5. {A Little Bit of Clue}

7 0 0
                                    

Full Ananta's POV

Aku akhirnya memutuskan untuk ikut tinggal sementara di rumah bu, ah, bukan. Kak Aini juga. Tentunya untuk saling meringankan beban pekerjaan dengan penyidik lain yang sementara disini dan para detektif.

Malamnya, Rian membantu orang tuanya mengurus perizinan untuk Ren, sementara sisanya berkumpul untuk rapat seadanya di dapur. Yah... Kedoknya kak Aini, sih, aslinya cuma para cewek nggibah dan para cowok ngudud. Tak apa, sih, kalau saja Pak Rizki tidak tiba - tiba menelepon. Handphone kak Aini yang tadinya memutar lagu rap dari rapper 'Rustage' tiba - tiba beralih membunyikan nada dering yang tak pernah diubah olehnya sejak akhir bulan desember tahun lalu. Seperti biasa bila ini terjadi di kantor, aku hanya tertawa terbahak - bahak.

Kak Aini mengangkat telepon dari Pak Rizki saat yang lain menatapku tidak percaya. Tak dipungkiri, sejak pertama kalinya kami bertemu, aku selalu menunjukkan sisi profesionalku yang terlampau serius.

"K, kak Nanta.... Ngakak...? Serius...?" Rian yang baru saja masuk saat itu membuka suara seraya melongo bak anak kecil. Bahkan saking melongonya, aku bisa melihat setetes liurnya mulai menetes.

"Baru tau??" Tanyaku di sela tawaku. Kelima detektif dan Ren pun hanya mengangguk.

"Biasa, sekarang, Rian, lap dulu itu iler mu. Njijik'i (Menjijikan)." Fajar tiba - tiba muncul dari....

Mesin waktu~

Ga, ga, canda....

Tiba - tiba, Fajar muncul dari beranda belakang. Setia dengan rokok surya di tangannya. Padahal sudah kuberitahu berkali - kali agar berhenti merokok, tapi tetap saja...

Saat kulihat kak Aini menutup telepon, sontak kuhentikan tawaku dan bertanya pada kak Aini.

"Ada apa, kak? Tumben jam segini pak Rizki telepon..." tanyaku.

"Kita, bisa dapat lebih banyak clue disini. Akhirnya...."

"clue gimana, kak?" Ren yang tengah memeras jeruk nipis ke tehnya bertanya. Tampaknya dia memang mewarisi sifat kakak angkatnya secara naluri untuk ingin mengetahui banyak hal disekitarnya. Tak heran, karena siang tadi Ren cerita padaku bahwa dia dan Rian memang sama - sama suka kepo. Apalagi kalau sudah ke tempat bersejarah atau tempat dengan banyak artifak seperti museum.

"Tenang, Ren, saksi kali ini engga cuma kamu. pak Rizki tadi bilang, kalau ada saksi kedua di kasus Dian. Yuk, sekarang kita ke kantor dulu buat ketemu saksi ketiga." Setelah kak Aini mengatakannya, dia lantas meninggalkan dapur dan menyambar jaketnya yang tadinya asal dilemparkan ke sofa ruang depan serta mengambil kunci motorku, bahkan sebelum sempat ku protes.

Sesampainya di kantor, kami langsung menemui saksi ketiga. Mutiara Vania. Biasa dipanggil Ara. 23 tahun, tidak terpaut terlalu jauh dari para detektif dan anggota tim penyidik yang menyelidiki kasus ini. Parasnya lumayan cantik, dengan tubuh yang proporsional. Tidak terlalu ramping namun tidak juga terlalu melar. Punya hubungan persaudaraan yang memusingkan. 5 adik. yang bungsu kembar 2, setahun diatas si kembar 2, ada kembar 3. Ada juga kakaknya, malah kembar 3 lagi dan satu kakak sulung.

"Jadi, katanya mbak Ara ini juga kebetulan papasan sama Ren dan temannya sebelum menyaksikan kejadian saat pelaku menggantung tubuh korban?" Fajar secara blak - blakan seperti biasa membuka.

"Saya merasa seperti mengenali pelaku, mas. Kenal sekali. Tapi saya ndak tau siapa, saya seperti kehilangan ingatan tentang dia..." Jawab Ara. Yang lain hanya diam dan menyimak, terutama Ren yang belum terlalu tahu - menahu tentang semua ini dan tentunya pak Rizki.

Setelah dua menit penuh keheningan, tiba - tiba Agira Arka Rendy, ketua tim penyidik datang membawa nampan kopi.

"Ya sudahlah, kalau mbak Ara belum bisa ingat, ya kami ndak bisa maksa juga. Jadi, gimana, pak Rizki?" Celetuknya sembari menyerahkan secangkir kopi pada Ara.

"Ya, Rendy benar. Kita ndak bisa maksa mbak Ara buat ingat semua tentang itu. Biar aman, sekarang, kalian harus tetap bersama, dalam keadaan apapun. Kalau berpisah mau ke toilet, minimal berdua. Paham?" Pak Rizki, seperti biasa memaparkan.

"Paham, pak."

Setelah itu, sama seperti sebelumnya, penghuni rumah kak Aini bertambah lagi dua orang....

Rumah yang lumayan besar dan bergaya jaman penjajahan Belanda itu, katanya warisan langsung dari almarhum kakek dari kak Aini. Kak Aini pernah bercerita pada anggota tim penyidik, bahwa dia adalah satu - satunya cucu kandung kakeknya. Kakek nya dari ibunya. Katanya saudara ibunya semuanya perempuan. Namun entah kenapa, hanya ibunya saja yang bisa mengandung, seakan saudari - saudari ibunya, semuanya mandul. Bahkan kak Aini sendiri yang mengaku kalau dia tidak sedekat itu dengan sepupu - sepupunya karena dia tidak merasakan persaudaraan diantara sepupu - sepupunya itu. Pada akhirnya, bibi dan pamannya satu persatu menyerah mengharapkan anak secara biologis, dan akhirnya mengadopsi anak.

"Nanta...."

Ditengah lamunanku di halaman belakang malam itu, tiba - tiba kudengar suara kak Aini memanggilku.

"I, iya, kak...?" Jawabku, masih mengumpulkan nyawaku setelah tersadar dari lamunanku.

"Udah gelap, ayo masuk, ga baik melamun diluar malam - malam..." Ucapnya seraya menarikku ke dalam rumah.

To Be Continued....

Gtw mau nambahin apa lagi....

Total kata : 754



Dibalik Es Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang