Teh Ajaib di Yogya

27 2 0
                                    

Sebetulnya situasi ini agak mengerikan, kalau dipikir-pikir.

Tugas kantor membuatnya menghabiskan akhir pekan di Yogyakarta. Karena ada jam bebas, Kalista berjalan-jalan sendiri di kota klasik yang indah itu. 

Tanpa pikir, dia masuk ke jalan-jalan yang tak dikenalnya. Kan ada yang bilang, sekali-sekali, kamu harus merasakan tersesat. 

Dia hanya ingin melupakan sedikit kepenatan di kantornya. Beberapa bulan stress yang menderu terasa lebih dari biasa. Hari itu Kalista pertama kali merasa nyaman dan tenang setelah sekian lama. 

Kakinya membawanya ke sebuah kuil kuno. Sepertinya ada banyak pengunjung, namun langit mulai mendung, dan dalam sekejap, rintik hujan mulai menetes. Kalista memang tipe gadis modern yang selalu melihat ramalan cuaca hari itu. Sudah tiga hari ini hujan terus di Yogya, jadi dia memang sudah siap dengan sebuah payung di tasnya. 

Lapangan kuil itu mendadak kosong, para pengunjungnya berlarian pergi, tinggal seorang nenek tua dengan kebaya putih dan kain yang membaya sekeranjang bunga berjalan sendirian melewati lapangan itu. 

Tanpa pikir panjang, Kalista berlari memayungi nenek tua itu. 

Sebetulnya, Kalista mendadak teringat eyangnya sendiri yang sudah berpulang. Dulu, eyangnya meninggal karena kehujanan, terkena pneumonia yang tak dapat disembuhkan. Bisa gawat kalau nenek berkebaya putih ini kena pneumonia juga. 

"Aduh, eyang, mau ke mana? Kok hujan-hujanan?"

Wajah wanita tua yang menengok ke arahnya itu tersenyum. Penuh keriput, berambut putih, dan entah kenapa, sinar matanya terasa teduh di hati Kalista. 

"Neng geulis, manggil saya Eyang karena sudah tidak punya lagi orang yang bisa dipanggil Eyang, ya?"

Kalista tertegun kaget. Apa nenek ini kenal dengannya? Kenapa bisa tahu eyangnya sudah tiada?

"I--iya, Eyang, betul. Dulu saya punya eyang, tapi sekarang udah nggak ada. Eyang ini mau ke mana? Apa mau masuk ke sana?"

Kalista menoleh ke arah kuil itu, yang gerbangnya masih jauh bila berjalan kaki. 

"Betul."

"Saya payungin aja ya, Eyang, gimana? Bahaya lho, kalau sakit umur segini."

"Neng mau, anterin Eyang masuk ke dalam kuil?"

"Mau. Takutnya kalau eyang hujan-hujanan, nanti sakit, terus jadi bahaya."

"Baiklah. Ayo temenin eyang sebentar."

Kalista lalu memayungi nenek tua itu sampai masuk ke dalam kuil. 

Kuil itu obyek wisata yang dilindungi pemerintah daerah sepertinya. Bangunannya terbuat dari batu, dan sepertinya tidak banyak berubah sejak ratusan tahun yang lalu. Kalista jadi teringat Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Apa bangunan ini sudah ada sejak itu?

Dia memayungi sang nenek hingga teras kuil, sampai wanita renta itu aman dari hujan. 

Saat sang nenek berbalik untuk melihatnya, dia melihat sebagian kemeja Kalista di sebelah kiri basah. Jelas dia lebih memilih memayungi wanita berumur itu daripada melindungi dirinya sendiri dari hujan. 

"Anak baik. Sebuah berkah nenek hari ini bertemu kamu. Pasti sudah suratan takdir."

Kalista jadi salah tingkah, "Eh, nggak Eyang, biasa aja. Kebetulan aja saya lewat. Saya izin pesan mobil online ya? Apa nama kuil ini?"

"Sebentar, nenek buatkan teh hangat. Duduk dulu."

"Lho, nggak usah, Nek, jangan repot-repot!"

Nenek itu tidak memedulikan ucapan Kalista, lalu berjalan masuk ke dalam kuil. 

Dipikir-pikir, keadaannya sekarang ini seperti awal....sebuah film.....horor. 

Kuil kuno, hujan, sendirian pula. Kalau tiba-tiba keluar hantu gimana?

Kalista buru-buru meraih handphonenya. Aneh. Tiba-tiba tidak ada sinyal.

Sebetulnya kuil itu tidak jauh dari jalan besar. Mungkin hanya lima menit berjalan kaki. Tapi kenapa.....sunyi sekali ya? Apa nenek itu tinggak sendirian di sini?

Tiba-tiba petir menyambar, dan Kalista tiba-tiba bergidik ngeri. Aduh, Tuhan, tolong jaga aku, aku tadi cuma pengen nolong nenek tua. Tolong jangan sampai aku didatangi hantu!

"Ini, Neng, teh hangatnya. Monggo diminum."

Terlintas di benaknya, seharusnya dia tidak boleh menerima minuman dari orang asing. Dia tidak kenal nenek ini. Bagaimana kalau ada sesuatu yang buruk di dalam teh itu?

"Nenek senang, bertemu Neng yang baik hati, dan memanggil nenek Eyang. Nenek nggak bisa kasih makanan enak karena sudah dipayungi. Nenek cuma bisa kasih teh hangat, dan doa semoga semua keinginan Neng terkabul."

Mendengar hal seperti itu, Kalista tak tega menampik teh tersebut, dan meminumnya perlahan. Entah kenapa, tehnya harum dan gulanya terasa enak sekali. Sambil minum, Kalista berpikir, apa yang diinginkannya dalam hidup ini. 

Di usianya yang ke 28, sepertinya hanya uang yang dibutuhkan Kalista. Lebih banyak uang, lebih banyak rezeki. 

Gimana dengan love life? Apa kamu nggak pengen punya love life lagi? Yang seru dan manis?

Seolah hati kecilnya bertanya pada dirinya sendiri. 

Namun dia menggelengkan kepalanya seolah menghalau imajinasi bodoh. 

Aku nggak cocok sama cinta-cintaan. Aku ditakdirkan single selamanya.

Aku mau uang aja, lebih banyak, dan lebih banyak lagi!

Tanpa dilihatnya, sang nenek berkebaya putih tersenyum penuh arti. 

Dalam diam, mereka duduk bersama diiringi suara rintik hujan. Kalista meminum tehnya pelan, karena memang masih panas, jadi harus ditiup dulu. 

Ketika dia selesai, langit berubah cerah dan indah.

Dia mengambil handphonenya lagi, dan tiba-tiba, sinyalnya muncul lagi. 

"Saya izin pesan mobil online ya, Eyang."

Sang Eyang mengangguk. 

Lima menit mereka mengobrol hal-hal remeh, sebelum akhirnya mobil online yang menjemput Kalista datang. 

"Terima kasih tehnya, Eyang."

"Sama-sama, Neng."

"Ini payungnya buat Eyang aja, supaya lain kali nggak kehujanan."

"Terima kasih. Hati-hati, semoga selamat sampai di tujuan."

"Iya, Eyang. Saya pergi dulu ya. Sehat-sehat, Eyang!"

Kalista tersenyum pada nenek itu, lalu naik ke mobil onlinenya. 

Tak lama kemudian, mobil itu melaju pergi dari lapangan kuil tersebut. 

*******************************************************

Author's Note: 

Terima kasih yang udah mau baca cerita ini.

Semoga aku bisa selesaikan cerita ini dengan baik yaaa.







Teh AjaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang