BAGIAN SATU

33 3 0
                                    

“Bisakah Tuhan mengampuni dosa mereka?”

Langit senja itu telah lama menggerogoti sang siang untuk segera mendesak senja muncul. Piringan sesajen penuh dengan macam bunga dan makanan yang sudah dipersiapkan sejak minggu lalu turut tersaji menjelang malam. Ingat sekali mengenai posisi bulan yang dimakan oleh kegelapan, maka ritual keluarga Purnama wajib dilaksanakan. Segera, perempuan bersanggul kecil seperti bola tenis itu dengan lenggoknya bak perawan muda mendatangi kamar kedua anak kembarnya. Mengetuk perlahan seraya suaranya yang tegas nan menawan itu terdengar oleh Baskara dan Dahayu — anaknya itu. Dari dalam, si sulung heterochromia itu menyahut sedikit kencang karena ketukan itu tak kunjung berhenti membuat hatinya sedikit mengamuk. Selain dari si sulung Baskara Aji Purnama itu juga tak terlalu menyukai perempuan yang menjadi sosok ibu kandungnya sendiri.

“Iya! Sebentar nanti kami turun, bu!” Baskara berseru dengan suaranya yang lantang, menarik si bungsu Dahayu Sri untuk mencegah suara saudara kembarnya itu berubah menjadi bentakan. Dahayu Sri Ratna Purnama lengkapnya, perempuan yang lahir tak jauh dari Baskara itu amat membenci logat saudaranya yang selalu seakan membungkam sang ibunda. Tatapannya sinis, tajam seperti belati menyorot pada Baskara yang sibuk dengan burung beo merahnya, selalu Baskara puja dengan panggilan Moksia dan selalu tak pernah absen untuk membelai dari ujung paruh kuning kecokelatan hingga dua kakinya yang memiliki kuku-kuku tajam mengalahkan jarum jahit kepunyaan ibunda. Memangnya apa istimewanya burung beo itu? Selalu Baskara puja seperti dewa padahal burung itu juga tak pernah berkicau seperti burung di luar sana. Burung dengan mata bulat sempurna seperti kelereng itu hanya melihat sana-sini dan melihat ke arah Baskara, hubungan keduanya aneh seperti sahabat saja. Baskara kemudian membalas lirikan mata Dahayu yang menyipit tajam dengan ujungnya yang meruncing tajam seperti siluet senja. Alisnya yang tebal, ia naikkan sebelah menatap tak senang pada saudara kembarnya itu. Perempuan yang lebih pendek darinya itu malah lebih sibuk dengan hal yang repot tak berguna menurut Baskara — menyisiri rambutnya yang bahkan tidak pernah rontok.

Sepanjang hidupnya selama 18 tahun, Dahayu tak pernah merasakan rambutnya rontok sehelai pun. Jatuh, atau tersangkut di sisir, tak pernah ia lihat kilauan merah api itu di sana. Rambutnya juga tak bisa ia potong dengan apa pun, gunting, pisau, serpihan tajam, semua sia-sia. Panjangnya mencapai siku Dahayu, lurus, dan berwarna merah api gelap. Berbeda dengan Baskara yang ikal hitam sempurna. Dahayu pernah berpikir dirinya cacat sebelum ini karena keanehan yang terjadi pada dirinya. Mengira dirinya anak pungut atau bekas budak yang dibeli oleh orang-orang dan berpindah tangan berkali-kali seperti film yang selalu ia tonton. Tangannya dengan teliti menyisir perlahan dengan sisir kayu sementara tangan kirinya menyapu rambutnya kembali yang telah halus. Bola mata Dahayu memutar malas, melihat Baskara yang menurutnya menyebalkan.

“Lama banget, siput!” ledek Baskara mengalihkan pandangannya, kembali menatap sang pujaannya — Moksia si beo manis tak wajar. Baskara kemudian meletakkan Moksia di tepi ranjangnya, mengelus dan menepuk pelan kepala hewan itu dengan telunjuknya sebelum akhirnya berdiri. Dirinya berkacak pinggang dan mendesis kesal melihat Dahayu yang sok kecantikan itu.

“Baskara....” lantunan panggilan kembali menggema di kamar mereka, sang ibu memanggil lagi.

“Iya! Baskara ke sana!” seruan itu langsung mendapatkan sahutan, “Bas! Rendahkan suaramu pada ibu!” bentak Dahayu melempar sisirnya spontan. Baskara menarik kepalanya menjauh dari serangan tak etis itu, melirik sisir yang tak setajam pisau itu menancap di pintu lemari. Tentu bukan karena sisirnya yang tajam tapi tenaga Dahayu yang di luar nalar manusia, lebih mirip jin secara kasat mata. Hanya sebatas melempar sudah menjadi makanan sehari-hari Baskara untuk mendapat luka baret atau cakaran kecil dari Dahayu. Kamar yang memiliki lebar setengah dari ruang tamu mereka itu sudah sering menyaksikan amukan Dahayu. Pukulan yang menurut Dahayu tak kencang justru menjadi yang paling kencang dan mampu meretakkan kerangka tulang manusia.

Trip to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang