00

14 1 0
                                    

"Hah! Kamu suka sama--"

Aku sontak memukul lengan laki-laki di hadapanku, Kak Mahesa, sebelum ia menyebutkan nama yang dimaksud.

Ah, gara-gara Kak Ardi!

Malam ini aku sedang mengikuti rapat koordinasi badan pengurus himpunan yang rutin dilaksanakan setiap bulan. Aku duduk di barisan paling belakang, di sebelah Kak Mahesa yang sembari mengerjakan tugas akhirnya di laptop. Sebagai dewan perwakilan anggota, aku dan Kak Mahesa menghadiri rapat koordinasi ini untuk mengawasi kinerja stakeholder himpunan kami.

Seperti rapat koordinasi lainnya, rapat kali ini berjalan dengan normal bagiku.

Atau setidaknya, awalnya.

Tidak jauh dari tempat dudukku dan Kak Mahesa, ada seorang laki-laki yang sejak semester lalu kukagumi dalam diam. Namanya Galih, ia merupakan ketua divisi kaderisasi di kepengurusan kali ini. Sebetulnya, aku pun tidak yakin bahwa aku mengaguminya ke arah romansa yang seperti itu. Mungkin saja aku mengaguminya sebatas role model karena Kak Galih sangat keren ketika pergi ke lapangan.

Beberapa orang menganggap aku menyukai Kak Galih hingga sebegitunya. Salah satu yang beranggapan demikian adalah Kak Ardi, sekretaris jenderal himpunan kami.

Aku yang sedang menyaksikan pemaparan di rapat koordinasi ini tidak begitu menggubris keberadaan Kak Galih. Toh, aku hadir untuk mengawasi kinerja para badan pengurus, bukan untuk memerhatikan Kak Galih.

Tiba-tiba saja, Kak Ardi duduk di sebelahku. Awalnya, ia ikut mendengarkan rapat selayaknya orang normal. Kemudian, ia menoleh ke arahku dan memberi gestur meledekku dengan menunjuk ke arah Kak Galih.

Kak Ardi berbisik, "Tuh, Aul. Liat ada siapa."

Atau mungkin, berbisik bukanlah kata yang tepat—karena Kak Mahesa ikut melihat kemana tangan Kak Ardi menunjuk.

Aku membalas dengan raut terkejut karena Kak Ardi meledekku di depan Kak Mahesa.

Dan Kak Mahesa bermulut besar.

Kak Mahesa yang memerhatikan gelagat Kak Ardi sejak awal, kini menyadari sesuatu.

Laki-laki itu menoleh ke arahku dengan cepat. "Hah!" ujarnya.

Aku sontak menoleh ke arah Kak Mahesa.

"Aul! Kamu suka sama—"

Sebelum Kak Mahesa melanjutkan kalimatnya, aku memukul lengan kakak tingkatku ini.

"Enggak!" elakku.

Meskipun Kak Mahesa terlihat kaget dengan pukulanku, ia tetap tersenyum lebar meledek.

Beberapa pengurus yang duduk di barisan depan menoleh ke arahku dan Kak Mahesa karena keributan yang kami buat. Begitu juga dengan Kak Galih yang kini melihat ke arah kami dengan heran. Sementara itu, Kak Ardi hanya tertawa cengengesan di sebelahku.

Kak Mahesa langsung menutup mulutnya, tetapi tawa kecil masih dapat kudengar. Aku hanya dapat menundukkan kepala karena malu dilihat oleh kakak tingkat lainnya. Bagaimanapun, aku hanya seorang diri di antara kakak-kakak tingkatku.

"Kak Mahesa, awas kalo cepu!" ujarku pelan kepadanya sambil menunjuk.

"Oh... jadi bener," balas Kak Mahesa. Masih dengan senyuman lebar di wajahnya.

Aku mengalihkan pandangan, berusaha kembali memerhatikan pemaparan rapat yang berlangsung.

Sial!

Pikiranku jadi tak karuan. Aku merutuki diriku sendiri; harusnya tak kuberi tahu Kak Ardi waktu itu tentang Kak Galih!

Kini, Kak Mahesa akan mengira aku menyukai Kak Galih. Dan ia akan terus meledekku di setiap kesempatan.

Padahal, entah sejak waktu yang tak kusadari, aku telah jatuh hati pada laki-laki di sampingku, Mahesa Putra.

Cerita di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang