Hari kelima, bahan bacaanku sudah habis terbaca. Entah berapa banyak buku digital yang ditamatkan dalam beberapa hari ini. Meski cukup membuat mataku lelah, tapi aku sangat bahagia. Rasanya energiku kembali terisi.
Di sore hari yang cerah ini sepertinya akan menyenangkan jika aku menghabiskan waktu di luar. Mungkin melihat matahari membenamkan dirinya bukan ide yang buruk. Namun Mas Je betah sekali di dalam kamar kekasihnya itu. Setelah selesai makan siang, ia belum keluar sama sekali.
Tapi aku tiba-tiba ingin pergi untuk kembali merasakan udara luar dan juga ingin merasakan sensasi membaca buku cetak. Entah mengapa membaca buku yang wujudnya bisa aku pegang itu memiliki sensasi yang tak biasa.
Jadi setelah aku bersiap-siap sembari membulatkan niat, aku mulai mencari kunci mobil Mas Je. Tetapi hingga beberapa menit lamanya, aku tak menemukan benda itu di mana pun. Seingatku, terakhir dipakai itu oleh pemilik aslinya.
Maka yang kulakukan sekarang adalah mengetuk pintu coklat yang di mana suara keyboard dan teriakan heboh saling bersautan. Aku tidak yakin juga Mas Je akan mendengar ketukanku pada pintu ruangannya.
Di luar dugaan, usahaku membuahkan hasil setelah menit-menit berlalu karena kini aku mendengar Mas Je berkata, "WAAAAAAA. Masuk aja, Shay. KABUR, KABUR, LARIIII."
Aku mencoba membuka pintunya sedikit hingga aku bisa melihat wujud seseorang yang tengah duduk menghadap layar komputer. "Mas Je."
"Tunggu, ya, Shay. Tanggung. Duduk dulu aja." Awalnya aku tak ingin masuk lebih dalam tapi Mas Je yang meminta sendiri. Maka, ini adalah kali pertama aku memasuki ruangannya. Dengan masih menggunakan headphone dan jemari yang bergerak lincah, Mas Je memasang wajah yang sangat serius.
Sesuai dengan perintahnya, aku mendudukan diri di sofa hitam yang letaknya tak jauh dari Mas Je. Di ruangannya ini, tak banyak barang yang bisa aku jumpai. Hanya ada sofa, rak berisi koleksi lego dan miniatur mobil, gitar di sudut ruangan, serta tentunya alat tempur yang kini tengah dipakai sang empunya.
Setelah berdiam diri beberapa lama, kini aku tahu mengapa Mas Je betah berada di sini. Rasanya nyaman. Padahal tidak ada AC ataupun kipas angin yang menemani tapi tetap saja aku merasa adem.
"Jadi kamu mau ke mana, Shay?" Tanpa perlu repot membalikkan tubuhnya, Mas Je bertanya dengan tatapan yang masih berfokus pada layar.
"Kok Mas Je tau aku mau pergi?" Dia saja belum melihat setelan baju yang aku pakai saat ini.
"Wangi."
Maksudnya, apakah selama aku diam di rumah, aku itu bau? Dan wangi hanya bila akan ke luar rumah?
"Aku mau jalan-jalan, Mas, boleh gak? Tapi aku mau pinjem mobil juga."
"Bagus. Akhirnya kamu dapet hidayah yang bukan esia." Kadang, tak semua perkataannya bisa aku mengerti.
"Jadi, boleh, Mas?"
"Boleh, tapi tunggu aku selesaiin dulu ini, Shay. Soalnya aku lupa lagi nyimpen kunci di mana." Ucapannya itu, loh, terlalu santai. Sedangkan aku yang tukang pinjamnya sudah berusaha keras untuk menemukan kunci itu hingga kepalaku pusing.
**
”Mas Je, beneran mau ikut aku?” Kembali aku mengajukan pertanyaan yang sama saat laki-laki itu sibuk bersiap-siap dari sepuluh menit yang lalu.“Iya, Shayla. Ini aku tinggal pake hoodie.” Setelah menyeprotkan parfum, Mas Je beranjak menuju koleksi jaketnya yang tergantung. “Hoodie aku yang warna abu ke mana ya, Shay?”
“Yang mana?” Karena hoodie abu Mas Je itu bukan hanya satu atau dua.
“Itu yang ada tulisan ‘Hello’ di bagian depan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With Me
ChickLitPerasaan kosong, kesepian, takut, dan ingin hilang dari Bumi adalah hal yang selalu ingin aku lupakan. Tapi nyatanya, mereka selalu kembali datang. Lagi dan lagi. Kadang kala ingin menyerah, namun aku masih waras untuk tidak mengakhiri hidup dengan...