another 2:00

676 33 9
                                    

"Lo udah bukan Kevlar yang gue kenal. Gue nggak kenal sama lo dan gue udah nggak mau kenal sama lo lagi, Kevlar!"

Jakarta, 12 November.

Kedua bola mata itu perlahan terbuka bersamaan dengan suara nyaring yang masuk ke telinganya. Matanya mengerjap perlahan, bergerak ke sana kemari melihat sekelilingnya. Ia sudah berada di kamarnya, padahal tadi malam seingatnya ia kehilangan kesadaran di sofa club. Kepalanya pusing, perutnya mual. Tangannya bergerak meraih ponselnya yang tergeletak di lantai, mengangkat telfon yang masuk.

"Kevlar, hari ini kamu jangan sampai terlambat ya. Acaranya mulai jam 11."

"Bun, Kevlar nggak mau datang."

"Kevlar sayang, Bunda tau ini pasti berat. Tapi kamu harus akhiri sekarang juga Nak."

Kevlar mengenggam erat ponsel yang berada di tangannya, berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Tapi sekuat apapun Kevlar menahan, akhirnya air mata itu jatuh juga. Dadanya sangat sesak, hatinya hancur. Kalau bisa mengulang waktu, Kevlar tidak akan melakukan itu semua.

"Bun, Gea bakalan hadir?"

Bibir dalamnya ia gigit keras-keras sembari menunggu jawaban dari Bundanya. Dan apapun jawabannya, Kevlar juga pasti tidak akan kuat. Kevlar tak mau melakukan ini, ini bertentangan dengan kemauannya.

Tapi, Kevlar tau, semuanya tidak bisa berjalan sesuai dengan kemauannya lagi.

"Nggak, Nak."

Seperti yang Bundanya katakan tadi, walaupun berat, tapi Kevlar harus tetap menghadiri acara itu hari ini dan mengakhiri semuanya. Ini adalah keputusan yang terbaik bagi Kevlar maupun Gea dan keluarga mereka. Semuanya harus berakhir di sini, semua yang sudah mereka usahakan sama-sama semuanya akan berakhir hari ini. Tak ada yang bisa Kevlar rasakan selain rasa sakit dan bersalah. Waktu juga tak bisa terulang sesuai dengan kemauannya.

Kini Kevlar sedang berdiri menghadap Ayah dan Bundanya, orang tua yang selama ini sudah sabar menghadapi segala perilaku kurang ajar Anaknya dan orang tua yang akan selalu ada di sampingnya sampai kapan pun itu.

Katanya, semua kisah cinta di masa putih abu-abu itu adalah kisah cinta yang paling manis dan takan terlupakan. Tapi kisah mereka berdua harus berakhir tragis di sini. Di tempat ini.

"Ikrar talak."

Sudah hampir satu jam lamanya mobil Kevlar berhenti di depan rumah mewah ini. Rumah yang menjadi saksi bisu hubungan mereka selama ini. Rumah yang dulunya berisik karna suara tawa geli dari perempuan yang akan selalu berada di hatinya sampai kapan pun. Kini rumah itu sudah kosong dan gelap. Di pagarnya tergantung papan bertulisan 'Di Jual'.

Rintik hujan yang menghantam kaca mobilnya membuat Kevlar tersadar dari lamunannya. Kevlar mengendarai mobilnya, menjauh dari rumah itu. Rumah dan kenangannya masih akan selalu melekat di pikiran Kevlar, begitu juga dengan pemiliknya ; akan selalu berada di hatinya sampai kapan pun.

• • •

"Gea!"

Mendengar suara itu, langkah kaki Gea bergerak tambah cepat. Firasatnya memang benar, harusnya ia tidak lewat koridor ini kalau memang ia tidak mau bertemu dengan orang itu. Seperti dikejar setan, banyak doa yang ia lafalkan di mulutnya. Tapi semua itu tidak manjur saat orang itu sudah berada di hadapannya dengan senyum menyebalkannya itu. Gea baru sadar, kalau doa-doa yang ia lafalkan tadi hanya untuk mengusir setan, bukan mengusir bocah alay.

"Kok mukanya gitu? Emangnya nggak seneng ketemu sama pangeran berkuda putih mu ini?"

"Kuda lumping lo mah!" sahut Gea galak sembari melewati tubuh itu begitu saja.

Bukannya pergi, tapi orang itu malah tertawa geli dan tetap saja berusaha untuk mengejar Gea, berusaha mensejajarkan langkah kakinya. "Kita udah 2 hari nggak ketemu loh, lo nggak kangen sama gue?"

"Lo bisa stop nggak sih Sen?"

Namanya Arsenio, laki-laki jurusan arsitektur yang seangkatan dengan Gea di kampus ini. Tubuhnya tinggi, hingga membuat Gea menjadi kurcaci saat berada di dekatnya. Matanya gelap dan tajam, tapi tak pernah tajam jika ia melihat Gea. Senyumnya sangat amat manis, hingga sesekali berhasil membuat Gea terpaku melihatnya. Tapi satu hal yang Gea tak suka darinya ; Arsenio itu jahil. Apalagi pada Gea.

"Stop falling love with you?" tanya Arsenio, "nggak bisa lah!"

"Stop teriak-teriak!" balas Gea menghentikan langkahnya, menatap Arsenio galak, "ini tuh bukan negara kita, jadi jangan teriak-teriak gitu!"

"Bisa. Apa sih yang nggak buat lo."

Gea menghela nafasnya kasar, kembali melangkahkan kakinya. "Lo nggak sibuk apa? Hari-hari gue liat di koridor mulu, kayak bukan anak arsitektur."

Senyum Arsenio bertambah lebar. "Berarti lo diem-diem suka perhatiin gue ya? Tuh kan, gue bilang juga apa, lo tuh udah jatuh cinta sama gue yang mempesona ini, jadi stop deh ngehindarin gue."

"Gue nggak suka cowok berisik," ucap Gea membuat Arsenio diam seribu bahasa. Tak menyahut ucapan Gea, hal itu membuat Gea menoleh, menatap Arsenio yang diam, "kok diem?"

"Katanya nggak suka cowok berisik. Ini gue diem."

Gea menghela nafasnya kasar. Kalau kesabaran bisa dibeli, Gea akan membelinya banyak-banyak.

"Gea."

"Apa?" balas Gea sembari melanjutkan langkahnya, tidak menyadari kalau Arsenio sudah menghentikan langkahnya, "apa?!"

Langkah kaki Gea juga ikut berhenti ketika menyadari bahwa Arsenio sudah tak ada di sampingnya. Ia berbalik, menatap Arsenio yang juga sedang diam sembari menatap ke arahnya. Aduh, apalagi ini? Kesabaran Gea sudah setipis tisu sekarang, jadi mending kalau mau selamat, jangan melakukan hal yang aneh-aneh deh, Arsenio.

Perlahan, Arsenio kembali mendekatinya, kali ini matanya menatap lurus ke arahnya. Senyuman jahilnya itu hilang dibawa angin. Arsenio hanya menatap Gea dalam, membuat jantung Gea berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

"Ge," ucap Arsenio begitu sampai di hadapannya, "biarin gue jadi bagian hidup lo. Gue mohon, buka hati lo untuk gue Ge, please. Biarin gue masuk ke dalam sana."

"Arsenio," balas Gea, "gue udah bilang ribuan kali sama lo, kalo gue ini bukan cewek baik-baik kayak di pikiran lo itu. Gue jauh dari kata baik-baik."

Walaupun sudah bukan anak SMA lagi, tapi Gea tidak pernah berubah. Ia masih cengeng seperti biasanya, ia juga masih butuh seseorang yang selalu ada di sampingnya, untuk menopangnya saat ia jatuh.

"Lo itu baik, keluarga lo baik. Gue nggak deserve lo, Arsenio."

"Berapa kali gue harus bilang kalo gue nggak perduli, Ge. Mau lo bilang masa lalu lo kelam, atau apapun itu, gue nggak perduli. Gue cuma mau lo," ucap Arsenio lembut, "gue mau jadi orang yang bisa lo andelin di segala situasi. Gue mau jadi orang yang bisa lo peluk saat lo lagi nangis sendirian di kamar lo. Gue mau nemenin lo disegala kondisi Ge. Gue mau jadi obat dari segala luka lo itu. Gue mau jadi alasan lo lupa sama semua sakit di masa lalu lo itu, gue mau lo."

Air mata Gea turun semakin deras, membuat Arsenio mengusap air mata itu, dengan tisu. Semua yang Arsenio lakukan padanya, selalu berhasil membuat Gea jatuh hati. Perlakuan lembutnya, sikap sopannya, nada bicara yang lembut dan juga yang paling penting ; Arsenio bisa menghargainya seperti sebagaimana ia menghargai Ibunya.

Tapi Gea selalu menghalangi Arsenio yang ingin masuk ke dalam hatinya dengan tembok yang ia bangun sangat tinggi dan kokoh. Tak bisa dihancurkan oleh siapapun, bahkan Arsenio sendiri. Hanya dirinya yang bisa menghancurkannya.

Dan saat ini, tembok itu runtuh dalam sekejap.

Bersamaan dengan Gea melingkarkan kedua tangannya di pinggang Arsenio.

- END -

2:00 amTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang