oh my (2)

1.1K 78 13
                                    

🌼🌼🌼

Sudah lebih dari dua minggu sejak kejadian penculikan Devanka Gautama dan sejak saat itu Serra belum bertemu dengan Aldric lagi. Laki-laki itu bak lenyap ditelan bumi. Tak pernah muncul di rumah sakit, tak pernah muncul di depan indekos-nya pun tak pernah muncul hanya sebagai bentuk pesan atau panggilan lewat ponsel.

Aldric benar-benar menghilang. Pun Serra tidak berusaha menghubunginya. Bukan tidak berusaha tapi Serra memilih untuk tidak menghubungi laki-laki itu. Selain karena dirinya tidak tahu harus bagaimana memulai percakapan juga karena yang ia dengar dari gosip yang berkeliaran di rumah sakit adalah Aldric yang sibuk mengurusi permasalahan tersebut. Beberapa orang di rumah sakit berspekulasi bahwa ada hubungan istimewa antara laki-laki itu dengan gadis bernama Vanka tersebut.

Serra tentu saja memilih langkah mundur.

Namun saat ia baru saja selesai shift pada malam itu, Adzkiya muncul di rumah sakit. Menyapanya dengan wajah bengkak lantas berkata ingin mengajaknya ke suatu tempat. Tempat yang tak pernah Serra sadari bahwa berada di gedung yang sama dengan tempatnya bekerja hampir dua puluh empat jam. Lantai tersebut ternyata dibuat khusus untuk anggota Sanjaya dan orang-orang penting bagi keluarga mereka.

Berada di lantai yang Serra bahkan tidak tahu pernah ada, Kiya mengajaknya menjenguk seseorang. Seseorang yang juga tidak pernah ia bayangkan akan terlihat semenyedihkan saat ini.

"Hei, girl. I'm back."

Sapaan Kiya terdengar ringan dan ramah. Wajahnya yang tadi kuyu hilang begitu saja, berganti dengan senyumnya yang teramat lebar. Membuat gadis yang berbaring di ranjang tersebut juga menarik senyum simpul.

"Tadi aku gak sengaja ketemu Serra di bawah. Sekalian deh aku ajak kesini. Kamu udah kenal, kan?"

Gadis itu mengangguk. "Pacar Aldric."

Kiya mengangguk semangaat. Merangkul lengan Serra untuk membawanya mendekat. Serra bisa merasakan pegangan Kiya sedikit bergetar di lengannya. Namun ia tahu bahwa dirinya juga harus menarik bibirnya membentuk senyum.

"Hai, Vanka. How do you feel?"sapanya ramah. Vanka ikut tersenyum kecil.

"Selain kakiku yang gak ada rasanya. I'm good. Kebanyakan tidur jadi badanku kebas dan pegal."

Ketiganya lalu mengobrol singkat. Tidak bisa dikatakan mengobrol karena lebih banyak Kiya yang mendominasi pembicaraan. Gadis itu bercerita tentang banyak hal terutama soal kisah cintanya dengan sang suami yang awalanya bertepuk sebelah tangan. Serra bisa melihat bahwa selama mengobrolpun, Kiya tidak banyak menatap Vanka. Gadis itu hanya terus-terusan melihat kearahnya dengan sesekali melirik Vanka dan meminta persetujuan. Lalu bercerita tentang persahabatannya bersama Vanka dan Kavi--laki-laki yang juga ternyata adalah sepupu Vanka. Dari mereka kecil hingga dewasa.

Serra menyadari bahwa Kiya saat ini hanya berusaha menghibur Vanka dan seolah mengatakan bahwa dirinya ada untuk sang sahabat. Hingga hampir dua jam berlalu, Serra menyadari bahwa Kiya mulai habis bahan cerita. Gadis itu tampak menghela napas berkali-kali sembari terus melirik Vanka. Dan saat itulah ia bangkit dari kursi, membenarkan selimut Vanka lalu menurunkan kasurnya hingga gadis itu kembali berbaring dengan nyaman.

"Udah malam. Vanka harus segera tidur biar cepat pulih."

"Baik, Dokter Serra."gurauan Vanka membuat ketiganya tertawa. Setelah mengatur suhu dan lampu ruangan, Serra kembali melangkah keluar dari ruang rawat tersebut mengikuti langkah pelan Kiya yang memimpin jalan.

Hingga sampai di lift, Serra menatap Kiya yang menekan tombol naik.

"Aku kembali ke bawah, ya?"ucapnya pelan. Membuat Kiya menoleh. "Atau masih mau aku temani?"

Wanita cantik itu mengangguk. Membuat Serra akhirnya ikut masuk ke dalam lift dan berdiri bersisian dengan Kiya. Ia melirik tangan Kiya yang masih gemetar lalu mengulurkan tangannya dengan canggung.

"Mau?"

Kiya menatapnya bingung.

"Tangan kamu gemetar. Mau kugandeng?"

Ditawarkan begitu membuat Kiya tersenyum kecil. Ia meraih jemari Serra lalu digenggamnya erat. Memeluk lengan yang masih berbalut jas dokternya lantas menumpukan kepala disana.

"Aku gak tahu harus bersikap seperti apa didepan Vanka. Dia pasti shock waktu tahu kakinya diamputasi, tapi dia kelihatan baik-baik aja. Gak pernah nangis tapi aku tahu tatapannya bener-bener kosong."

Serra tidak tahu harus mengatakan apa. Jadi yang ia lakukan hanyalah mengusap lembut tangan Kiya sembari mengangguk seolah menjawab bahwa ia paham dengan perasaan perempuan itu.

Sampai akhirnya pintu lift terbuka. Keduanya melangkahkan kaki menuju ruangan paling ujung di lantai tersebut yang baru Serra sadari adalah sebuah ruangan yang ditata seperti ruang santai atau lebih mirip ruang keluarga. Ada beberapa pigura yang menggantung menjelaskan pemilik rumah sakit ini. Dengan sofa berwarna abu-abu membelakangi jendela besar dengan balkon yang menghadap bagian belakang rumah sakit. Tempatnya tertutup tanaman rambat di sisi kiri dan kanannya yang menampakkan bangunan-bangunan lainnya. Dari balkon benar-benar bisa melihat seluruh pemandangan bagian belakang rumah sakit.

Serra menyadari bahwa di balkon tersebut ada dua orang laki-laki yang tengah berdiri saling berhadapan. Keduanya tampak amat serius sehingga tidak menyadari kedatangan mereka. Aldric dan Denaka.

Keduanya masih menggunakan pakaian formal dengan kemeja dan celana yang menggantung pas di pinggul mereka. Hanya saja tidak lagi ada jas yang biasa mereka pakai. Jika Naka masih menggunakan dasi walau sedikit longgar dari lehernya, Aldric sudah melepas benda panjang itu bahkan kedua lengan pakaiannya sudah ditarik naik hingga siku dengan dua kancing bagian atas telah lepas dari lubangnya.

Serra berdiri di depan sofa sedang Kiya berjalan menuju keduanya. Membuka pintu balkon langsung menuju Naka untuk dipeluk yang dibalas dengan rangkulan yang sama oleh sang suami. Kedatangan Kiya tentu membuyarkan obrolan mereka. Keduanya juga bahkan menoleh bersamaan dan saat itulah Aldric menyadari keberadaannya.

Senyum langsung merekah di wajah tampan itu. Setelah mengangguk singkat pada Naka, Aldric melangkah masuk lalu melakukan hal yang sama pada Serra. Meraih tubuh sang dokter untuk dipeluknya lantas melayangkan kecupan lembut diujung dahinya.

"Aku pikir aku masih bisa menahan diri sehari lagi buat nyamperin kamu,"

Serra mendongak. Menatap Aldric dengan bingung.

"Tapi ternyata malah aku yang disamperin."

"Aku gak nyamperin."kilah Serra."Aku tadi nemenin Kiya ketemu Vanka terus minta ditemenin kesini. Aku gak tahu kalo kamu ada disini."

Aldric tergelak. "Yaudah gak apa-apa. Berarti aku doang yang kangen."

🌼🌼🌼

Chapter lengkapnya di KK ya, tapi kalo ga baca juga gak apa-apa. Cuman scene 21+ yang gak begitu berpengaruh banyak ke jalan cerita.

love

--aku

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Night BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang