15

579 53 7
                                    

Rahsya masih memandangi pantulan dirinya di cermin dalam kamarnya. Tangannya sibuk dengan dasi yang belum terpasang sempurna. Kegiatannya terhenti kala mengingat ucapan sosok pria yang sangat dihormatinya.

Pria itu menyuruhnya untuk berhenti sekolah formal supaya bisa fokus dengan pengobatannya. Namun bukan Rahsya namanya jika anak itu langsung setuju dengan ucapan Ayahnya. Ia masih punya seribu cara untuk menolak perkataan sang Ayah.

Rahsya tidak mau bila harus mengorbankan masa-masa indah remajanya untuk sesuatu yang belum pasti akhirnya. Bukannya ia pesimis, melainkan dirinya sadar bahwa kuasa Tuhan akan tetap di atas segalanya.

Ceklek

Suara pintu terbuka menampilkan sang Bunda dengan balutan hijab coklatnya.

"Dek, udah belum? Ayo sarapan" ajak Wanita itu kemudian menghampiri putra bungsunya yang masih diam di depan cermin.

"I-iya Bunda. Bunda duluan aja" balas Rahsya gelagapan, anak itu tidak mendengar suara pintu yang terbuka. Dirinya baru tersadar ketika sudah mendengar suara Bunda yang menyuruhnya sarapan.

Kedua tangan Bunda menangkup wajah tampan Rahsya dan menatapnya lekat. "Adek ngelamunin apa?".

Anak Itu hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Lalu dirinya mengajak Bunda untuk segera turun karena Al dan Ayah sudah dipastikan telah berada di sana.

o0o

Rahsya dan Al sudah sampai di sekolah lima menit sebelum bel berbunyi. Kali ini, Al mengantarkan Rahsya hingga di depan kelas adeknya. Membuat beberapa pasang mata tertuju ke arah mereka berdua.

"Udah sana pergi! Risih gue diliatin mereka." Ujar Rahsya lalu dirinya hendak melepas Hoodie yang dari rumah dipakainya sebelum suara Al menghentikan aksinya itu.

"Kalau Hoodie itu lepas dari tubuh Lo, gue jamin besok Lo gak bakal diizinin sekolah lagi!" Peringat Al pada adek nakalnya itu.

Rahsya hanya merotasikan kedua matanya malas. Kemudian Al menyempatkan diri untuk mengacak rambut Rahsya sebelum dirinya berlari dari tempat itu.

Suasana kelas sudah sangat ramai karena sebentar lagi bel akan berbunyi. Ketiga teman Rahsya juga sudah duduk manis ditempatnya masing-masing.

Mereka hendak bertanya dengan Rahsya tentang kondisinya, namun suara bel sekolah lebih dulu berbunyi serta disusul oleh seorang guru yang akan mengisi mata pelajaran pertama.

Waktu seakan terasa cepat berlalu. Para siswa pun mulai berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Gibran, Irsyad dan Angga pulang terlebih dahulu. Sedangkan Rahsya masih harus menunggu kakaknya selesai latihan basket.

Awalnya ketiga teman Rahsya menolak untuk pulang dahulu dan meninggalkan Rahsya. Namun Rahsya berhasil membujuk mereka agar tidak terlalu mengkhawatirkannya.

Sekolah itu sudah tampak sepi lantaran para warganya telah meninggalkan tempat itu. Rahsya berjalan ke arah gerbang sekolah seorang diri, ia hanya ingin duduk di halte yang terletak tak jauh dari gedung sekolah.

Pandangannya ia arahkan ke depan sebelum sebuah pesan masuk ke handphone nya.

Kak Alvaro.
Dek, pulang duluan aja minta jemput pak Tejo.
Gue masih lama soalnya.

Oke.

o0o

Setelah rasa letihnya sedikit memudar, Al merubah posisi menjadi duduk serta tangannya tergerak untuk mengambil ponselnya yang sejak tadi diletakkannnya dalam tas.

Sebuah pesan muncul sepuluh menit sebelum ia membuka ponselnya itu. Dahinya mengernyit setelah membaca isi pesan tersebut.

Bunda♡.
Kakak, adek pulang sama kamu kan
Perasaan Bunda kok gak enak.

Lalu, tanpa pikir panjang ia langsung menyambar tas hitam yang berada di sampingnya. Bahkan ia tidak sempat untuk berpamitan kepada seluruh temannya karena dirinya sudah terlebih dahulu berlari ke arah parkiran.

Al melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan sesekali matanya melirik ke kanan dan kiri berharap dapat menemukan adeknya.

Kurang dari dua puluh menit Al sudah memasuki perkampungan rumahnya. Kemudian dengan langkah cepat dirinya berlari menghampiri Bunda yang tengah menangis dalam dekapan Ayahnya.

"Bunda Ayah" panggil Al lalu anak itu menghampiri sang Bunda dan duduk disebelahnya.

"kenapa?" Sambungnya dengan tangan yang sudah menggenggam jemari lentik Bundanya.

Bunda masih tetap menangis sedangkan Ayah sekuat tenaga menahan air matanya yang sejak tadi berlomba-lomba terjun dari kelopaknya.

"Ad---"

"adek hilang. Kita gak tau Adek ada dimana." Ucapan Al terpotong dengan suara Ayah yang amat membuat sesak dalam dada anak itu.

Tanpa mengulur waktu, Al beranjak untuk menuju garasi dan mengambil motornya sebelum tangannya ditahan oleh Ayah untuk tetap diam di rumah.

"Yah, aku mau cari Adek" ujar Al dengan tatapan memohon kepada pria itu.

"Ayah udah nyuruh anak buah Ayah buat nyari adek. Kakak istirahat aja sana, ayah tau pasti kamu capek." Balas Ayah seraya menggenggam erat tangan dingin sang putra.

"Gimana aku bisa tenang kalau aku gak tau Adek aku di mana? Bahkan aku gak tau Adek udah makan apa belum." Jawab Al, bahkan anak itu sudah mengeluarkan air matanya sejak Ayah mengatakan jika adeknya itu hilang.

Lalu Ayah membawa tubuh bergetar Al kedalam pelukannya. Menyalurkan ketenangan yang ia sendiri sebenarnya merasa jauh dari kata baik-baik saja.

"Iya. Kita cari Adek sama-sama ya" putusnya dengan tangan yang setia mengelus pelan punggung anak sulungnya.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang