7 Tahun yang lalu...
Aku berdiri mematung setelah mendapat telepon kalau ibu dan ayahku meninggal dalam perjalanan bisnis mereka. Namun entah mengapa tidak ada air mata yang keluar dimataku, aku menatap para pelayan yang saat ini tengah menatapku dengan kasihan, mereka semua sudah tahu rupanya, kemudian tanpa memedulikan mereka aku berlari pergi ke kamarku. Tidak mungkin, ini pasti mimpi. Ibu dan ayah tidak akan pergi meninggalkanku sendiri, mereka sudah berjanji padaku bahwa mereka akan kembali dan kami akan pergi piknik bersama. Ya, benar. Ini hanya mimpi. Aku akan tidur dan saat aku bangun semuanya pasti akan kembali seperti sedia kala. Pasti begitu.
***
Entah sudah pukul berapa saat aku terbangun, tapi saat membuka mata aku melihat Kak Abi yang sedang duduk dikursi sambil menatapku dengan khawatir. Walaupun kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan kenapa Kak Abi ada disini tapi disisi lain aku merasa senang saat melihatnya, aku pun tersenyum ke arahnya.
"Kak Abi tadi aku mengalami mimpi buruk, katanya ibu dan ayah meninggal."
Ekspresi wajah Kak Abi menjadi lebih sedih saat mendengar ucapanku. Kenapa wajahnya berubah seperti itu? Kak Abi tidak pernah menampilkan raut wajah yang seperti itu, ini adalah pertama kalinya aku melihatnya.
"Gempita, itu bukan mimpi. Orangtuamu benar-benar sudah tidak ada."
"Kak Abi jangan bercanda seperti itu. Itu tidak lucu sama sekali."
Aku meremas tangan Kak Abi mencari senyum jahilnya yang biasa dia tampilkan saat dia sedang mengerjaiku. Namun, ekspresi wajahnya tidak berubah, dia masih terlihat sedih.
"Gempita, aku serius."
Kak Abi mengambil tanganku yang sedang meremas tangannya dan menggenggamnya disana. Jadi semuanya tidaklah mimpi? Ibu dan ayah telah meninggalkanku?
Sedetik kemudian perasaan yang aku coba hindari tiba-tiba datang menyergapku. Ya Tuhan, sakit. Hatiku sakit sekali dan tanpa disadari air mata mulai mengalir di pipiku. Ibu... Ayah... Sebuah teriakan tertahan dimulutku.
Kak Abi menghapus air mataku kemudian memelukku dan mengelus-elus punggungku mencoba untuk menenangkanku. Rasa hangat yang aku dapatkan membuatku semakin menangis tersedu-sedu sedangkan Kak Abi hanya membiarkanku saja tanpa berkata apapun.
"Kak Abi, bajunya jadi basah." ujarku saat tangisanku telah reda dan melepaskan pelukannya.
"Tidak apa-apa Gem, kau mau turun ke bawah? Jasad mereka sudah ada disana."
Sekali lagi aku merasakan hatiku sedang disayat saat mendengar Kak Abi yang menyebut orangtuaku dengan sebutan jasad. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan semua itu hanya aku yang tidak terbiasa mendengarnya.
"Kak, sekarang aku benar-benar sendiri ya?" ujarku dengan getir.
"Tidak, masih ada aku Gempita. Aku akan selalu ada disisimu."
Genggaman tangan Kak Abi mengerat, seolah-olah dia ingin meyakinkanku kalau dia bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya.
"Terima kasih Kak. Aku akan berganti pakaian sebelum turun ke bawah."
"Kalau begitu aku akan menunggumu diluar."
Setelah mengganti pakaianku, aku pun segera keluar dan mendapati Kak Abi yang menunggu disana. Saat sedang menuruni tangga, aku melihat beberapa orang yang sudah duduk melingkari ibu dan ayahku. Ada beberapa kerabat kami juga disana. Aku meraih tangan Kak Abi saat melihat ibu dan ayahku yang sudah terbaring kaku diatas peti. Langkahku terhenti. Kenapa rasanya berat sekali menuruni tangga ini? Tatapanku bertemu dengan Kak Abi, dia menampilkan senyum menenangkannya.