13

623 57 2
                                    

Anak itu tidak melunturkan senyumannya semenjak keempat sahabatnya itu datang menjenguk dirinya.

Tubuhnya bahkan sudah bisa duduk dengan bersandar pada kepala ranjang meskipun nassal canula itu tetap bertengger di hidung mancungnya.

"Kenapa Sya?" Tiba-tiba Gibran melihat anak itu tengah memejamkan matanya dengan kerutan halus di keningnya.

"Pusing" balas Rahsya pelan.

Dengan sigap Gibran langsung memijat pelan dahi Rahsya berharap agar pusing pada kepalanya itu menghilang. "Tiduran aja ya" ucapnya.

Rahsya hanya menggeleng lemah dengan kedua mata yang masih tertutup rapat.

"Gue panggilin dokter ya" kali ini Noah yang berusaha membujuk Rahsya.

Lalu Rahsya membuka sedikit matanya. "Gak usah, gue gak papa".

Mereka hanya diam. Tidak berniat untuk memaksa Rahsya lagi. Membiarkan anak itu nyaman dengan pilihannya sendiri. Hingga tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sang Bunda dan Ayahnya.

Mereka baru saja menemui Dokter yang menangani Rahsya untuk membicarakan keadaan anak itu.

Dan kebetulan keempat teman Rahsya datang untuk menjenguknya sehingga Bunda dan Ayah tidak perlu meninggalkan Rahsya seorang diri di kamar.

"Bunda, Ayah" anak itu memanggil kedua orang tuanya dengan senyuman khasnya.

Seketika Bunda teringat dengan kondisi anak bungsunya yang sudah dijelaskan oleh Dokter Rafi tadi.

"Kanker nya sudah memasuki stadium dua. Saya sarankan agar Rahsya bersedia mengikuti salah satu pengobatan untuk membunuh sel-sel kanker itu".

"Bun" tepukan halus di pundak Bunda menyadarkan dari lamunannya.

"Iya Yah" kedua orang dewasa itu berjalan mendekati ranjang yang di tempati Rahsya.

"Bunda kenapa?" Tanya Rahsya dengan tatapan polos yang mengarah ke manik cerah sang Bunda.

"Bunda gak papa dek. Oh iya, ini buahnya kenapa belum dimakan?" Balas Bunda.

"hehehe, Rahsya keasyikan ngobrol sama mereka Bun, jadinya lupa" jawab Rahsya dengan cengiran diakhir kalimatnya.

Kemudian keempat teman Rahsya berpamitan kepada Ayah dan Bunda untuk kembali ke rumah masing-masing.

Hari sudah mulai petang namun tidak ada tanda-tanda Al akan datang. Membuat Rahsya kebingungan memikirkan di mana keberadaan kakak satu-satunya itu.

"Kakak dimana Bunda?" Bunda yang sedang menyiapkan buah untuk dimakan Rahsya seketika menoleh ke arah anak itu.

"Kakak kan lagi ada latihan basket. Nanti juga ke sini dek, udah yuk makan buah dulu. Bunda suapin ya" balas Bunda yang hanya dijawab anggukan oleh Rahsya.

o0o

Bunda♡.
Kak, kamu dimana?
Adek drop lagi.

Al baru saja selesai latihan basket dengan teman-temannya. Handphone nya ia tinggal di dalam kelas baru saja ia buka dan dirinya langsung terbelalak ketika membuka satu pesan dari Bundanya.

Tanpa membalas pesan itu, dirinya langsung berlari menuju parkiran sekolah untuk mengambil motornya dan mengendarainya dengan kecepatan penuh, agar cepat sampai ke rumah sakit.

Pukul setengah delapan malam, Rahsya baru saja terlelap setelah mendapat pusing yang luar biasa. Bahkan anak itu hanya memakan buburnya sebanyak dua suap saja.

Brakkk

Pintu bercat putih itu dibuka secara kasar oleh seorang pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah.

"Kakak!" Bunda geram dengan tingkah anak sulungnya itu jika sedang panik.

"Maaf Bunda. Adek kenapa Bun?" Tanya Al dengan mengelus pelan kening Rahsya.

Sedangkan Ayah masih geleng-geleng kepala dengan sifat anak sulungnya itu.

"Tadi sempet ngeluh katanya kepalanya sakit banget, nafasnya juga sesak. Jadi sama Om Rafi nassal canula nya diganti dengan masker oksigen" balas Bunda.

Selesai shalat Maghrib tadi, Bunda dan Ayah dibuat panik dengan keadaan Rahsya yang tiba-tiba drop. Anak itu mengeluh sakit pada kepalanya serta dadanya terasa sakit. Sehingga Dokter Rafi mengganti nassal canula nya dengan masker oksigen.

"Kakak tumben banget latihan basket sampai malam gini?" Kali ini Ayah yang membuka suaranya.

"maaf Yah. Keasyikan jadi lupa waktu" jawab Al menyesal.

Ayah hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mendengar jawaban putranya yang satu ini.

"Kakak pasti belum mandi. Mandi dulu sana, Bunda udah bawain baju buat kamu." Perintah Bunda kepada anak sulungnya.

"Nanti du--" ucapan Al terhenti ketika melihat kedua mata Rahsya yang perlahan terbuka.

"Kakak" panggil anak itu dengan suara paraunya.

"Iya. Maaf ya, adek jadi kebangun gara-gara kakak" ucap Al yang sudah duduk di tepi brankar Rahsya.

"Kenapa?" Tanya Al ketika melihat tangan Rahsya terangkat untuk menyentuh kepalanya.

"Sa-kit sshhhh" jawab Rahsya parau. Bahkan anak itu juga terlihat menjambak rambutnya sendiri.

"Heiii tenang dek" Al berusaha melepaskan rematan tangan Rahsya pada rambutnya. Sedangkan Ayah sudah berulang kali memencet tombol merah untuk memanggil dokter atau perawat.

Lalu tak lama, seorang pria berpakaian serba putih dan seorang perawat memasuki ruangan tersebut.

Dokter Rafi terlihat menyuntikan sesuatu pada lengan Rahsya hingga perlahan anak itu menutup kedua matanya seiring cairan dalam jarum suntik itu masuk ke tubuh Rahsya.

"Rahsya udah gue kasih pereda sakit dan obat tidur agar bisa istirahat. Maaf, gue kasih tau sekali lagi. Anak Lo harus mau mengikuti salah satu pengobatan yang gue saranin. Gue cuma takut kalau sel kankernya akan tambah besar dan semakin parah." Ucap dokter itu lalu menundukkan kepalanya. Ia hanya takut nasib Rahsya seperti anak tunggalnya dulu. Mengidap kanker otak dan berakhir kematian. Ia tak ingin, sahabatnya itu merasakan kehilangan seperti yang sudah dirinya rasakan.

"Iya Fi, gue akan coba bujuk Rahsya. Maaf, gue tau Lo pasti keinget sama almarhum anak Lo." Balas Ayah sambil menepuk pelan bahu sahabatnya itu.

Dokter itu mengangguk lalu beranjak keluar dari ruang rawat Rahsya.

o0o

"Se--" pertanyaan Al harus terpotong dengan ucapan Ayahnya.

"Kak, kamu mandi dulu sana. Nanti Ayah kasih tau tentang tentang kondisi adek." Al mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di pojok ruangan itu.

Tidak sampai lima belas menit Al sudah keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang lebih baik dari sebelumnya. Ia lantas duduk di sisi Ayah yang baru saja memanggilnya.

"Kankernya udah stadium dua." Ucap Ayah langsung yang dibalas dengan raut terkejut dari putra sulungnya.

"Secepat itu Yah?" Tanya Al dengan menatap lekat kedua mata tajam sang Ayah.

Pria itu menghela nafas lemas lalu kedua tangannya menggenggam jemari Al yang terasa dingin. "Kata om Rafi, pertumbuhan sel kanker di kepala adek lumayan cepat. Jadi untuk waktu yang dekat, adek harus menjalani salah satu pengobatan agar sel kanker itu perlahan hilang. Dan Ayah setuju jika Rahsya akan melakukan kemoterapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan om Rafi." Ucapnya dengan tangan yang semakin erat menggenggam jemari Al.

Ia tahu anak sulungnya pasti terkejut dan tidak menutup kemungkinan anak itu tak akan bisa menerima kenyataan pahit itu. Al sangat menyayangi Rahsya, Al hanya tidak ingin Rahsya merasakan sakitnya obat kemoterapi yang mungkin saja melemahkan tubuh anak itu. Tapi ia juga tidak mungkin membiarkan sel kanker itu perlahan membunuh tubuh adeknya itu.

Al hanya tidak ingin kehilangan.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang