The "Si Mignon."

51 6 6
                                    

"SINTING!" Alex berseru kesal dihari keempat setelah aku mendadak mati singkat. Ia berjalan mondar-mandir di kamarku. Aku mengunyah sayur lambat-lambat. Aku tak menyangka setelah bercerita panjang lebar soal apa yang baru saja Mr. Taylor lakukan di belakangku, respon Alex jauh lebih berapi-api daripada diriku sendiri.  "BENAR 'KAN EMMA? DIA MENYUKAIMU! ADA BANTAHAN LAGI SEKARANG, HUH?!" tantangnya.

Aku mengangkat bahu. "Ya maaf. Kalau kamu jadi aku juga pasti bakalan berpikir dan bersikap denial sejak awal. It's too beyond our logic."

Alex menggeleng dan menghampiriku, duduk di kasurku dengan hempasan yang keras. "Listen, Kamis nanti—kalau kamu udah sehat dan bisa sekolah lagi—mau gak mau kamu harus ngomong langsung sama Mr. Taylor. Di ruangannya kek, dimana kek. Aku gak peduli dia bakalan malu atau marah. Ini menyangkut kesehatanmu!" Alex menunjuk dadaku. "Dan aku tidak ikhlas kalau sampai kamu harus drop gara-gara masalah mereka berdua."

Aku menunduk dan menaruh wortelku, mendorong piringku di atas meja, merasa kenyang. "Waktu jantungku berhenti berdetak kemarin, aku mimpi aneh."

Alex, masih dengan wajah cemberut, melirikku tajam. "Apa?"

Aku pun menceritakan hal aneh yang hinggap dalam imajinasiku, soal Mr. Davis dan Mr. Taylor yang menyelamatkanku di akhir mimpi. Awalnya, aku ingin juga mengatakan pada Alex soal kalimat don't you dare to hurt my wife, tapi pasti Alex akan lebih meledak-ledak, kemungkinan mengatakan itu hanya lelucon belaka.

"Aneh sekali mimpimu. Tidak ada yang lebih hebat, apa?" Alex protes dan aku tak bisa menjawab apa-apa. Alex bilang jantungku sempat berhenti berdetak selama 30 detik, dan mimpi aneh itu terasa receh sekali bagi seseorang yang sedang berada dalam kondisi hampir meninggal. Namun begitu, aku masih beruntung, sebab kejadian aslinya adalah aku tidak digendong oleh Mr. Davis. George sempat terjatuh ketika berlari dengan kecepatan tinggi menuju ruang guru untuk meminta tandu darurat. Ben benar-benar ngebut membawaku menuju rumah, hampir tidak bisa membedakan mata stir ke kanan dan ke kiri saking paniknya. Kutebak pasti teman-temanku juga sempat kaget ketika masuk ke dalam kamarku, yang sekarang kurang lebih dekorasinya 11 12 dengan rumah sakit pasien jantung dengan segala peralatan medis dan tabung oksigen raksasa. Aku sempat mengirim pesan pada mereka di grup, Jangan bilang siapa-siapa ya soal kamarku ❤️ Mereka mengiyakan dan akan menjadikan kejadian kemarin sebagai rahasia. Tak henti-hentinya juga mereka menanyakan kabarku, baik secara langsung maupun lewat Alex. Tak bosan-bosannya juga Alex mengirimkan fotoku—sudah melalui izin tentunya—kepada mereka.

"Despite about Mr. Taylor, Sean nitip salam. Katanya cepet sembuh," Alex berkata dengan enggan.

"Ya, amen," jawabku sama enggannya.

Alex mengambil garpuku dan menusukkannya ke potongan wortel dengan geram. "Aku tetap akan temani kamu ngobrol sama beliau. Kalau Mr. Taylor ada di sekolah sebelum hari Kamis, janjian langsung. Aku gak mau masalah ini jadi bertele-tele." Alex mengangkat garpu dan berniat menyuapiku.

Aku menggeleng dan mendorong lengannya. "Aku masih bisa makan sendiri, Alex. Udah kenyang juga."

Namun Alex tetap memaksa. "Aku tidak bermaksud membuatmu seolah tak berdaya. Aku ingin menyuapimu—apa salahnya? Makanannya harus habis. Kamu harus sehat." Jadi aku membuka mulut dan makan wortel lagi. "Aku dengar Principal Grazer akan mengadakan rapat bareng guru-guru. Entah hari Selasa atau hari Rabu—ngomongin University Expo buat kelas 12 nanti," jelasnya, sekarang mengambil brokoli.

"Semoga beliau beneran ada. Kau ikut rapat juga 'kan?" kataku senang.

"Tentu. Nanti aku kabari kamu kalau Mr. Taylor ada," ucapnya dan aku bergumam mengiyakan. Alex yang wajahnya sudah mirip dengan tomat rebus menahan kesal, tiba-tiba saja berubah cerah. "Aku dan Kim cocok gak kalau jadi pasangan promotor?"

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang