“A father’s tears and fears are unseen, his love is unexpressed, but his care and protection remain as a pillar of strength throughout our lives.” –
Ama H. Vanniarachchy
.
.
."Ng, Ayah..."
Aku mencoba mencairkan suasana canggung yang tercipta antara aku dan Ayah. Selepas makan malam setengah jam lalu, posisi kami masih sama. Seberang menyeberang meja makan, berhadapan tanpa kata. Maira dan ibu sudah tak terlihat membereskan dapur, memberikan privasi untuk aku dan ayah.
Ya, mungkin itu yang kubutuhkan sekarang.
Aku menelan ludah. Menunduk, tak berani menatap wajah ayah. Terlalu banyak kesalahan yang kubuat selama dua tahun ini padanya. Mengabaikannya seperti ia tak ada walaupun kami masih berada di bawah atap yang sama.
Dan ayah juga sama, membentangkan jarak, untuk memberikanku waktu sendiri.
"Apa kabar, Vio?"
Suara bertimbre rendah, keluar dari mulutnya. Kutahu ia sama canggungnya denganku. Sifat kami, wajah kami begitu mirip, namun saking miripnya, kami jadi sering berada di situasi canggung.
"Aku baik-baik saja, Yah," jawabku. Mencoba menatapnya sebentar, lalu aku kembali tertunduk saat melihat wajahnya. "Bagaimana kabar Ayah?"
"Baik..." jawabnya.
Lalu canggung lagi.
Seandainya aku memiliki sedikit saja kecerewetan Maira, pasti situasi tak akan secanggung ini.
Begitu banyak hal yang ingin kukatakan pada ayah. Hanya saja, kata-kata itu hanya sampai di tenggorokan. Tak sampai ke pita suaraku.
"Terima kasih sudah datang ke acara keluarga besar Ayah tadi..."
Aku tersenyum. Mengingat lagi reaksi ayah saat aku, tak ada angin tak ada hujan, memutuskan untuk ikut. Reaksinya tak bisa kubaca, hanya saja aku tahu, ia merasa senang saat itu.
"Aku ingin bertemu dengan mereka, Yah. Lagipula Ila, anak Tante Marissa 'kan bertunangan. Jadi aku harus datang."
Ayah mengangguk. "Ya, Tante Marissa selalu merongrong Ayah agar kau datang. Ayah pikir kau masih perlu waktu, jadi Ayah memikirkan apa lagi alasan kau tak datang."
Aku tertawa kecil. "Tante Marissa pasti akan datang ke sini dan menyeretku ke sana walaupun aku masih memakai piyama."
Ayah mengangguk, tersenyum. "Ya, dia memang seperti itu. Mungkin telinga Ayah akan putus karena setiap kau tak hadir, ia akan selalu menjewer Ayah."
Lalu kami tertawa bersama. Tawa yang hampir sama, pelan, bernada rendah.
Kami terdiam lagi. Kutahu begitu banyak hal yang ingin ayah ucapkan, tapi sekali lagi, kami begitu mirip hingga aku tahu secanggung apa ayah memulainya.
"Ayah..." panggilku. "Vio minta maaf–"
Sebelum aku berhasil menyelesaikan kata-kata, air mataku tertumpah begitu saja.
Ayah menghampiriku, duduk di sampingku, di kursi Maira.
Ayah diam saja, menungguku menyelesaikan perkataanku.
"Vio sudah mengabaikan ayah selama dua tahun ini. Menyalahkan Ayah atas semuanya, mengabaikan Ayah atas sesuatu yang tidak pernah Ayah lakukan."
Kurasakan tangan besarnya berada di kepalaku. Menepuk-nepuk kepalaku lembut, namun masih tersisa sedikit kecanggungan.
"Setiap hari, Ayah selalu berpikir, apakah ini semua karena Ayah?"
Aku menggelengkan kepalaku keras.
"Kau ingat, pertama kali kau membawa Rakai ke rumah ini, Ayah bersikap dingin padanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMEDAY
RomanceKebahagiaan itu bagaikan selembar kertas. Terlihat indah berhias ribuan warna, namun akan hancur jika sedikit saja terkena goresan yang tak tepat. Kebahagiaan itu akan hancur lebur, lalu berubah menjadi duka. Violetta pernah bahagia, seakan ia perna...