Ada hal-hal kecil bermakna besar di hidup ini. Aku tak pernah tahu bahwa perhatian seseorang akan membuat diriku merasa dicintai. Meskipun hubungan kami masih abu-abu, tetapi aku bisa merasakan dari perubahan sikap Alfian.
Aku mengigit bawah setelah membaca pesan yang terakhir kali Alfian kirimkan. Katanya dia akan mengajak ke Warung Eyang sore ini dan aku tidak sabar menantikannya. Senyumku tidak pernah luput di sepanjang perjalanan ke kampus. Sampai ketika ibu meneleponku.
"Halo." Aku sempat menepi untuk mengangkat telepon.
"Halo, Ta. Ini Budhe. Cepet ke Cirebon, Ibu kamu barusan saja pingsan pas mau pergi ke pasar. Ini langsung dibawa ke rumah Mantri dekat rumah." Suara Budhe terlihat panik dan buru-buru, tetapi aku masih bisa jelas mendengarnya. Kakiku lemas, rasanya seperti flashback ketika mendengar ayah kecelakaan.
"Baik, Budhe. Sekarang juga Lita ke sana. Tolong kabarin perkembangan kondisi ibu."
Kemudian jariku langsung mengetik nama "Alfian" untuk memberi kabar dan meminta bantuan mengantarkan ke stasiun atau pun terminal. Namun, ia tidak mengangkatnya. Aku baru sadar bahwa tadi Alfian bilang sedang bekerja. Jadi aku mengurungkan niat untuk merepotkannya. Hidupnya sudah sulit, aku tak ingin makin membebaninya.
Kakiku masih gemetar, napasku mulai tidak karuan sebab membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang aku takutkan terjadi pada ibu. Air mataku mengalir deras, meski sudah mati-matian aku tahan. Jari-jariku mencengkram gagang tas ransel, menunggu angkot depan gang kosan dengan gelisah.
Kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat dihadapanku. Pengemudinya membuka kaca, lalu terkejut ketika aku menangis. "Lo kenapa? Mau ke mana?"
Aku terkejut melihat Gie. Karena malu, aku membalikan badan, dan berniat untuk kabur. Gie berteriak memanggil namaku, lalu menyuruhku masuk ke dalam mobil. Banyak pasang mata, terutama ibu-ibu yang sedang berkerumun membeli belanjaan di tukang sayur keliling menatap kami layaknya tontonan. Mereka berbisik-bisik, mengira bahwa aku dan Gie adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
Tidak sampai di situ saja, mobil Gie pun berkali-kali diklakson oleh angkot dan pengemudi lain yang ingin keluar dari gang. "Minggir Anying, aing mau lewat!"
Gie terlihat tidak peduli. Sejak tadi hanya aku saja yang jadi perhatiannya. "Gue bakalan di sini aja kalau lo masih di sana!" katanya yang mau tidak mau membuatku lari dan masuk ke dalam mobil Gie, seperti yang ia minta. Lelaki itu membawaku ke tempat sepi. Ia mengecilkan suara musik, membiarkan aku tenang sedikit.
"Lo bisa nggak sih, anggep gue kayak Alfian. Lo bisa cerita sama gue, ngerepotin gue semau lo. Gue juga bisa kok kayak Alfian."
Gie terlihat putus asa karena aku tidak bicara sama sekali, bahkan tubuhku pun membelakanginya. Aku sangat berterima kasih atas ucapan Gie yang tiba-tiba itu. Tapi aku benar-benar tidak ingin diganggu, sulit rasanya bercerita dari awal, mungkin hanya membuka luka yang sudah lama kukubur.
Saat itu, yang hanya aku pikirkan adalah keadaan ibu. Aku tak peduli yang lain. Termasuk bagaimana nanti Gie menganggapku sebagai perempuan seperti apa. "Gie, Ibu aku lagi sakit. Bisa tolong anterin aku ke stasiun? Aku mau pulang ke rumah."
Gie yang sedang merebahkan tubuhnya ke jok, bangkit seketika. Ia melirikku dengan tatapan iba. "Rumah lo di mana? Cirebon, kan?" Aku mengangguk pelan. "Biar gue anterin."
"Tapi—"
"Cepet pasang lagi seatbelt-nya," katanya lagi seolah-olah tidak mau dengar penolakan.
**
Budhe Eli lebih tertarik mengetahui seluk-beluk Gie ketimbang aku yang baru saja datang ke rumah. Mobil sedan mewah yang terparkir di halaman rumah pasti menjadi alasannya. Budhe Eli terus menayakan perihal hubungan kami yang tentu saja langsung aku tegaskan bahwa kami hanya berteman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Sunshine (Selesai)
RomanceTidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...