Rasa bersalah menghantui di sepanjang malam. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menanyakan kebenaran, tetapi berakhir sia-sia ketika menekan tombol "back" pada ponsel yang sejak tadi kugenggam.
Sebagian orang bisa bertanya tanpa pikir panjang. Namun, aku--yang sejak kecil tak pernah menuntut dan mendapat pilihan--rasanya sulit sekali untuk mengungkapkan. Jadi selama ini yang aku lakukan hanya bertanya tanpa pernah melontar.
Hari itu, aku berjalan menuju gerbang fakultas, masih menggenggam telepon. Berharap ketika di luar dengan suasana bising, aku bisa lebih berani untuk menelepon ibu. Namun, semua buyar ketika aku mendengar percakapan dua orang pria yang duduk di pos satpam.
"Gila, jadi bokapnya Alfian koruptor?"
"Setelah denger gosip itu, gue langsung googling berita portal online, dan memang bener. Keluarganya juga hancur berantakan setelah kejadian itu. Makanya si Marisa minta putus."
"Wah, kalau itu sih gue gak bisa nyalahin Keputusan ceweknya. Hari gini mah lihat tampang bukan hal paling utama lagi, Bro. Adek cewek gue kalau mau pacarana juga wajib lihat bibit, bebet, dan bobotnya dulu. Lo tahu kan istilah buah gak jauh dari pohonnya. Ih, amit-amit!"
Wajah Alfian kecil yang panik dan menangis ketakutan terbayang dibenakku. "Brengsek!" Pertama kalinya aku mengumpat kesal. Sehingga detik itu juga, aku langsung berbalik arah menuju kosan Alfian.
Aku naik ke lantai dua kamar Alfian, lalu mengetuknya tak sabaran. Belum sampai tiga kali mengetuk, pintu itu sudah terbuka lebar. Alfian ada di sana, dengan rambut acak-acakan, baju putih polos, dan celana kolor kotak-kotak yang biasa ia pakai beli sarapan bubur dekat kampus.
"Kangen, ya?" ujarnya dengan nada mengejek. Meskipun messy, wajahnya tetap tampan. Semua bayangan tentang kekhawatiran sirna sudah.
Melihat aku yang menghembuskan napas lega, senyumnya makin mengembang. Ia terlihat sangat senang "Kamu gak kenapa-kenapa kan?"
Namun, setelah melihat ekspresiku yang tidak biasa membuat senyum itu sedikit mengendur. Barangkali Alfian sudah bisa menebak bahwa aku sudah tahu sesuatu. "Tentang berita yang udah menyebar?" Ia terlihat sangat tenang mengatakannya.
"Aku harus buat perhitungan sama Dimas!" Aku tidak main-main dengan ucapanku. Sudah mencuri, seharusnya ia cukup tahu diri untuk tidak membuat suasan makin kisruh. "Tetapi sebelum itu ... aku ke sini karena khawatir sama keadaan kamu."
"Sampai bolos kelas?"
Aku tergagap-gagap untuk membalas. Demi Tuhan, aku terlalu implusif sampai-sampai melupakan tujuanku ke kampus hari ini. "Itu-anu-ah, aku emang mau bolos kok. Aku gak suka mata kuliahnya." Atau barangkali aku payah untuk berbohong sehingga Alfian tertawa melihat ekspresiku yang dungu.
"HAHAHA, ya udah kalau gitu masuk dulu sini ke kamar," ajaknya. Lalu tanpa pikir panjang, aku pun masuk ke dalam.
Penampilan Alfian boleh acak-acakan, tetapi kamarnya sangat rapih untuk ukuran lelaki. Aroma lemongrass bercampur nikotin yang paling dominan. Persis seperti kamarnya yang di kontrakan. Pandanganku menyapu ke seluruh ruangan, tata letak koleksi beberapa bukunya diurutkan berdasarkan ukuran, kemejanya yang rapih digantung di stand hanger.
Bedanya kamar ini sedikit gelap kurang pencahayaan. Ditambah Alfian menutup jendela dan horden sehingga pencahayaan hanya berasal dari celah pentilasi serta layar laptop yang menyala. Tidak ada yang berbeda, kecuali bingkai foto keluarganya yang tidak kutemukan lagi di kamar ini.
"Kamu gak perlu segininya sama aku, Ta. I'm fine kok. Berita itu gak berarti apa-apa lagi sekarang." Alfian bicara dengan nada rendah. Aku bisa melihat kesungguhan di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Sunshine (Selesai)
Roman d'amourTidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...