Chapter 2: The Beginning

61 4 2
                                    

Tahun 2007 merupakan tahun saat aku mulai menginjak ubin kusam kelas 5 sd. Kita kebagian menggunakan ruang kelas yang berada di lantai 1 itu mulai tengah hari hingga jam setengah lima sore.

Ruangannya cukup untuk anak-anak seusiaku leluasa bermain, bergembira, kuda reot-an, loncat harimau, melewati rintangan di medan perang yang disusun atas kursi-kursi hasil hibah pemda setempat, dan berlarian mengejar nilai hingga mengejar hal yang masih tabu bagi kalangan anak sd yaitu ketertarikan pada lawan jenis. Terlalu dini untuk mengatakan hal-hal semacam itu dengan kata 'cinta'. Yuck! Menggelikan sekali, saudara.

Ah, masa kecil ini tidak boleh disia-siakan untuk diisi berbagai hal yang tidak bermanfaat. Anak-anak ini, bisa-bisanya mereka belajar cinta-cintaan. Maksudku, tidakkah ini terlalu cepat?

Dibandingkan dengan yang anak-anak lain, aku lebih memilih membaca buku-buku pinjaman perpustakaan sekolah tempat ibuku mengajar. Komik, cerita rakyat, dan ensiklopedia lebih terlihat lovable dibanding teman-teman cowok seusiaku di sekolah. Mereka begitu bringas, tidak tahu aturan, berisik, berkata dan bertindak tak sepatutnya pada teman-teman perempuan. Huh, mereka sudah begitu sejak awal aku baru saja pindah ke kelas 1 semester genap.

Tapi aku pikir ada sisi baiknya juga memiliki makhluk-makhluk jenis mereka di masa sd. Mereka bisa sangat santai menghadapi segala tugas yang hampir tidak selesai, dipanggil ke ruang guru, membuat keributan dengan tenangnya sebelum ulangan, dan kembali dipanggil ke ruang guru. Begitulah mereka dengan tindak tanduknya sebagai penghibur kita semua.

Sebenarnya aku bingung harus memperkenalkan diriku di bagian mana. Tapi sepertinya ini adalah bentuk perkenalan singkat sekaligus telat yang bisa aku sampaikan.

Aku terlahir dengan latar belakang keluargaku yang dua-duanya jawa tulen dan seiring berjalannya waktu berbagai macam istilah yang teman-teman cowok lontarkan mengenai diriku mewarnai hari-hari biasaku di sekolah.

Bagi sebagian besar anak cowok, hal yang mereka lakukan itu dianggap sangat wajar. Aku sih sudah kenyang, terkecuali teman-teman cewek yang berakhir menangis mengadu pada orang tua. Tidak salah, kami hanya berbeda keadaan.

Aku hidup sebagai anak ketiga dari kedua orang tua yang luar biasa unik dan menjalani hidup yang biasa-biasa saja, tidak seperti kedua kakakku yang telah beranjak SMA. Mungkin aku salah satu makhluk Tuhan yang paling biasa? Hidup yang kujalani terasa sangat biasa.

Biasa dimarahi karena tidak mau makan sampai diduga cacingan. Biasa dimarahi ketika sorenya duduk sigap di depan TV bersiap menonton serial remaja yang sedang ngetren kala itu alias Kepompong.

Bersiap untuk lari ketika hampir ketahuan membunyikan bel rumah-rumah tetangga korban kejahilan temanku-yang akupun ikut terseret di dalamnya dan susah mendapatkan nama baikku kembali.

Entahlah, saat itu tak ada yang semenarik ketika dibelikan majalah Bobo oleh ayah tiap minggunya dan badminton court pastinya! Ah, lapangan hijau itu adalah mimpiku sedari kecil, dan bahkan aku hampir saja mengirim surat sebagai fans Hendra setiawan tetapi gagal. Hahaha.

Satu hal yang pasti aku bermimpi bisa menonton langsung pertandingan Hendra dkk langsung di tempat. Apakah waktuku akan sampai? atau nanti pemain yang kuidolakan sudah terlanjur gantung raket alias pensiun?

***

What?

Anak itu tinggal satu komplek denganku?!

Yang lebih parahnya lagi, dia sekeluarga tinggal di rumah samping rumahku, persis?!

In the name of God.

Jadi, mulai sekarang aku bakal tahu bagaimana interaksi mereka sekeluarga sehari-hari. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan, kisanak?!

Hahaha bagai kejatuhan durian runtuh, yah kebetulan menjabat sebagai ketua RT hingga tiga tahun mendatang yang berarti ada kesempatan untuk mengintip kartu keluarga mereka. Tapi, tenanglah, aku tidak punya niat jahat apapun, sama sekali tidak.

Aku bertanya-tanya episode Naruto dan One Piece apa yang terakhir aku tonton. Ya, meskipun tidak ada hubungannya sama sekali tapi aku merasa cukup excited! Jawaban demi jawaban mengalir begitu saja hingga tanda tanya di dahiku mulai memudar.

Bolehkah aku berteriak 'Eureka! Eureka!' layaknya Archimedes yang baru saja keluar dari bak airnya? Tidak. Aku tidak membutuhkan bak mandi penuh air saat ini juga.

Belakangan ini diketahui bahwa tetangga sebelah merupakan keluarga batak yang berjumlah delapan individu.

Wait

Itu adalah angka yang fantastis bagi keluarga di lingkungan RT ini. Mereka terdiri atas bapak, ibu, dua kakak laki-laki, anak misterius, satu adik perempuan, dan dua lainnya laki-laki.

Holy crap.

Rame sekali yah? Membayangkan pertarungan di meja makan saja sudah membuatku berdecak ngeri. Tetapi pasti sangat seru kalau bisa bermain permainan monopoli sekeluarga. Hahaha ada-ada saja.

Keberadaan mereka di samping rumah mungkin merupakan sebuah keajaiban. Kini sisa masa kecilku secara tidak langsung menjadi lebih berwarna dan perlahan menjadi tidak biasa.

Hari-hari kujalani dengan rasa penasaran dan hasrat ingin berteman dengannya. Dia yang berbeda dari kebanyakan teman-teman cowok di sekolah, dia, si anak misterius yang boyish dan sok cool. Dia yang akan mewarnai dua tahun terakhirku di sd dengan hal-hal yang tidak terduga.

Sosok yang menjadi tokoh yang kutulis di dalam cerita. Dia yang tak luput dari sekian banyak doa yang kupanjatkan. Dia, pria pemilik senyumku yang merekah di sudut ruang hatiku.

***

Untold PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang