangnya.

Setelah shalat, Al mendudukkan tubuhnya pada tempat yang baru saja di pakai sang Bunda. Dan sekarang wanita berhijab itu tengah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah.

Permintaan Bunda selalu sama. Sebagai seorang Ibu, ia hanya ingin anak bungsunya sembuh dari penyakitnya. Bayang-bayang tentang kepergian Rahsya selalu datang kala ia tengah memikirkan keadaan anak itu.

o0o

Al tersentak ketika merasakan jemari Rahsya yang tengah digenggamnya itu bergerak. Ia lalu mengangkat kepalanya dan benar saja, mata indah itu sudah terbuka meskipun binarnya masih tetap redup.

Jarum jam sudah menunjukkan angka 12 malam. Bunda dan Ayah juga sudah tertidur di sofa. Meski awalnya menolak, namun mereka dipaksa oleh Al untuk beristirahat saja.

"Dek, hei ini kakak" ujar Al dengan tangan yang menggenggam erat tangan Rahsya.

"Ka-kak" panggil Rahsya dengan suara yang terdengar lemah dan parau.

"Iya dek" balas Al lalu mencium kening Rahsya singkat.

Bunda yang mendengar suara kecil itu langsung membuka kedua matanya. Kelopaknya melebar ketika melihat sosok yang disayanginya membuka mata setelah berjam-jam ia nantikan.

"Adek" panggilnya kemudian berhambur memeluk tubuh ringkih Rahsya yang masih terbaring di atas brankar rumah sakit.

Ayah juga ikut terbangun karena suara itu. Ia berjalan mendekat ke tempat istri dan anaknya berada.

"Bu-nda A-ayah".

Suara itu yang sejak siang tadi mereka nantikan akhirnya terdengar juga. Rasa kantuk yang tadinya menyerang ketiga orang itu, kini menghilang entah kemana.

Rahsya.

Anak laki-laki itu masih akan tetap berjuang. Berjuang melawan maut, bertahan untuk tetap bisa menyebarkan senyumannya kepada dunia.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang