2
POV CLARITY
"Ya, saya sendiri..."
Aku mengapit telepon genggam di antara telinga dan bahuku. Sementara kedua tangan sibuk membuka kunci pintu rumah.
"Saya sudah transfer pembayarannya, Pak." Kulepaskan sepatu yang basah dan mulai berbau apek dari kakiku. Kutarik kaos kaki dan kukumpulkan di sudut depan koridor ruang tamu agar besok aku tidak lupa untuk membawanya ke binatu.
"Benar, Pak. Untuk 6 bulan saja. Tidak perlu, saya tidak perlu diskon. Yang penting sudah ada prabotnya. Dan bisa memasak." Kukeluarkan semua isi tasku. Dompet, kunci mobil, kunci toko bungaku dan hal-hal kecil lain. Kujajarkan dengan rapi di atas meja ruang tamu agar cepat kering. Lalu aku melanjutkan perjalanan ke ruang cuci.
"Rooftop? Tidak masalah pak. Di lantai 3 berarti? Oke. Kapan saya bisa tempati? Besok? Boleh. Air dan listrik aman, kan? Saya malas komplain terus. Kalau ada harga, ada kualitas, Pak. Saya bisa kasih Bapak komisi juga kalau Bapak minta," percakapan itu terus berjalan sampai aku berhasil memelorotkan rok dan jas yang kukenakan.
"Sudah dulu ya, Pak. Nanti saya kirim alamat toko saya, jadi Bapak bisa antar kuncinya ke sana. Tanda jadi? Nanti bos saya yang tanda tangan. Terimakasih."
Setelah telepon terputus, baru aku bisa membuka kancing kemeja dan memasukkan semua pakaian kotor ini ke dalam mesin cuci.
Aku melegakan nafas dan meninggalkan ruang cuci untuk mandi.
Suamiku datang 3 jam kemudian. Ia masuk pelan-pelan seolah takut membangunkanku. Dan ketika ia tahu kalau aku masih asik dengan buku bacaanku, ia tersenyum lebar. Lebar sekali untuk menutupi keterlambatannya.
"Aku pulang..." sapanya.
"Selamat datang... Mau mandi dulu? Aku siapkan baju tidur."
Lelaki itu bernama Causal. Causal Dulcet. Sama seperti namanya, rencana ini bermula dari dia. Nanti saja kuceritakan. Aku harus melayani Causal, karena meski ia seorang dokter, di rumah ini ia tak lebih dari seorang lelaki manis yang manja.
Causal sudah selesai dengan mandinya dan berdiri di depan wastafel ketika aku masuk dengan satu set piyama kesukaannya. Matanya bersinar cerah, penuh kehidupan dan semangat. Aku membayangkan apa yang baru saja terjadi dengan harinya. Aku ikut senang.
"Sini sebentar, Clarity," panggilnya. Ia tangkap lenganku dan ia tuntun aku ke dalam pelukannya yang sejuk.
"Apa?" tanyaku.
"Aku kangen padamu."
Aku tersenyum sambil mengelus lengannya yang tergantung ringan di dadaku. "Capek?"
"Lumayan... Tapi, dokter mana yang senang kalau banyak pasien sakit datang? Kita hidup dengan uang, tapi aku tak tega lihat banyak orang datang dengan wajah sedih. Andaikan semuanya datang dengan wajah sepertimu."
Aku melepaskan diri dari Causal. "Itu akan sangat membingungkan, Causal."
Causal terkekeh. Ia menarikku lagi dan mencium leherku dengan lembut. "Bagaimana denganmu? Aku lihat sepatu basah di luar. Kamu kehujanan?"
"Sore ini aneh sekali."
"Belakangan cuaca agak kurang ajar. Jadi banyak orang sakit."
"Syukurnya mereka punya dokter tampan. Jadi lihat wajahmu saja, mereka langsung dapat afirmasi kesembuhan."
"Andaikan saja..."
"Causal... Sudah... Jangan bahas aku lagi." Aku berbalik untuk menghadapinya, bosan, sebab sejak tadi kami saling melihat dari pantulan cermin saja. Aku ingin menatap wajahnya yang tampan secara langsung. Lalu kucium dagunya yang masih bau sabun.
"Apa kamu merasa baik-baik?" Causal membelai pipiku, turun sampai ke tulang bahu. "Kamu sudah makan malam, kan? Apa tubuhmu lemas? Masuk angin?"
"Aku tidak selemah itu... Aku masih bisa memelukmu semalaman." Aku mencubit perutnya yang bergaris.
Causal meringis. Tapi ia tak berani menolakku. "Mau?" bisiknya sambil menarik kerah bajuku dan mengekspos setengah bagian tubuhku.
"Sudah malam... Besok toko bunga harus buka lebih pagi. Musim orang wisuda. Mereka akan butuh bunga yang banyak."
Causal tersenyum. "Ayo tidur kalau begitu."
"Aku akan bawa baju kotormu dulu. Setelah itu aku akan menyusulmu. Oke?"
"Jangan lama-lama, Clarity... Panggil aku kalau membutuhkan bantuan."
Causal mengecup dahiku sekali lagi sebelum melepaskanku. Sementara, aku menjauh, memunguti pakaian kotornya dan membawanya ke ruang cuci.
Sebelum memasukkan pakaian kotor itu ke dalam mesin, aku periksa dahulu setiap kantongnya hanya untuk memastikan tak ada hal penting yang mungkin tertinggal dan bisa merusak baju atau mesin cuci.
Kesalahan itu pernah terjadi dulu, ketika tak sengaja Causal meninggalkan flashdisk dan koin di kantong celananya. Ia sedih sekali. Karena bukan hanya mesin cuci yang jadi rusak, tapi karena flashdisk tersebut adalah kenang-kenangan dari hadiah pernikahan kami.
Kejadian itu membuatku belajar untuk lebih teliti. Tapi aku tahu, Causal tidak mungkin mengingat hal remeh seperti itu. Menemukan uang atau kertas berisi catatan penting bukan hal baru. Seperti malam ini, aku menemukan kertas bukti pembayaran dari hotel langganannya. Bukan berita baru. Aku segera membuang kertas itu ke dalam tempat sampah tanpa mempermasalahkannya.
Ah... Aku hampir melupakan syal ini. Pikirku, ketika melihat kain sederhana berwarna sage itu tergeletak bersama pakaian siap jemur lainnya. Aku memungutnya, menghirup sisa parfum mahal Destiny yang tak kunjung hilang meski sudah melewati proses cuci dengan detergen, melipatnya dan menyembunyikannya di bagian dalam baju yang lain. Aku akan mengeringkannya besok, lalu aku akan mengembalikannya pada Destiny.
Sekarang sudah jam 10 malam. Causal terlihat lelap dalam posisi tidurnya. Aku mengambil kesempatan ini untuk meraih ponselku, mencatat dan menyimpan nomor perempuan baik yang menolongku sore tadi.
Aku kembali ke ruang tamu. Duduk dengan nyaman di sofa depan televisi.
"Halo, selamat malam... Maaf aku mengganggumu dengan mengirim pesan malam-malam. Ini aku, perempuan basah kuyup yang kamu tolong sore tadi. Clarity E."
Aku menekan tombol 'kirim' dan membaca pesanku sekali lagi.
Tak kusangka, balasannya cepat sekali. Destiny belum tidur.
"Hai, Clarity! Aku tidak menyangka kalau kamu akan mengirim pesan semalam ini. Kebetulan sekali aku sedang menulis skripsiku. Jadi pesanmu cukup menghibur. Ngantukku hilang begitu saja."
"Aku ingin mentraktirmu lain kali. Aku tidak suka hutang budi. Menulis skripsi? Untuk program studi apa?"
Balasannya lebih cepat lagi.
"Sastra. Aku sedang bercokol dengan peramuan kata dari puisi terjemahan. Pablo Neruda, tahu?"
"Tapi saat balas dendam jatuh, dan aku mencintaimu. Tubuh kulit, lumut, susu yang keras dan keras. Ah, pembuluh payudara! Ah mata ketidakhadiran! Ah mawar kemaluan! Ah suaramu yang pelan dan sedih!" balasku, mengutip satu-satunya puisi yang pernah aku baca karena terpaksa.
"Bukan. Bukan yang itu! Itu tidak sesuai sama sekali dengan kepribadianku. Hahaha."
Aku ikut tersenyum karena pesannya. Lalu aku balas kembali, "Lalu, puisi yang mana?"
"Aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini. Karna aku tak memilikinya. Karna aku kehilangan dia. Yang itu, Clarity. Apa kamu pernah dengar?"
Aku tersentuh dengan kalimat itu. Aku kucek mataku untuk mengalihkan air mata yang sudah aku tahan beberapa bulan belakangan.
"Lain kali kamu harus bacakan untukku, Destiny. Sekarang aku mau tidur."
"Tunggu."
Aku tak jadi mematikan ponselku. Kutunggu sebentar sampai pesannya masuk.
"Traktir aku besok. Setelah aku pulang kuliah. Makan siang?"
"Besok bukan masalah. Baiklah. Aku akan traktir kamu besok. Hubungi saja aku. Jangan ragu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SECONDHAND LOVE (FREENBECKY) GXG (END)
Fanfiction18+ "Baiklah... Duduklah dulu. Siapkan kopimu. Aku akan memulainya dengan gaya yang biasa, yang kamu suka. Yang dimulai dengan; Kalau kamu sedang membaca surat ini... Artinya apa yang kamu pikirkan dan rasakan tentang kita adalah sebuah kebenaran. ...