20.

1.6K 151 7
                                    

Bude terbang dari Papua ke Surabaya setelah Alca mengabarkan bahwa penyakit bunyai sama persis seperti kasus mamanya, hingga akhirnya pagi ini di sinilah bude berada, di samping bunyai sedang menyemangati sekaligus membujuk bunyai agar mau melakukan perawatan yang disarankan oleh dokter.

Kemarin saat Alca mengatakan bahwa dia mau menerima tawaran bunyai, beliau sudah tampak ceria sebelum akhirnya keluarga bunyai datang bersama pakyai dengan tangis kasihan mendengar penyakit kronis yang diderita bunyai. Sehingga bunyai kembali bersedih dan tak mau berbicara pada siapa pun hanya tidur saja, sampai perawat keluar masuk ruang inap untuk mengecek kondisi bunyai takut tiba-tiba drop.

Alca menghela napas kecil lalu memilih pergi ke balkon karena tak kuat mendengarkan bunyai yang sedang mengeluarkan segala beban hatinya kepada bude. Selama ini Alca kira bunyai sudah berdamai dengan segala yang menimpanya, ternyata beliau hanya memendamnya karena takut membebani orang sekitarnya dan juga takut ... dikasihani.

Saat membuka pintu balkon, Alca terkejut karena melihat Gus Kafa sedang istirahat di sana dengan selembar sarung sebagai alas tidur dan sebungkus popok bunyai yang dijadikan bantal olehnya. Alca lalu menoleh ke arah tempatnya tidur yang terlihat begitu nyaman karena dia tidur di sofa dengan bantal dan selimut yang diberikan oleh Gus Kafa semalam.

Ruang inap hanya boleh dijaga dua orang, tetapi karena sekarang bunyai pindah ke kamar yang diisi satu pasien saja, jadinya tak etis jika yang menunggu di kamar itu hanya Alca dan Gus Kafa. Jadi Gus Kafa mengalah untuk tidur di mushola luar.

Semalam Pakyai serta Ustadz Kirom pulang tengah malam dan akan kembali maghrib nanti setelah menyelesaikan segala tanggung jawabnya kepada ribuan orang.

Alca pelan-pelan menutup kembali pintu menuju balkon itu, dan melangkah keluar kamar untuk duduk di kursi taman yang berada pas di depan kamar bunyai.

Alca termenung beberapa saat sembari murajaah. Matanya menatap bangunan tiga tingkat yang mengelilingi taman. Banyak yang dia pikirkan sampai tak bisa disebutkan satu persatu sebab sedetik yang lalu dia memikirkan ayat-ayat, sedetik setelahnya terlintas hal-hal yang berkaitan dengan bunyai, lalu sedetik kemudian dia memikirkan Imron.

Apakah Alca harus mengucapkan perpisahan pada Imron?

Apakah Alca harus meminta izin Imron perihal 'ini'?

Apakah dia perlu memberitahunya? Tapi ini kan berkaitan dengan kesehatan bunyai, Imron akan bertanya-tanya dan pastinya akan bertekad pulang saat mengetahui kondisi bunyai.

Tapi Alca harus memberi tahu Imron bahwasanya sudah ada seorang pria yang akan dijodohkan dengannya, agar jika ada seseorang yang menyukai Imron, lelaki itu tak perlu merasa bersalah padanya.

Alca pun mengambil ponsel dan melihat roomchat-nya dengan Imron.

Tak ada satu pesan pun dari sang empu yang ditujukan padanya. Sudah dua tahun berlalu, surat itu tak lagi datang. Bahkan cokelat yang katanya akan diberikan bersama surat selanjutnya tak kunjung sampai.

Tak sampai? Atau malah tak akan pernah sampai?

Sepertinya memang tak ada sesuatu yang spesial di antara Alca dan Imron selain hanya kenalan biasa. Bahkan kakak pun pasti akan memberikan kabar kepada adiknya meski hanya sepatah kata.

Alca bersedih, tapi dia berharap apa? Sejak awal memang Imron menegaskan bahwa tak menerima atau menolak Alca, yang artinya sama saja tak malabelkan status di antara mereka.

Alca menunggu selama sepuluh menit, tetapi pesannya tak kunjung dilihat, padahal lelaki itu sedang online

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alca menunggu selama sepuluh menit, tetapi pesannya tak kunjung dilihat, padahal lelaki itu sedang online.

Jadi, Alca memasukkan kembali ponselnya ke dalam sakunya.

Tak berapa lama Bude Nur datang menghampirinya, duduk di samping Alca dengan helaan napas berat.

"Bunyai sendirian, Bude?" tanya Alca.

"Sama anaknya. Lagi teleponan sama Pakyai."

Alca mengangguk-angguk.

"Kondisi bunyai nggak bagus, Ca. Barusan muntah-muntah padahal cuma makan sesendok. Bude mau rujuk bunyai ke tempat Bude aja, biar diawasi sama temen Bude."

"Bunyai setuju?" tanya Alca yang sudah tahu jawabannya.

Bude menggeleng sesuai prediksinya.

"Barusan minta pulang ke Pakyai, katanya mau meninggal di rumah aja," ujar Bude yang membuat jantung Alca deg.

"Bude, bisa nggak bunyai dipaksa aja? Ini kan keadaan urgent, menyangkut nyawa. Alca nggak mau kayak mama dulu."

"Kalo dokter sama perawat nggak punya wewenang tentang ini, Ca. Keluarga yang bisa. Nanti coba Bude komunikasikan dengan Pakyai dan Gus Kafa. Apalagi bunyai sudah ditahap lepas infus karena terlalu banyak cairan di tubuhnya. Padahal beliau nggak mau makan sama sekali dan malah muntah. Asupannya dari mana? Nanti pasti perawat datang lagi buat minta keputusan terakhir."

Alca memeluk budenya dan menangis. "Bude, tolong buat bunyai sehat. Alca takut nggak punya ibu lagi. Alca takut bunyai berakhir kayak mama karena kita ngikutin kemauan mama yang nggak mau ikutin prosedur perawatan. Alca rela lakuin apa aja demi bunyai sekarang."

Alca lalu menjauhkan tubuhnya agar bisa menatap Bude Nur.

"Inget kemarin yang Alca bilang tentang tawaran bunyai tentang anaknya yang mau dijodohkan dengan Alca? Itu sebenernya permintaan bunyai sebelum divonis gagal ginjal sama dokter. Aku mau sanggupin permintaan itu, asal bunyai mau ngelanjutin pengobatan. Tolong bujuk bunyai lagi, Bude. Kemarin bunyai sempet ceria pas denger Alca nerima tawaran itu. Siapa tahu kalau Bude bilang lagi tentang ini bunyai setuju untuk pengobatan HD. Aku setuju, hari ini pun aku mau. Asal bunyai lekas diobati."

Bude menatap Alca sembari menggenggam tangan keponakannya itu. "Ca, sebanyak apa masalah yang menimpamu sehingga kamu sedewasa ini," ujar Bude dengan tatapan lembutnya.

"Ada solusi lain untuk membujuk Bunyai, jangan korbankan masa mudamu. Menikah nggak semudah itu."

Alca menggeleng. "Alca cuma bisa penuhin permintaan Bunyai dengan itu, Bude. Tolong restui Alca buat merealisasikan itu. Alca takut nggak bisa memenuhinya lain kali, seperti mama saat itu ...."

Bude tersenyum lembut lalu mengusap kepala Alca. "Anak baik, anak sholehah, Alcanya Bude, menurut Bude kamu belum pantas membina rumah tangga, Nak. Kamu masih sekolah dan belajar. Belum setara untuk menjadi istri gus. Bukan Bude merendahkan kamu, tapi kita harus sadar diri kita tidak selevel dengan ilmu dan derajat mereka. Nanti, setidaknya saat kamu sudah tiga tahun di sini dan Bude melihat hasil yang sudah kamu tuai di pesantren, Bude akan pertimbangkan lagi. Bude tak mau kamu terbebani dengan penilaian sosial masyarakat maupun santri di sana."

Alca menundukkan kepalanya dan terdiam. Ini yang membuat Alca mempertimbangkan permintaan bunyai kemarin. Dia merasa tak setara dengan putra bunyai. Namun dia teringat pada ucapan Gus Kafa kemarin, jadi, Alca mendongakkan kepalanya dengan percaya diri.

"Bude, sebenernya Alca sudah menghafal Alquran 30 juz."

Bude tampak menganga mendengarnya.

"Jadi ... boleh ya Alca menerima tawaran Bunyai?"

Tiba-tiba seseorang menyahut, "Tawaran apa yang buat kamu sampe nangis-nangis begini?"

Alca dan Bude kontan menoleh, ternyata ada Saiful di belakang mereka yang sepertinya baru saja menguping, dilihat dari kedua alisnya yang hampir menyatu dan ekspresi wajahnya yang sangar.

Alca lupa, membujuk Saiful lebih susah daripada membujuk Bude Nur.

***

Nggak pendek khannn? 😇

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang