Malam itu belum selesai. Aku masih bergelut dengan hujan dan jarak yang kutempuh. Memakan waktu lama karena aku berusaha mengkondisikan kedua kaki, agar tidak begitu menyakitkan walau kubawa berlari. Tetap saja, 1km yang kutempuh terasa sangat menyakitkan. Lagi-lagi, menangisi rasa sakit yang diderita oleh lututku kembali memaksaku.
Aku tidak sanggup lagi, hujan deras semakin membantai sekujur tubuhku. Keadaan terpaksa, memintaku untuk berjalan saja sambil menghadapi kenyataan bahwa aku harus berjalan di bawah hujan.
Selang beberapa waktu, aku mendengar deru mobil dari arah belakang. Kupikir, itu adalah mobil orang lain yang sedang melintas. Dan kupikir pula, mungkin harinya selesai malam ini setelah melakukan perjalanan hari yang panjang. Nyatanya tidak.
Itu adalah taksi warna silver, berhenti di depanku.
"Taksi?"
Aku merasa lega, ternyata masih ada taksi yang beroperasi di pukul setengah satu malam ini. Aku mendekati jendela, mengetuknya tiga kali.
Tok! Tok! Tok!
Sampai kaca itu terbuka, tergesa-gesa, aku langsung meminta izin perihal tubuhku yang sudah basah kuyup.
"Permisi! Karena aku dalam keadaan basah, apa aku boleh naik taksi ini!? Aku tinggal di Royal Oasis, akan kubayar lebih dari argometernya-"
Mataku kembali melotot saat melihat siapa sopirnya. Berpikir sejenak. Apa dia memang merencanakan pertemuan kami malam ini?
"Karena ini adalah taksi terakhir, semuanya terserah padamu." Tegasnya lantang.
Ah, benar juga. Dia bilang tadi, ini adalah daerahnya bekerja. Jadi, untuk apa jika aku menolak lagi? Lagipula, perasaanku padanya sudah tiada sejak lama. Dan sekarang ini, aku hanyalah sebatas penumpang yang merasa bersyukur bahwa ada taksi terakhir yang menyelamatkan diriku, dari berjalan kaki sepanjang 1km.
Kuucapkan dengan singkat, "Terima kasih." sembari membuka pintu penumpang belakang.
Tidak ada pembicaraan sedikitpun di dalam. Kecuali aku, yang tengah sibuk mengecek kondisi Walkman apakah ia ikut rusak atau tidak. Seperti dugaanku, Walkman tua yang kujaga puluhan tahun selama aku hidup, akhirnya rusak juga karena kebodohan sendiri. Disitulah rasa cemas langsung mengutuk, berulang kali aku mengeluh mengucapkan sumpah serapah untuk diriku.
"Ah sial."
"Dasar bodoh."
"Kenapa aku begitu tolol!?"
Melupakan rasa sakit yang masih menjalar di tubuhku.
Ini dikarenakan aku tidak mengetahui di mana jasa memperbaiki barang-barang tua. Apalagi, jaman semakin lama semakin maju. Orang-orang yang memiliki kemampuan itu sepertinya sudah enggan menerima barang tua yang kumiliki. Sampai lupa, aku bisa membeli apapun yang kuinginkan bahkan untuk hal mustahil sekalipun.
"Bisa aku pinjam handphone mu sebentar? Aku ingin menghubungi seseorang."
Tersadar, handphone yang sengaja kutinggalkan memiliki manfaat berguna bagiku di waktu sekarang.
Fran menjulurkan handphonenya ke belakang tanpa mengucapkan apa-apa. Aku senang, karena sulit sekali mencari sopir taksi yang tidak pernah mencampuri urusan penumpang, termasuk berbicara. Bagiku, itu sangat menghabiskan energi secara sia-sia.
"Terima kasih."
Setelah nomor Bora kuketik, aku cuma menerima dentuman suara yang menandakan, Bora tidak mengangkatnya. Alias, sudah waktunya orang-orang telah tertidur pulas. Tunggu, bukannya dia terdengar khawatir keadaanku, tadi? Kalau dia sudah tidur itu artinya, kekhawatirannya hanya akting belaka?
Ah terserah. Yang kupikirkan sekarang adalah... Bagaimana Walkman ini kembali seperti semula sebelum aku bekerja?
Namun aku bisa apa? Aku bisa pasrah sampai taksi ini telah berhenti di depan jalur keluar-masuk apartemen.
Selain kesialan soal lutut terluka dan handphone tertinggal, ada hal lainnya yang membuatku lagi-lagi diruntuhkan rasa malu. Aku baru ingat, aku tidak membawa dompet dan uang sepeserpun, sementara, argometer telah menunjukkan berapa harga yang harus kubayar padanya.
"Apa kau bisa menunggu di sini, sebentar? Dompetku tertinggal. Aku bermaksud untuk mengambilnya, lalu akan kubayar lebih." Tanpa berpikiran panjang, aku melayangkan pertanyaan lagi. Tetapi, jawaban yang aku terima tidak sejalan dengan pertanyaanku.
Dia berbalik tanya. "Aku bisa memperbaiki Walkman itu. Kau, sangat membutuhkannya, kan?"
Aku terdiam. Mencermati pertanyaannya. Dia menatap diriku dari kaca, mendapati dahi yang mengerut.
"Taksi terakhir adalah taksi gratis. Sekalipun perjalananmu cukup jauh. Peraturan dari perusahaan kami."
Selama beberapa detik mencerna semua perkataannya, aku menyunggingkan senyum.
"Menarik. Baru kali ini aku mendengar peraturan seperti itu. Tapi soal Walkman... Semua cerita tentangmu, masih ada di sini. Jadi, bagaimana mungkin aku memberikannya kepada cinta pertamaku yang tragis?" ujarku menjelaskan secara blak-blakan.
"Tapi, untuk taksi gratis, baiklah. Kalau memang peraturan perusahaanmu begitu. Terima kasih, atas tumpangannya. Maaf telah merepotkanmu jika kau merasa."
Aku hendak keluar dari mobil, namun, tanganku kembali terhenti ketika ia mengeluarkan ucapannya.
Dengan halus ia berkata, "Kenapa masih mendengarkannya?"
Helaan napas mencuat dari mulutku.
"Karena hanya itu, aku bisa hidup sampai sekarang. Apa aku sudah bisa keluar?"
Tapi dia enggan memberiku izin.
"Apa kau masih memikirkanku?"
Sontak saja, aku tergelak mendengar pertanyaannya. Malam ini aku mempunyai hiburan yang kecil.
"Perasaanku sudah lama mati. Jadi, aku tidak berhak memikirkan seorang pria lagi. Apalagi dia sudah beristri. Tidak perlu khawatir, bukannya wajar saja cinta pertama tidak berjalan sesuai harapan? Kan, kebanyakan orang-orang mengalami kisah itu, jadi aku harus apa?"
"Bagaimana? Apa aku sudah bisa keluar? Aku sudah lelah." Tukasku letih.
Dia mengangguk sembari tersenyum. "Begitu, ya?"
Begitu keluar dari mobil, tanganku merogoh Walkman. Bergeser maju satu langkah, mengetuk jendela penumpang depan menanti sampai terbuka lebar. Saat jendelanya menampakkan wajahnya lagi, aku menjulurkan tangan kanan yang memegang Walkman ke arahnya.
"Ini."
"Mungkin aku bisa percaya padamu, soal, kau bisa memperbaiki benda kesayanganku."
"Aku tunggu besok pagi sebelum wawancara kerjamu di kantor."
Pelan-pelan, tangannya mulai menggapai Walkman dari tanganku. Sesekali matanya mencoba bertatapan langsung denganku, tapi aku tidak menemukan tekadnya sama sekali.
"Satu lagi..."
"Semoga wawancara mu berjalan lancar."
"Itu sebagai balasan karena kau menawarkan diri memperbaiki Kesayanganku."
~
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Romance(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...