BAB 1 : Manusia dan Weaver

25 2 0
                                    

*Layla POV

Tiga tahun, dan kami semua akan mati.

Tepatnya hanya dunia kami, Solaris. Saat itu terjadi, kami semua akan ikut terhapus, lenyap tanpa sisa dan tak seorangpun yang akan mengingatnya.

Manusia akan tetap hidup. Mungkin sedikit konflik kecil, tapi dunia mereka tetap baik-baik saja. Dewa menyayangi mereka yang tak pernah berbuat dosa. Tidak seperti kami, yang sejak lahir sudah terikat dengan dosa itu sendiri.

Aku selalu membayangkan. Sejak dulu, jika para Elemen tidak pernah melanggar aturan Dewa, maka Solaris tidak akan pernah ada. Jika seperti itu, apa kami akan tetap ada sebagai manusia biasa, atau bahkan tidak sama sekali.

Setidaknya itu yang kulihat. Visi yang mendorong ku untuk pergi ke dunia manusia dan mencari seseorang. Aku yakin dia juga ada di sini sekarang. Walaupun aku masih tidak mengerti, dengan semua kekuatannya yang tidak masuk akal, mengapa dia bisa berakhir di tempat ini.

Sebuah fasilitas penelitian milik manusia. Sejak mereka menangkap ku, aku mempelajari beberapa hal. Fasilitas ini dibuat dengan tujuan untuk meneliti tentang anomali alam. Namun, satu dekade terakhir tujuannya menjadi lebih mengerucut. Mereka mencoba mempelajari kami, para Weafer, atau orang-orang yang bisa mengendalikan elemen.

Selama empat hari terakhir, mereka melakukan berbagai tes. Mengambil darahku, meneliti organ dalamku, serta melakukan tes-tes berbahaya untuk mendorong ku menggunakan kekuatan elemen. Aku tak tahu apa saja data yang sudah mereka dapatkan, meskipun aku selalu bisa mengakhiri tes itu tanpa kekuatan elemen sama sekali.

Setidaknya, tempat mereka menahanku masih cukup layak. Dengan ruangan kecil berbentuk persegi, hanya ada satu tempat tidur tipis, sebuah meja dan dua kursi plastik untuk makan, dan satu bilik di pojok ruangan sebagai kamar mandi. Semua hal di kamar tahanan itu berwarna putih terang, termasuk furnitur sederhana di dalamnya.

Bagi manusia, Weaver adalah entitas asing yang bisa mengancam keberadaan mereka. Karena itu, bahkan dalam kamar tahanan dengan satu pintu besi yang hanya bisa dibuka dengan kartu identitas, mereka masih menahan kedua tanganku dengan logam. Kedua tanganku disatukan dan tertutup sepenuhnya. Borgol itu juga cukup berat, meski dengan lapisan kain lembut di bagian dalamnya. Mereka membatasi pergerakan ku. Mencegah segala kemungkinan terburuk jika suatu hari aku merasa bosan dan pergi untuk jalan-jalan.

Jika perkiraan ku tepat, harusnya sekarang sudah pukul 9 pagi. Dan seperti empat hari sebelumnya, seseorang membuka pintu kamarku.

Wanita itu berdiri di ambang pintu. Mata cokelatnya menatapku di balik kaca mata tebalnya. "Apa kau memang selalu bangun pagi atau kau tidak pernah tidur?" Tanya Mala, seperti yang tertulis pada jas lab putihnya.

Mala, adalah salah satu peneliti di fasilitas ini. Satu-satunya orang yang tidak melihatku sebagai subjek penelitian. Dia selalu datang setiap pagi untuk menjemputku, dan pada malam hari setelah tes untuk membawakan makanan.

"Aku haus." Gumamku.

Setiap malam saat membawakan makanan, Mala selalu menyuapi ku-karena mereka mengikat tanganku, tentu saja-dan mengajakku bicara. Dia selalu bertanya banyak hal, mencari lebih banyak informasi tentang Weafer, tapi dengan cara yang lebih halus.

Kupikir, dia memang tidak melihatku sebagai subjek penelitian. Lebih sebagai sumber informasi yang berharga.

Mala tersenyum, berjalan ke arahku sambil mengeluarkan sebotol air dari kantung jasnya. Dia juga menarik kursi dari tengah ruangan, duduk di depanku, di samping tempat tidur. Botol itu juga dilengkapi sedotan. Mala menyodorkan botol itu untuk membantuku minum

"Kau tahu, mereka mulai mempertimbangkan dua hal," Katanya, "membedahmu atau mengirimmu ke pihak militer."

Aku mengangguk, pertanda bahwa itu sudah cukup. Mala menarik botol itu kembali. Menutup dan memasukannya ke dalam kantung. "Apa itu berarti mereka akan menggunakan ku untuk menginvasi negara lain?"

"Entahlah," Jawabnya, "lagipula, hasil tesmu tidak menunjukkan apapun. Darah, organ dalam, ataupun bentuk fisik, tak satupun yang menunjukkan perbedaan antara Weafer dan manusia. Kecuali untuk reflek, naluri bertarung, dan ketahanan fisik. Kau melampaui semua standar yang kami tetapkan."

"Mungkin itu sebabnya aku malas menggunakan elemen. "

Mala tertawa, "Kau siap?"

Tes lain, tentu saja. Aku penasaran apa yang akan mereka lakukan kali ini. Mala berdiri dan berjalan ke arah pintu.

"Kalau aku memberi kalian data yang berguna, apa aku boleh bertemu dengannya?" Ujarku, menghentikannya sebelum membuka pintu.

"Tentu," Dia berbalik dan kembali menatapku. Bibirnya tersenyum ramah. "Kurasa itu akan menarik."

***

Aku tidak mengerti mengapa manusia begitu terobsesi pada kekuatan. Meski Mala bilang tujuan dari penelitian ini adalah untuk kemajuan teknologi atau bahkan pengobatan, aku tetap tak yakin. Jika manusia menemukan cara untuk mengendalikan elemen, mungkin hasilnya akan lebih buruk dari apa yang terjadi di Solaris.

Mereka mahluk yang pintar dan penuh rasa ingin tahu. Tapi mungkin itu yang membuat mereka juga terlihat bodoh.

Mala membawaku ke sebuah aula berukuran sedang berbentuk persegi. Ruang kosong yang digunakan untuk berbagai tes fisik berbahaya. Dinding-dindingnya cukup tinggi dengan satu sisi dinding yang dihiasi sebuah kaca berbentuk persegi panjang. Di baliknya, aku bisa melihat beberapa peneliti yang berdiri dan menonton.

Dalam tes kali ini, mereka tidak melepas ikatan di tanganku dan justru menambah nya. Mereka mendudukkan ku di sebuah kursi, menahan tubuh dan kakiku agar tidak bisa bergerak sama sekali. Seperti tes sebelumnya, mereka menyediakan dua mangkuk tanah dan air, serta sebuah lilin yang menyala. Beberapa langkah di depanku, sebuah senapan otomatis siap ditembakkan.

Aku tahu pengetahuan mereka tentang kami benar-benar terbatas. Aku bahkan belum menjelaskan informasi yang benar-benar berguna pada mereka. Mungkin setelah ini mereka baru menyadarinya, bahwa benda-benda yang mereka sediakan tidak berarti apapun.

Weafer tidak bisa mengendalikan semua elemen. Dan tidak semua Weafer memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen.

Sebelum senapan itu ditembakkan, aku mendengar sebuah sirine. Sebuah hitungan mundur agar aku bersiap. Dan setelah bunyi ketiga, Satu-satunya suara yang terdengar adalah ledakan. Timah panas itu meluncur ke arahku.

Aku tak tahu data apa yang akan mereka dapatkan setelah ini. Tapi kuharap, Mala akan menepati janjinya.

Mereka memang menahan tubuhku dengan harapan aku bisa mengendalikan elemen bahkan tanpa gerakan tubuh. Tapi, aku memang tidak memerlukan gerakan tubuh. Hanya satu tetes darah dari gigitan bibir. Dan tepat saat peluru itu harusnya menembus tubuhku, sebuah perisai transparan dengan aksen warna biru bercahaya terbentuk. Membuat peluru itu terpantul dan jatuh ke lantai aula.

Beberapa peluru lain ditembakkan, namun hasilnya tetap sama.

Tak lama, pintu aula terbuka. Beberapa peneliti langsung berlarian masuk dan memeriksa perisai itu. Menyentuhnya dengan mata berbinar. Aku bisa melihatnya dari arah pintu. Mala hanya mematung. Ekspresinya sulit dibaca. Jelas dia terkejut, tapi aku merasa itu berbeda dari para peneliti lain.

Aku merasa, Mala hanya tidak menduganya. []

The Eclipse EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang