Painful Memories

27 9 3
                                    

"The worst part of holding the memories is not the pain. It’s the loneliness of it. Memories need to be shared." – Lois Lowry

.
.
.

"Benarkah itu, Vio?"

Ayah, bertanya padaku dengan suara beratnya.

Aku hanya tertunduk, lalu mengangguk, di depan ayah, ibu dan Maira. Hanya kami bertiga yang ada di meja makan, karena para tamu sudah pergi setengah jam lalu setelah memaksa untuk membereskan semua sisa-sisa pesta.

Dan aku bersyukur, saat itu, Maira tidak langsung membuka suaranya tentang Sheila di depan Dion. Ia langsung mengetahui bahwa ada sesuatu yang harus dibahas tanpa Dion.

"Kekonyolan macam apa ini, Vio?" Ia meremas rambutnya. "Kau sungguh melibatkan dirimu di situasi yang rumit."

"Aku tidak terlibat, Yah. Itu urusan Ila dan Dion."

"Sheila adalah sepupumu, dan Dion adalah rekan satu divisimu. Bagaimana mungkin ini bukan urusanmu?"

Aku terdiam karena kata-kata ayah menusuk tepat di jantungku.

Ia memang benar. Sangat benar. Hati nuraniku setuju dengan perkataan ayah.

"Tapi Ila berjanji akan segera menyelesaikannya sendiri, Yah."

"Tapi ia tidak melakukannya, 'kan?"

"Belum melakukannya, Yah. Mungkin ia memiliki pertimbangan."

Kudengar Maira mendengus. "Ia tak akan melakukannya, Kak. Dan sampai kapan kau akan membela Kak Ila? Dia melakukan kesalahan! Ia bukan lagi gadis kecil yang selalu kau lindungi."

Aku menggigit bibir. Melakukan kontak mata dengan ibu yang sejak tadi bungkam.

"Ibu lihat, Dion adalah anak yang baik. Jadi ia harus tahu hal yang sebenarnya, Vio. Ibu tidak membayangkan jika nanti ia tahu dari orang lain. Itu akan lebih melukainya."

"Aku akan berbicara dengan Marissa—"

"Jangan, Yah. Aku yang akan melakukannya, sendiri. Jangan libatkan siapapun."

Ayah memandangku. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Aku bisa, Yah."

Aku meyakinkan ayah. Juga meyakinkan diriku sendiri.

***

"Kau sudah mencoba gaun bridesmaid-mu, Kak?" Sheila menyeruput teh hijaunya lalu menyuapkan salad ke mulutnya.

Aku mengangguk. "Yah, sudah."

"Maira?"

Aku menggeleng. "Ia akan mencobanya nanti."

Sheila mendesah. "Ah, gadis itu. Apa ia ingin mengacaukan pernikahanku? Bagaimana jika gaunnya tak muat? Tinggal empat bulan lagi menjelang pernikahanku. Aku tidak menerima kekonyolan ini, Kak."

"Exactly, Sheila. Tinggal empat bulan lagi." Aku menatapnya tajam. "Mengapa kau belum melakukan apapun tentangmu dan Dion?"

Ia terdiam sejenak, lalu mengibaskan tangannya.

"Aku akan mengurusnya, nanti."

"Sekarang, Sheila. Kau harus melakukannya sekarang!" Aku menekan setiap intonasi bicaraku agar ia bisa menganggap ini serius. "Ayah, ibu dan Maira sudah mengetahui hal ini."

"What? Ada apa dengan mulut besarmu, Kak?"

"Dion yang mengatakannya saat ulang tahunku."

"Ow, sial."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SOMEDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang