17. Hujan Tengah Malam

3 1 0
                                    

"DIA BISA SAJA MENGHANCURKAN PERUSAHAANMU!!"

Bentakan Rinata masih menghujani seisi kamarku. Sementara aku, memilih fokus menatap banyak pakaian yang berjejer di atas ranjang yang menutupi kain putih beserta selimutnya secara menyeluruh, bersama Bora yang terlalu sibuk mengeluarkan set pakaian dan menatanya hingga tersusun rapi di lemari.

"Kau sendiri kan juga tahu, seberapa liciknya mereka. Istrinya itu tergila-gila dengan uang!!"

"Kalau untuk suaminya sendiri, memang, aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Tapi, ini sudah jelas apa maksud mereka bertahun-tahun ingin menjadi bagian di perusahaanmu!"

"Hey! Jangan bilang, kau masih tidak bisa melupakan cintamu yang sangat tragis!?"

Tampaknya, Rinata mulai geram menghadapi ku yang tidak menyalurkan balasan sedikitpun. Hingga bahuku diraih kedua tangannya, lalu dicengkeram olehnya.

Perasaan malas mulai mencuat ketika sepasang mata berhadapan langsung dengan matanya.

"JAWAB!!!"

Nada teriakannya bahkan menggema sampai menyusupi sudut kamarku. Kubuang wajahku dari tatapan matanya yang sangat intens melihat. Melepaskan cengkeraman tangannya karena rasanya cukup sakit. Aku tidak pernah mengalami bentakan dari Rinata. Untuk hal seserius ini. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Alasan mengapa, aku cukup terkejut melihat Rinata dan terus bertanya dengan diriku sendiri, namun aku selalu bersikap masa bodoh dan tidak akan pernah peduli ada berapa banyak bentakan amarah yang menganggap diriku, adalah orang paling bodoh.

"Kau pikir aku tidak punya rencana?"

Aku mengambil hoodie abu-abu berukuran besar dari tubuhku yang semestinya, bertuliskan USA warna hijau di bagian dada. Akhir-akhir ini, aku sangat menyukai style anak muda. Yang kemana-mana, dan di manapun mereka berada, hoodie adalah penyelamat pakaian mereka ketika mereka benar-benar diambang kebingungan, pakaian apa yang harus mereka untuk hari ini.

Dia ikut berbalik, saat aku berpaling menghadap meja rias, ingin melepaskan seluruh kancing dress ku. "Rencana apa!?"

Sambil melepaskan segala macam pernak-pernik yang menempel di seluruh tubuhku, hingga menyisakan tank top putih, aku tetap berdiri pada janjiku sendiri. Pertemuan itu tidak akan pernah kuceritakan sepatah kata pun.

Tetapi, akan kuberi satu petunjuk agar mulutnya ditutup.

"Balas dendam." Aku menggapai bathrobe yang telah disiapkan Bora sejak awal di atas bangku rias, kemudian melewatkan Rinata tanpa mengucapkan perkataan apapun.

"Balas dendam?" Dia bertanya lagi, aku enggan menjawab.

"Setelah ini tolong pulang. Aku akan bekerja. Kalian sendiri tahu kan, aku tidak suka diganggu saat bekerja."

"Yun Bora, tolong antarkan Rinata pulang. Setelah itu, pekerjaanmu selesai." Titahku memerintahkan kepada Bora.

Aku melihat Rinata meringis tidak percaya. "A-Apa!?"

"Baik, Bu!"

Namun, aku paling menyukai jawaban dari Bora.

~

"Kulihat nilai akademiknya... Cukup mengesankan! Lalu, di sini dia menulis kalau dia adalah mantan atlet petinju. Tapi sejujurnya, tidak ada divisi yang cocok untuknya. Apalagi, dia tidak pernah berkuliah sejak tamat SMA."

Sementara Bora menjelaskan panjang lebar, handphone yang hanya mengeluarkan penjelasan detail dari mulutnya itu, kubiarkan tergeletak di atas tempat tidur.

Mataku terpaku di depan layar laptop yang menyemburkan cahaya terang. Sepuluh jari di atas keyboard yang berdetik mengikuti suara jam, mengeluarkan banyak irama yang seakan membentuk sebuah lagu berdurasi panjang. Kehidupanku saat ini adalah menulis, menulis, dan menulis. Menuangkan seluruh ide yang hampir membuatku gila, demi uang dan ketenaran yang tak ada habisnya ingin kugenggam erat.

From Walkman To SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang