Timeline

20 7 1
                                    

"Let the globe, if nothing else, say this is true:
That even as we grieved, we grew
That even as we hurt, we hoped
That even as we tired, we tried
That we'll forever be tied together, victorious." - Amanda Gorman

.
.
.

"Teh Vio, makan siang, yuk!" Ririn mengintip dari kubikelnya, tersenyum padaku.

"Oke, tapi aku selesaikan ini dulu sebentar, ya?" Tanganku mengetik lebih cepat, menyelesaikan sisa pekerjaanku.

"Oke, sip."

Ririn bangkit dari kursinya, berjalan dengan canggung karena membawa beban berat di perutnya. Wanita yang sedang hamil enam bulan itu, berjalan menghampiri kubikel cewek-cewek keuangan lain, mengobrol sebentar karena menungguku.

"Kalian duluan saja..." Aku betul-betul tidak enak karena mereka harus menungguku selesai. Semua ini karena ke-perfeksionisanku. Aku tidak bisa makan dengan tenang, dan berakhir canggung di meja makan.

"Nggak apa-apa, kami juga lagi ngemil, kok." Mbak Rini menunjukkan bungkus cemilannya padaku.

Aku tersenyum dan kembali ke layar, merasa bersyukur karena mereka sangat baik dan mereka tak begitu mencampuri ranah pribadiku kecuali jika aku yang menceritakannya.

Seandainya saja sejak dulu aku membuka mata, bahwa banyak sekali orang baik yang peduli padaku, mungkin kehidupanku selama dua tahun ini tak seperti zombie.

Sudah selesai, aku menyimpan dan membuat arsip cadangan. Pekerjaanku sudah rapi dan sempurna.

"Aku buang air kecil lima kali semalam," keluh Ririn sambil berjalan pelan menuju kantin. "Mas Davi kubangunkan setiap satu jam."

"Haduh, penakut," ledek Dwi.

"Biarin, daripada kamu, mau pipis bangunin Mami." Ririn meleletkan lidah.

Aku tertawa kecil.

Biasanya, perjalanan dari divisi keuangan di lantai 11 ke kantin di lantai tiga begitu sunyi. Aku selalu berjalan sendirian, tenggelam  dalam pikiranku sendiri. Tak memedulikan orang lain yang berada di depanku.

Sekarang, perjalananku riuh rendah oleh percakapan ringan yang entah mengapa, aku suka mendengarnya. Mendengar gosip terbaru, atau model rambut terbaru, aku tak menganggap topik itu sampah lagi.

Terkadang, kita membutuhkan topik-topik yang ringan karena hidup sudah terlalu berat.

"Siap-siap, Kak Vio." Dewi menyikut lenganku.

"Apa?"

"Tuh..." isyaratnya dengan dagu.

Aku mengikuti arah pandang Dewi.

Puluhan pria yang sedang duduk di meja kantin kompak menoleh ke arahku. Tanpa kata, hanya memandangku dan menyunggingkan senyum.

Oh. Tidak.

***

"Nih!" Dion menyodorkan tiga bungkusan kepadaku. "Yang biru, dari Alva, HR. Yang cokelat, dari Banie, IT. Yang merah jambu, dari Giar, Marketing."

Dion menutup buku catatannya.

"Memangnya tampangku seperti kurir?"

Terdengar tawa dari meja Ririn dan Mbak Rini. "Pakeeeet..." Mbak Rini menirukan suara kurir paket dengan sempurna.

"Maaf ya, Dion. Nanti aku kembalikan pada mereka."

"Hah?"

"Aku tak bisa menerima hadiah, ulang tahunku masih lama."

SOMEDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang