023. hal-hal yang tidak aku ketahui

94 17 9
                                    

"Ini pertama kalinya aku pacaran. Jadi aku belum punya pengalaman. Maaf ya kalau sikapku gak peka atau childish."

Aku resmi berpacaran dengan Alfian. Tidak butuh waktu lama untuk menjawab "ya, aku mau." karena hal ini yang sejak dulu aku inginkan. Semenjak berpacaran sikap dan nada bicaranya makin lembut. Dia perhatian dan sering memberikan aku kejutan kecil yang membuat aku bahagia. Misalnya tiba-tiba saja datang ke kosan hanya untuk mengirim makanan, atau tiba-tiba saja mengajak jalan-jalan malam mengelilingi Kota Bandung, dan tidak pernah lupa bilang "Hati-hati, ya! I love you" diakhir percakapan kami di telepon. Hal sederhana yang membuat hatiku bahagia.

"Gausah gimana-gimana. Kamu cukup jadi diri kamu apa adanya. Aku bakal tetap suka kok!"

Kami menjaga hubungan privat dari siapa pun. Aku hanya berbagi cerita pada Yovie, itu pun karena tak sengaja bertemu di bioskop saat ingin menonton film di akhir pekan. Sementara Alfian lebih memilih untuk mereka tahu sendiri. "Kalau ditanya ya aku jawab jujur. Kalau mereka gak ngomong, ngapain juga kasih tahu?"

Namun, aku bisa merasakan bahwa mereka juga menaruh curiga. Seperti ketika aku dan Alfian curi-curi pandang saat bekerja, dari arah lain, Gie menatap kami secara bergantian. Mungkin dia juga penasaran, tetapi enggan bertanya karena ini ranah pribadi. Aku yakin Gie dan Nata tidak sebodoh itu tidak membaca signal dari kami.

Semua pekerjaan dan percintaanku berjalan lancar tanpa hambatan. Rasanya tidak pernah sebahagia ini dalam hidupku. Sampai-sampai aku takut kalau kesedihan akan datang lagi untuk merenggutnya. Mungkin benar jika kita tidak boleh terlalu senang menari di atas angin. Karena jika berubah jadi badai, kita akan masuk ke dalam keterpurukan.

Dan suatu hari, hal yang aku takutkan terjadi. Ibu pingsan lagi di pasar. Tanpa pikir panjang aku langsung pulang menuju rumah sakit tempat ibu di rawat.

Ibu di rawat di kelas tiga. Aku dan keluarga cukup beruntung karena tidak perlu pusing masalah biaya rawat inap karena ada kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat) dari pemerintah yang diperuntukan orang-orang tidak mampu. Pakdhe Muk juga ikut membantu segala kebutuhan.

Ketika melihat Budhe Eli menemani ibu yang terbaring lemah di rumah sakit, kebencianku terhadap keluarga ayah sirna sudah. Meskipun terkadang mereka sering bersikap seenaknya, tetapi pada kenyataannya, mereka juga orang pertama yang menolong ketika kami kesusahan.

"Ta!" Pakdhe Muka memanggil aku ke luar ruangan sebentar. Raut wajahnya serius kali ini. Ia bahkan membawaku ke kantin belakang rumah sakit untuk mengobrol. "Ada yang ingin Pakdhe sampaikan."

"Ada apa Pakdhe?"

"Tadi pas kamu masih di jalan ke sini, dokter sudah periksa keadaan ibumu. Pakdhe bingung mau jelasin dari mana, tetapi ini bukan kabar yang baik." Deg. Hatiku menciut ngilu. Sudah aku duga, badai pasti akan menyeretku ke dalam keterpurukan. "dokter bilang penyakit ibunya sudah makin parah. Kistanya sudah berubah menjadi kanker ovarium."

"..."

"Dan itu harus segera ditangani dengan cara operasi."

Ibu pernah berkata alasannya tidak mau ke dokter adalah karena takut di operasi. Dan alasan ibu takut di operasi adalah karena perkataan orang-orang. Pernah suatu ketika ibu-ibu komplek menjenguknya waktu ayah masih ada. Mereka berkata agar ibu lebih baik berobat secara tradisional saja.

"Percuma operasi Bu, ponakan saya juga kista tuh. Udah di operasi terus tumbuh lagi. Pas tumbuh lagi malah makin parah dan berakhir meninggal dunia."

Perkataan itu lah yang membuat nyali ibu menciut pergi ke dokter lagi dan memilih untuk membeli obat-obatan herbal. Ada obat dengan harga mahal yang memang cocok. Namun sayang, setahun sebelum ayah meninggal obat itu langka karena tidak diproduksi lagi.

Pernah juga suatu ketika ayah pergi ke rumah temannya di pelosok desa. Ayah dengar di sana ada "orang pintar" yang bisa menyalurkan penyakit manusia ke hewan. Saat itu ayah dan ibu yang nyaris putus asa memberanikan diri datang ke sana membawa sejumlah uang dan persyaratan di luar akal sehat manusia. 'Wong pinter get jadi gobloge ari kepepet mah!' kata Pakdhe Muk yang juga baru mendengar cerita itu dari ibu. (orang pinter jadi bodoh kalau kepepet)

Tugas berat yang aku emban sekarang adalah membujuk ibu agar mau di operasi. Nyatanya tidak semudah itu membujuk orang yang memiliki ketakutan yang sangat tinggi. Saking takutnya selama ini ibu menahan segala sakitnya sendirian.

Jadi ketika ibu sudah siuman, aku mulai bicara dari hati ke hati.

"Kapan ibu boleh pulang? Ibu mau pulang. Ini sudah sehat kok."

"Nanti, tunggu visit dokter dulu," jawabku dengan nada lembut. Aku tidak pernah ingat kapan terakhir kami bicara sedekat ini. Aku yang duduk di samping ibu, dan ibu yang menatapku lebih lama. "Bu, setiap mau halangan perut ibu pasti sakit sekali, ya?"

"Rasanya perut ibu seperti di remas-remas tanpa ampun, Ta."

Perut ibu akan sakit menjelang datang bulan. Sensasi nyeri, panas sampai ke punggung membuat ibu terkadang tidak bisa bangun dari tidur. Sakit itu makin lama makin menggila membuat ibu yang punya riwayat anemia pingsan tidak sadarkan diri.

"Kalau ibu berani operasi, nanti gak akan sakit lagi."

Ucapanku tentu tidak menyenangkan bagi ibu. Apalagi ibu sudah cerita alasannya kenapa selama ini tidak periksa ke dokter. Namun, tidak ada acara lain lagi. Penyakit ibu harus segera diangkat agar sel kankernya tidak menyebar ke organ tubuh lain. "Bu, takut itu wajar. Tetapi masalah umur, itu hak Tuhan. Sebagai manusia, kita hanya perlu ikhtiran dan berusaha untuk sembuh."

Ibu terdiam cukup lama. Mata yang sayu memandang langit-langit rumah sakit yang membisu. Mencampakan aku dalam perasaan tak enak hati. Menerka-nerka apakah aku telah salah bicara dan membuatnya bersedih. Kemudian ibu menutup mata. Aku pikir ibu ingin tidur. Namun, ketika aku hendak beranjak dari kursi, tangannya menangkap pergelangan tanganku. Lalu meminta agar aku uduk kembali.

"Setiap hari ibu berdoa agar segera bertemu kembali dengan ayahmu. Jadi, ibu tak takut akan kematian. Karena sebagai orang beragama ibu percaya semua orang akan mati. Namun, Ta ... yang pertama kali ibu pikirkan ketika mendengar penyakit ini adalah kamu dan Sita, anak-anak ibu. Ibu tidak bisa membayangkan jika kalian hidup sendirian di dunia yang keras ini."

Suara ibu bergetar menahan tangis, mungkin dengan cara ini ia bisa meluapkan apa yang ia rasakan. "Lalu ibu meminta sedikit waktu lagi pada Tuhan. Sampai kalian bisa berdiri dengan kaki kalian sendiri dan menemukan seseorang yang bisa menjaga, melindungi, dan menyayangi kalian. Seperti ibu dan ayah yang menyayangi kalian. Dengan begitu, ibu bisa pergi dengan tenang."

Aku tak kuasa menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Hal-hal tabu itu akhirnya menghancurkan pertahananku sebagai anak yang tak menampakan sisi rapuh.

"Ayah dan ibu bukan orang tua yang sempurna. Alih-alih memberikan kebahagiaan seperti orang tua lain, kami lebih banyak menyeret kalian dalam situasi berat. Ibu tahu Lita kecewa sama ayah dan ibu karena sejak kecil selalu melewati hari sendirian. Sita juga pasti benci karena menganggap kami menjualnya. Ibu tidak mau memberikan pembelaan, karena ibu sadar jika salah. Orang tuamu ini orang susah, orang desa yang tidak punya pendidikan tinggi. Kami hanya tidak ingin kalian bernasib sama. Cukup ayah ibu saja yang diremehkan orang."

Aku menumpahkan tangis dan sesak tanpa kata-kata. Kepalaku menunduk, memeluk tangan ibu dengan erat. Meluapkan rasa bersalah yang selama ini berprasangka buruk pada orang tuaku sendiri. Meminta maaf sebab masih ada waktu sebelum terlambat.

"Maafin Lita, Bu. Maaf. Hiduplah lebih lama lagi. Lita mohon..."

**to be continued**

Eternal Sunshine (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang