Lea selalu bertanya-tanya, akan seperti apa hidupnya setelah pernikahan? Bagaimana dia akan bersikap didepan Pangeran Azzam? Apa yang harus dia lakukan? Meski sempat percaya diri, toh Lea juga memiliki rasa minder akan ketidaktahuannya.
Namun ternyata, berinteraksi dengan Pangeran Azzam setelah acara pernikahan mereka tidak begitu buruk. Lea lega karena lelaki yang telah menjadi suaminya itu memperlakukannya dengan lembut dan hati-hati.
Lea menoleh ke samping, tempat dimana Pangeran Azzam tertidur dengan damai. Ini masih tengah malam, baru dua jam setelah mereka memutuskan untuk beristirahat. Rangkaian prosesi pernikahan yang di gelar sejak pagi menyita tenaga keduanya.
Namun, Lea tidak bisa tidur lagi. Lelah sudah meninggalkan tubuhnya, pun otaknya sangat aktif untuk berpikir. Penjaga yang di tugaskan di liar kamar, mungkin sekarang sudah kembali ke pos jaga mereka.
Lea bergerak miring, mengamati wajah Pangeran Azzam dengan lebih seksama. Lelaki itu memang tampan di atas rata-rata. Mata, hidung, bibir, alis dan bulu matanya pun tampak pas di bentuk wajahnya yang halus.
Lea jadi teringat kata-kata Pangeran Azzam di acara Kemah Bakti beberapa waktu yang lalu, mengenai mental health dan juga bacaan Alquran nya. Lea menghela napas dalam, bergerak untuk menyenderkan kepalanya ke bahu Pangeran Azzam. Entah kenapa hatinya merasa sedih.
"Habibti?" Suara parau Pangeran Azzam membuat Lea mendongak terkejut. "Kamu tidak bisa tidur?" Tanyanya, terbangun.
"Ah, bukan apa-apa. Tidur lah lagi," jawab Lea, menjauhkan tubuhnya dari sang suami.
"Kenapa?" Pangeran Azzam kembali bertanya, menarik tubuh Lea mendekat agar bisa dipeluknya. "Ada yang bisa kulakukan untukmu? Kamu mungkin tidak bisa tidur karena tidak nyaman di tempat baru."
"Aku baik-baik saja. Maaf membangunkanmu," sahut Lea.
"Hmm..." Pangeran Azzam justru bergumam meski matanya kembali menutup. "Bagaimana kalau aku bacakan beberapa ayat?" Tawarnya.
Lea tersenyum, tidak menyangka akan mendengar suara merdu suaminya melantunkan Al Qur'an lagi. Perempuan itu mengangguk pelan, merasa ragu kalau Pangeran Azzam masih terjaga.
Namun, Pangeran Azzam bergerak duduk, menempatkan kepala Lea di pahanya, mengelus lembut rambut Lea sambil membacakan surah Ad Dhuha untuknya. Lea sendiri memejamkan mata dan menghayati setiap kata yang keluar dari mulut suaminya hingga air matanya pun mengalir.
"Habibti? Apa kamu sangat sedih karena tinggal disini?" Lea segera membuka mata begitu terdengar pertanyaan dari mulut suaminya.
"Tentu saja tidak," bantah Lea seketika.
"Lalu, kenapa kamu menangis?" Pangeran Azzam bertanya dengan nada lembut, mengusap air mata yang masih menetes di pipi perempuan itu.
"Aku hanya tersentuh mendengarmu melantunkan ayat suci. Maaf kalau aku cengeng dan membuatmu khawatir," sahut Lea lagi.
Mendengar hal itu, Pangeran Azzam pun mengulum senyum lembut.
"Apabila mereka mendengar sesuatu (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul (Nabi Muhammad), engkau melihat mata mereka bercucuran air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman. Maka, catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad)." Pangeran Azzam berbisik di telinga Lea sebelum menciumi kening dan rambut perempuan itu.
Lea tersenyum, merasa senang dengan sikap Pangeran Azzam. Terlebih, untuk seorang penderita PTSD seperti dirinya, sentuhan lelaki itu tidak membuatnya jijik. Lea suka bagaimana tangan suaminya menyentuh dengan tegas, bukan menggoda.
###
Untuk pertama kalinya hari itu, Lea mengikuti Pangeran Azzam untuk melakukan sapaan pagi kepada Raja dan Ratu Dobuski. Dan Lea teringat kelakuannya sendiri tadi pagi, yang mungkin sekarang sudah membuat heboh para pelayan.
Lea menyesap tehnya sambil menyembunyikan senyum. Dia merasa beruntung karena tamu bulanannya datang tepat waktu. Lea masih ingat saat dia pura-pura panik saat ranjang pengantinnya terkena noda darah. Dia memang harus menahan malu di hadapan suaminya, tapi ini demi muslihat supaya orang lain percaya bahwa mereka telah menjadi suami-isteri yang utuh.
"Aku tidak pernah menyangka akan menyenangkan melihat Azzam melakukan sapa pagi bersama isterinya," komentar Ratu Fatimah, tersenyum sumringah menatap Lea dan Pangeran Azzam bergantian.
"Itu benar," sahut Raja Bilal. "Selamat datang di keluarga kami, Azalea."
"Saya yang berterimakasih karena sudah diterima disini, Yang Mulia," sahut Lea.
"Tidak perlu memanggil kami Yang Mulia di ruang pribadi seperti ini," ucap Ratu Fatimah. "Panggil saja umi dan abi."
"Baik, umi... Abi..." Sahut Lea, agak canggung.
"Apa yang akan kalian lakukan hari ini? Menyambangi saudara kita satu per satu?" Ratu Fatimah melirik Pangeran Azzam, begitu juga dengan Lea.
"Sebenarnya aku berpikir untuk mengajak Lea menginap di rumah musim panas kita, Umi. Karena waktu kami juga tidak banyak, mungkin membiasakan Lea dengan lingkungan kerajaan bisa membantunya untuk menyesuaikan diri," jawab Pangeran Azzam.
"Itu ide yang bagus," komentar Raja Bilal. "Kita bisa memperkenalkan Lea pada saudara-saudara kita di lain kesempatan. Mengingat, kondisi Lea sekarang masih rawan untuk di jegal orang. Memperkenalkannya dengan lingkungan kerajaan adalah langkah terbaik untuk sementara ini."
Ratu Fatimah mengangguk, memahami penjelasan suaminya.
"Boleh saya tau, dimana lokasi rumah musim panas itu?" Tanya Lea. "Karena saya mengambil cuti sebentar dari kampus, saya khawatir dengan jaraknya."
"Itu di daerah Northern Stairs, tidak jauh dari pantai Emerald Sea," jawab Pangeran Azzam. "Jika perjalanan ke Universitas Dobuski, memakan waktu kira-kira empat jam."
Lea mengangguk-angguk, membayangkan hamparan pasir putih pantai dan birunya air laut. Lea agak penasaran, apa yang akan mereka berdua lakukan disana? Kalau tidak salah, Yuna juga menyebutkan sesuatu mengenai aktivitas yang bisa dilakukan di pantai Northern Stairs.
"Kalau begitu, kapan kalian akan berangkat?" Tanya Raja Bilal lagi.
"Setelah sarapan, kalau Lea setuju," jawab Pangeran Azzam.
"Tentu saja aku setuju," tukas Lea cepat. Pangeran Azzam mengulum senyum ke arahnya.
"Apakah kalian perlu pelayan disana? Umi bertanya karena kalian punya kebiasaan yang berbeda dengan yang lain," Ratu Fatimah mengulum senyum melihat kemesraan anak sulungnya dengan sang isteri.
"Tidak perlu, Umi." Kali ini Lea yang menjawab. "Akan canggung kalau banyak orang berkeliaran di sekitar saya untuk sekarang. Tapi, saya janji akan menyesuaikan diri secepat mungkin!"
Ratu Fatimah tersenyum lebar, tapi menganggukkan kepalanya tampak puas.
"Kalian bisa menghubungi para pelayan jika membutuhkan sesuatu," tambah beliau.###
Ada yang nunggu?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crown Princess
General FictionBuku ke dua The Crown Prince, My Husband. Menjawab segala pertanyaan 'kenapa?' dari buku pertama. In Sha Allah 🙈 "Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Meng...