Chapter 16 : Maaf

29 1 0
                                    

Samudra dan Nafisya sudah kembali ke apartemen mereka, keduanya kini sedang berada di meja makan. Samudra mendudukan istrinya di salah satu kursi dengan hati-hati, satu gelas air putih disodorkan.

Terduduk di kursi dengan gamang, jari tangan lentik meraba gelas kaca itu, mencengkramnya penuh murka. Menghela napas berat, tangan itu mulai mengangkatnya hati-hati, meneguk setiap tetes air hingga mengalir memadamkan emosi.

Samudra ikut terduduk disana, mata elangnya menatap penuh arti kepada cahaya cokelat terang yang selalu berkedip indah berkilauan.

Tidak ada kata, seperti biasa. Keduanya berinteraksi lewat tindakan dan asa. Wajah cantik Nafisya basah, penuh jejak air mata. Ternyata, tetes lain juga mengalir disana, membasahi pelipis indah Nafisya. Ibu jari Samudra terulur menghapus semuanya.

Wanita itu memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan lembut laki-laki yang merupakan Ayah dari anak yang dikandungnya saat ini. Tangan yang masih berada di gelas kaca semakin diremat kuat, benci dengan diri sendiri yang masih saja belum bisa menerima orang sesempurna dihadapannya ini.

Semakin dihapus ternyata semakin deras lagi air mata berderai. Nafisya benci ini, lagi-lagi.

Tangan lain yang lebih besar dari tangan kecil yang sedang menggenggam erat gelas kaca ikut terulur, menarik benda itu menjauh. Nafisya membuang muka kala tubuh besar suaminya begitu dekat ketika meraih gelas itu, wajah basahnya masih berada di dalam tangkupan telapak tangan kekar yang lainnya.

"Lihat aku." 

Suara itu dingin, menusuk ke relung jiwa. Nafisya bisa merasakan telapak tangan itu menuntun wajahnya untuk kembali berhadapan dengan wajah didepannya.

"Tatap kedua mata ini, Nafisya."

Kata-kata itu terdengar memerintah, pandangan yang semula menunduk perlahan naik, menampilkan kembali cahaya berkilau terbalut air mata, menatap netra legam yang sedang menyorotnya tajam.

Kedua netra mereka bertaut, saling bertatapan penuh arti. Namun, tidak ada lagi tatapan lembut yang didapatkan Nafisya, yang ada kini hanya tatapan dingin yang semakin menusuk rentannya jiwa.

"Ingat aku, Nafisya."

Nafisya mengerjap, menyebabkan genangan air mata kembali meluruh sempurna.

"Ingat bahwa aku adalah suamimu."

Detak jantung wanita itu seketika berdenyut keras, mendengar lima kata yang dilontarkan suaminya. Jelas, nada itu teralun penuh kekecewaan, Nafisya seakan melupakan fakta bahwa Samudra adalah suaminya.

Sekali lagi Nafisya tahu, sikapnya tadi terhadap Dewa bukan hanya menyakiti dirinya sendiri, tapi juga menyakiti hati suaminya sendiri. Hatinya kini ingin mengucapkan kata maaf, tapi hanya isakkan yang terdengar.

Samudra mengerti, lagi-lagi menurunkan ego sendiri. Tatapan tajamnya perlahan berubah, kembali menyorot netra sendu itu dengan kelembutannya. Tanpa suara, Samudra membawa Nafisya menuju kamar mereka, menenangkannya.

Kepala Nafisya pening, mungkin karena terlalu banyak menangis hari ini. Beruntung, bayi dalam kandungannya mengerti, seakan tahu bahwa ibunya sedang bersedih hati.

Samudra membaringkan tubuh Nafisya di ranjang dengan hati-hati. Entah mengapa, Nafisya selalu lemah bila berhadapan dengan suaminya.

"Kamu butuh istirahat, Sya."

Nafisya menatap dalam suaminya. Tak lama, usapan lembut terasa, bergantian dari kepala ke perut buncitnya.

"Sam harus pergi, kamu gak apa-apa 'kan ditinggal sebentar sendiri?" tanya Samudra.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DESAMSYA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang