19.

1.7K 174 28
                                    

Dokter memvonis bunyai gagal ginjal stadium lima seperti dugaan perawat subuh tadi.

Sekarang setelah bunyai dipindah ke ruang inap kelas yang seharusnya, Alca bersama Gus Kafa sedang berhadapan dengan perawat sekaligus dokter yang sedang menjelaskan perawatan yang tepat untuk penyakit kronis yang diderita bunyai.

"Mas, Mbak, seperti yang sudah dijelaskan tadi, ginjal ibu mengalami penurunan fungsi, hal tersebut yang membuat kaki ibu mengalami pembengkakan karena cairan di dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan. Kenapa tidak bisa? Karena ginjalnya bermasalah. Solusinya apa? Karena stadiumnya sudah lanjut, jadi kami sarankan untuk cuci darah. Prosedur perawatan ini untuk menyaring limbah dan air dari darah, sama halnya seperti fungsi ginjal dalam tubuh."

Bunyai tampak terkejut. "Loh aku wes ndak popo, Dok. Alhamdulillah wes sehat, lapoo cuci darah cuci darah. Aku sehat, wes gak usah nganeh-nganeh."

Dokter spesialis penyakit dalam bernama Dokter Prita itu tersenyum tipis lalu menundukkan dirinya untuk menenangkan bunyai dengan cara menepuk pelan bahu bunyai.

"Bu, ndak papa. Insyaallah ibu sehat dan bisa beraktivitas seperti sebelumnya. Cuci darah bukan hal mengerikan. Malah jika ibu tidak mengeluarkan cairan dalam tubuh ibu, ibu akan sering lemas, mual, dan muntah sebab racun yang seharusnya dikeluarkan melalui urine jadinya terperangkap dalam tubuh."

Bunyai menggeleng tegas. "Ndak, Dok. Saya sudah sehat. Ginjal saya yo sehat."

Alca mencengkeram jemarinya. Dia kembali deja vu. Ibunya dulu sama seperti bunyai tak mau cuci darah dan berakhir ... you know lah.

Bunyai kekeuh menolak perawatan tersebut.

"Saya beri ruang agar keluarga berdiskusi dulu, Mbak, Mas. Nanti siang perawat akan datang lagi meminta persetujuan," ujar Dokter Prita sembari tersenyum tipis. Setelahnya beliau izin pergi untuk melanjutkan tugasnya.

Alca juga izin pergi untuk memberi ruang antara Gus Kafa, bunyai, dan anak tertua pakyai lewat telepon agar mereka mendiskusikan tentang hal tadi.

Alca memilih duduk di kursi tunggu dekat dengan nurse station sembari menunggu Saiful yang akan datang menjenguk bunyai mewakili Bude Nur.

Alca menatap ujung sendalnya sembari merasakan ketakutan yang memenuhi relung hatinya.

Perasaan takut kembali kehilangan dan takut kembali tak memenuhi keinginan.

Dulu sebelum mamanya meninggal, mama sempat mengatakan padanya bahwa besok pagi ingin memakan buah semangka yang dingin, segar, dan tak berbiji. Qodarullah keinginan itu belum sempat terpenuhi sampai detik ini karena mama Alca lebih dulu memenuhi panggilan-Nya.

Alca termenung dan menimbang banyak hal hingga akhirnya dia mengangguki pilihannya.

Tak berapa lama abangnya itu datang dengan seplastik buah dan sekotak lobster kecil berbumbu merah.

Dia tersenyum lebar kala melihat Alca.

"Tambah cantik aja adik Abang, Rek," ujar Saiful yang sudah tak gengsi lagi memuji Alca.

Alca tersenyum tipis lalu bangkit menyambut abangnya.

Sebelum mondok, Alca sama sekali tak pernah menyambut kedatangan Saiful dari mana pun, sebab setelah orang tuanya meninggal dia pernah dibentak karena terlalu berisik ketika menyambut Saiful pulang, membuat kepalanya pusing katanya.

Kini setelah terpisah oleh tembok pesantren, Saiful memperlakukannya seperti adik kecil yang harus sangat-sangat dijaga karena takut terluka. Saiful yang sempat berubah menjadi apatis karena kehilangan orangnya tuanya, kini kembali lagi dan membuat Alca merasakan hangatnya keluarga lagi.

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang