LANGKAH kakinya berjalan dengan cepat, kepalanya menoleh ke berbagai arah untuk mencari menara lonceng. Banyak tatapan mata tertuju padanya, mereka menatapnya dengan tatapan bingung. Mungkin dengan kehadirannya tampak begitu asing dengan penampilannya yang membawa tas selempang yang terlihat terisi penuh entah dengan apa.
Saat netranya kembali menatap ke sisi lain, ia menemukan apa yang ia cari. Sebuah rumah sederhana dengan ukuran cukup besar, berada tepat di dekat sebuah menara lonceng. Kakinya melangkah untuk mendekat ke pintu rumah. Tangannya beralih untuk mengetuk pintu beberapa kali untuk memanggil sang pemilik rumah.
Tak berjalan begitu lama, pintu rumah tersebut dibuka dan menampilkan seorang pria dengan penampilan rapi dan tampak sudah cukup tua. "Siapa?" Ia menatap Maria dengan bingung, merasa asing dengannya. "Apa kau penduduk baru?" Netranya menatap tas selempang yang digunakan Maria.
"Ah, tidak. Aku adalah pelukis yang senang berkelana ke berbagai tempat. Karena aku seorang pendatang, aku ingin bertanya tentang desa ini." Maria menampilkan senyuman manisnya, berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. "Anda bernama Pak Henry, bukan?"
"Ya. Silakan masuk, kau boleh menanyakan apa pun tentang desa ini." Henry mempersilakan Maria masuk, pintu dibuka lebar dan Maria berjalan masuk. Ia melihat ke sekeliling, menatap furnitur rumah sederhana dan duduk di atas sofa.
Henry ikut duduk di sofa yang berada di hadapannya. "Ovie! Tolong buatkan minuman!" teriak Henry ke arah ruangan lainnya yang terlihat seperti mengarah ke dapur.
"Eh, tak perlu, Pak Henry. Aku sudah makan dan minum yang banyak."
Henry mendengus. "Sudahlah, jangan sungkan. Aku tak mungkin membiarkan seorang gadis cantik kehausan saat berbicara panjang denganku, bukan?" Henry kembali menoleh ke belakang, kembali berteriak. "Hei, Ovie! Jangan lama!"
Alis Maria hampir menyatu, melihat Henry dengan tatapan jijik. Bagaimana netra Henry menggelap saat menyuruh istrinya sendiri membuat Maria jijik dengan perlakuan Henry terhadap istrinya sendiri. Pria tua yang menyedihkan, ia memegang sebuah desa tanpa tahu jika apa yang ia kuasai akan segera sirna.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Oh, tak banyak. Mungkin ... apakah di desa ini memiliki pemandangan indah jika berdiri di atas tebing di dekat tanjakan di sana? Apakah desa ini memiliki ciri khas tersendiri?" Maria mengepalkan tangannya dengan kuat, merutuki dirinya sendiri. Maria merasa bodoh, ia menanyakan pertanyaan aneh hanya untuk mengulur waktu.
Henry memegang dagunya, tampak sedang berpikir. "Pemandangan saat matahari terbit jika kau berdiri di atas tebing di sana. Namun, jika berdiri di atas sebuah bangunan kosong di ujung desa paling belakang, kau akan melihat pemandangan matahari terbenam. Dan untuk ciri khas, mungkin tentang desa ini mempunyai makanan tradisional yang dimakan setiap hujan deras."
Maria mengangguk seakan-akan ia memahaminya. Tak lama setelah itu, seorang wanita yang membawa nampan berisikan dua gelas di atasnya datang. "Ah, siapa namamu, Anak Cantik? Aku dengar kau seorang pelukis yang sedang datang ke sini, ya?" Ia menaruh gelas tersebut di atas meja, lalu duduk di sofa samping Henry.
"Ah, terima kasih banyak. Ya, aku pelukis. Dan Anda ...."
"Aku Ovie, istri Henry."
Maria mengangguk perlahan, ia mengambil gelas tersebut dan meneguknya perlahan. Gelas itu kembali ia taruh di atas meja, lalu menaruh kedua tangannya di atas pahanya dan mulai menatap Henry dengan serius. Menarik napas dan mengembuskannya, berharap rencananya berhasil. Jika gagal, tamat riwayatnya.
"Kalian memiliki anak?"
Henry mengangguk. "Namanya Anna, akan menikah sebentar lagi."
Maria mengembuskan napasnya kembali. Entah mengapa jantungnya berdetak tidak keruan, seperti ingin meledak saat itu juga. Ia merasa gugup, mungkin karena tindakannya kali ini melibatkan satu desa, bukan lagi satu orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)
Tiểu thuyết Lịch sử{Prequel The Chronicles About Us} Terbaring lemah, tak menjadi milik siapa pun. Kota bagaikan neraka bersama manusia dengan kasta tinggi bagaikan pendosa besar. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial membuatnya menjadi korban dari semua nasib buruk yan...