Prolog

13.9K 592 15
                                    

haiii happy reading guyss, jangan lupa vote & komen yaa.
banyak komentar, klo kalian ekspresif jadi author bisa tau kualitas kepenulisan gmnaaa thnk y!

Seorang anak berusia duabelas tahun bergerak gelisah di dalam mobil. Wajahnya di penuhi luka yang masih segar. Tak merintih kesakitan, ia sudah biasa. Kata ayahnya, seorang lelaki yang akan menjadi pemimpin harus kuat. Meski dia masih anak kecil, kata itu sudah tertanam pada dirinya.

Memiliki kehidupan yang baik dengan bergelimang harta, masa depan yang sudah tertata rapi, tatapan memuja semua orang saat melihat dirinya, ia sudah terbiasa. Hingga sifat angkuh yang terkadang tak ia sadari membuat dirinya sadar, ini tidak benar.

Semua berubah menjadi petaka untuknya. Termasuk keluarga yang sangat dirinya banggakan.

Lelaki itu memainkan tautan jarinya, merunduk dalam berusaha menulikan pendengaran dari keributan yang terjadi di depan mobil tumpangannya.

"SEMENJAK KAPAN KAMU PEDULI SAMA KARANG?! KAMU KERJAANNYA CUMA SELINGKUH SAMA ANAK BARU DI RUMAH SAKIT ITU!" teriakan lelaki paruh baya itu terdengar menggelegar. Menekan setiap perkataannya sampai muncul urat di wajah merahnya, ia benar sedang marah.

Wanita berpakaian rapi di depannya itu berdecih, mengalihkan pandangan tak kuasa menatap pria di depannya. "Kamu mata-matain aku? Keterlaluan ya kamu!"

"Apanya?! Kamu bener selingkuh kan?!"

"Cukup mas! Dirga itu cuma rekan kerja! Sampai kapan kamu nyudutin aku terus?! Gila kamu ya!"

"Bener kan kamu selingkuh?!"

"Terserah! Aku bakal bawa Karang pergi dari kamu! Buat apa terus bareng kalo kamu sendiri ngga percaya sama aku!"


"JANGAN MACAM-MACAM KAMU! APA KATA MEDIA KALAU KITA PISAH?! ORANG-ORANG BAKAL MIKIR KALAU AKU NGGA BECUS NGURUS KELUARGA SENDIRI!"

"Ya emang gitu kan kenyataannya?!"

"MELSA!" lelaki paruh baya berteriak. Membuat wanita di depannya itu tersentak, reflek melindungi kepalanya sendiri, takut jika tangan melayang di wajahnya.

Lelaki itu mengubah ekspresi wajahnya, celinguk kanan kiri, menyadari jika mereka kini bertengkar di tempat ramai. Berdeham sesaat berusaha menguasai diri. Yang selanjutnya wanita itu segera pergi berlari ke dalam gedung.

"Melsa, kita belum selesai bicara Melsa!" selanjutnya lelaki itu segera masuk gedung menyusul.

Sementara itu anak kecil yang sedari tadi diam berusaha mati-matian menahan air matanya. Menguatkan diri dengan melempar pandangan ke arah jendela.

"Tuan muda, kita pulang saja kerumah," Pak Hendra--sopir yang sudah lama berkerja untuk keluarganya menoleh ke belakang, menawarkan tuan muda di belakangnya yang terdiam.

Beberapa detik tak ada jawaban. Anak kecil bernama Karang itu perlahan membuka mulutnya yang terasa kering. "Apa...orang dewasa selalu bertengkar seperti itu?"

Pak Hendra seketika tercekat, tak tahu harus mangatakan apa kepada anak sekecil itu. "Jangan khawatir Tuan, mereka pasti akan berbaik kembali. Seperti biasanya," jawabnya sekedar menenangkan.

"Lalu Papa kembali mukulin aku?" tanyanya datar, pandangannya masih setia menatap ke arah luar jendela.


"Apa menghukum anak juga sebuah normalisasi?" Karang kembali bertanya.

Dengan wajah yang nampak khawatir, Pak Hendra membalikkan badan menatap tuannya. "Orang dewasa memiliki cara sendiri untuk membuat anak menyadari kesalahannya,"

"Tapi, kenapa aku bukan merasa merenungi kesalahan?" setengah mati ia menahan isak tangisnya. "Aku... merasa sakit batin," sambungnya dengan nada yang bergetar. Masih banyak yang ingin ia pertanyakan. Ketika dirinya melihat anak sebayanya yang begitu menikmati masa kecilnya, tetapi kenapa dirinya hanya dituntut untuk dewasa dan berkecimpung dalam dunia perusahaan? Menghadiri setiap acara formal, memperkenalkan diri dengan berbagai bahasa, tersenyum sopan, memakai pakaian rapi tak nyaman, les privat yang tak ada henti, Karang muak.

Sea For Blue WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang