Tidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...
Alfian patut berbangga diri. Prediksinya tentang cegil-cegil Gie sangat akurat. Baru beberapa menit saja videonya diunggah, sudah lebih dari lima ribu yang nonton. Di hari pertama buka, sudah banyak anak-anak kampus yang antre bahkan sebelum kafenya buka.
Hari-hari yang dilalui setelah kafenya buka agak sedikit berat karena kami baru melayani pelanggan sebanyak ini. Sampai-sampai Gie ikut turun tangan. Rasanya capek, tapi juga senang. Beberapa kali aku melakukan kesalahan dan mendapat complain, untung saja Alfian bisa menyelesaikanya dengan baik. Ini merupakan pengalaman yang berharga.
"Besok ada yang bisa gantiin jadwal shift gue gak? Gue ada ujian jam 2 nih."
"Aku bisa, Mas. Kebetulan aja besok kosong."
"Besok lo sama gue aja, Ta. Sekalian gue ke sini buat drop stock perlengkapan yang dibeli kemarin malam," sambung Gie.
Dalam bagian shift juga so far tidak ada masalah. Kalau yang lain berhalangan hadir yang lainnya menggantikan. Jika semua mendadak tak bisa, Gie yang akan mengorbankan absennya yang selalu teladan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sesuai yang disepakati di grup, hari ini kami semua berkumpul membahas tentang promosi dan dekor untuk menyambut hari Valentine. Kami datang lebih awal sebelum kafe buka. Sudah ada Gie yang lebih dulu datang, kemudian aku dan Alfian, dan yang terakhir adalah Nata yang masih mengenakan jaket yang sama seperti kemarin malam. Aku rasa dia tidak pulang ke kosan.
"Jadi ini pembelian sekian dapat hot chocolate? Terus di depan dekor serba pink berserta bunga-bunganya, Gie?"
"Ya lo tahu kan mayoritas yang datang juga cewek-cewek."
"Kalau mau makin laris mah harusnya gratis yang punya sih!" sambung Alfian yang langsung disambut bogem mentah oleh Gie.
Kemudian tak lama dari itu, kafe kedatangan seorang perempuan paruh baya yang wajahnya masih sangat cantik. Ia mengetuk pintu yang masih tergantung papan "close" itu sehingga membuat pandangan kami beralih padanya.
"Mohon maaf Kafe Laguna masih belum—" ucapan Alfian terhenti ketika menyadari bahwa sosok itu adalah ibunya. Dengan raut wajah setengah kesal, tanpa banyak berkata apa-apa selain "sorry" pada Gie, ia bangkit dari kursi lalu beranjak pergi. Badannya bahkan melewati tubuh ibunya. Namun, ia tidak bereaksi sama sekali.
Punggung lelaki itu sudah menjauh dan menghilang. Namun, Tante Ika masih berada di sana. Gie mendekat, lalu mengantar agar Tante Ika masuk ke dalam kafe. "Maaf ya Tante. Rencana Gie buat mempertemukan Tante dan Alfian gagal."
Meskipun tersenyum, aku masih bisa melihat kekecewaan di dalam bola matanya. "Lita, senang bertemu denganmu lagi, Nak" Ketika melihatku senyumnya jadi berbeda. Aku memang kenal Tante Ika, tetapi tak sedekat itu dengan keluargaku. Karena dulu beliau adalah orang terpandang di desa. "Terima kasih sudah menemani Alfian selama ini. Tante yakin, kamu sudah tahu apa yang terjadi di antara kami." Tubuhnya membungkuk dalam. Aku bisa tahu—bahkan mungkin Gie atau pun Nata yang duduk setengah ngantuk tanpa peduli—jika kasih sayangnya terhadap Alfian sungguhlah luar biasa.
**
Sudah hampir dua jam tubuhku meringkuk depan kosan Alfian yang masih gelap gulita. Khawatir karena keberadaannya sulit ditemukan, terlebih nomor ponselnya tidak dapat dihubungi sejak tadi pagi.
Di mana dia bersembunyi? Seperti yang Gie bilang, manusia perlu ruang kosong di dalam hidupnya. Salah satunya melarikan diri dari masalah. Di antara semua sikap sempurnanya, Alfian juga masih manusia yang punya batas kapasistasnya sendiri.
"Kamu di sini?" Tepat jam 00.00 ketika jam dinding kosan berbunyi—aku sudah tertidur dengan punggung menempel ke tembok—Alfian datang. Aku langsung berdisi sigap merapihkan rambutku yang acak-acakan. Lalu Alfian terkekeh sendiri membelai rambutku lembut. "Habis bangun tidur aja cantik."
"Ih, apaan sih! Kamu ke mana aja? Aku khawatir tahu!" Aku mengulum senyum sembari melihat langit-langit kosan untuk menutupi pipi merah akibat salah tingkah di bilang cantik. Sial, aku tak tahu jika efeknya bisa segila ini!
Alfian membuka pintu kosan, lalu menyuruhku masuk ke dalam kamar.
"Aku gak menyangka kalau takdir bisa semanis ini." Aku masih mematung dibalik pintu, lalu Alfian menuntun pundakku agar duduk di kursi belajarnya. "Aku gak ke mana-mana, Ta. Aku nungguin kamu depan kosan dari siang. Tapi kamu gak pulang-pulang."
"Hah? Serius?"
Alfian jongkok, matanya mengadah ke arahku yang posisinya lebih tinggi darinya. "Aku gak punya tujuan lain. I told you, aku cuma punya kamu."
"Tapi kamu masih punya--"
"Iya, ibuku masih ada. Aku bersyukur akan hal itu. Tapi aku masih marah dan kecewa. Ibu tahu bagaimana traumanya aku setelah mendapat kutukan dari orang-orang atas kesalahan ayah. Harusnya ibu paham bahwa tindakannya bukan sesuatu yang benar. Aku gak masalah ibu nikah sama siapa pun, asal jangan suami orang!"
Nadanya meninggi selaras dengan emosinya, membuatku akhirnya ikut jongkok mengelus pundaknya agar sedikit lebih tenang.
"Tapi terkadang sebagai anak, kita cuma bisa liat luarnya aja, Al. Kita ga pernah tahu alasannya. Jadi single mom itu pasti gak mudah."
"Bagiku manusia itu harus punya prinsip. Kalau salah, ya salah. Dengan melakukan perselingkuhan gila itu, ibu telah melukai banyak orang. Keluarga lelaki itu, dan aku. Ibu pasti tahu resiko kalau ketahuan bagaimana? Apa dampaknya? Aku yakin ibu sudah cukup dewasa untuk tidak bertindak gegabah."
Keheningan menyelimuti percakapan tengah malam di antara kami. Dengan jarak sedekat ini aku bisa merasakan Alfian mengatur napas dan emosinya. Aku menelan ludah setelah sadar jika kini kami saling menatap satu sama lain.
"Setelah bertemu ibu, perasaanku berubah jadi gak karuan. Dadaku sesak sekali. Lalu aku memutuskan untuk lari sejauh mungkin. Tapi anehnya selalu berakhir di depan kamar kamu. Terus aku pergi lagi untuk memastikan, dan berakhir di sana lagi."
"Hmm..."
"Aku pikir kosan kamu yang membuat perasaanku lebih baik. Ternyata aku salah. Setelah melihat kamu dari sedekat ini, kayaknya aku sadar sesuatu."
"A--apa?"
Bibirnya mengulas senyum tulus, kemudian kedua telapak tangannya menempel di pipiku, lalu berpindah membelai surai rambutku berulang kali membuat jantungku menggila.
"Ta, kayaknya aku jatuh cinta ... sama kamu."
Aku sangat terkejut dengan ucapannya. Pikiran bodohku menghasut mengakhiri kecanggungan ini dengan bilang "bercanda ya kamu?" atau "ih apaan sih. Jangan bikin beper anak orang dong!" Namun ketika melihat ekspresi Alfian yang serius, aku tahu ia sedang tida bercanda.
"Al..."
Sedetik kemudian, belum sempat aku membalas ucapannya, Alfian sudah lebih dulu mengecup bibirku. Harusnya aku marah dan kesal seperti dua belas tahun lalu. Namun anehnya, aku malah menikmatinya.
Kecupan itu singkat, tetapi begitu membekas.
"Jadi, mau kan jadi pacar aku?"
** to be continued**
Author's note; Hari ini update dua bab, ya! Tungguin & jangan lupa vote + follow 🧡🤍