47.

33 8 12
                                    

Silent treatment yang diberikan Widi mulai membuat William tak nyaman. Sudah dua hari ini mereka bicara seperlunya saja. Itu pun harus William yang memulai duluan. Hal itu pula yang membuat William melewatkan sarapan bersama sang ayah. William pikir Widi akan memanggilnya untuk sarapan bersama. Ternyata tidak. Pria itu tetap  menikmati roti isi tanpa bersuara, seolah tak peduli dengan putranya yang tak bergabung dengannya.

Pemuda itu membuka lokernya untuk mengambil beberapa alat tulis. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Selain tidak sarapan, William juga tidak membawa bekal. Biasanya Widi akan menyajikan sarapan dan bekal di meja makan. Pagi ini William tidak masuk ke ruang makan sama sekali. Ia hanya berpamitan menggunakan mulutnya, lalu pergi keluar rumah. Otomatis bekalnya tertinggal di rumah.

“Sial,” gumam William sambil menutup pintu loker. Ketika ia menoleh ke arah kiri, seorang gadis berkulit cokelat sudah berdiri di sana. Senyumnya yang manis meredakan kekesalan dalam hati William. “Hai.”

“Hai. Mau peanut butter and jelly?” tanya gadis itu.

“Boleh.”

“Ayo,” ajak gadis itu.

Mereka berjalan menuju kantin sekolah. Di sana beberapa orang terlihat sedang sarapan, mengerjakan tugas, atau sekedar mengobrol menunggu jam masuk sekolah. Gadis yang bersama William memilih sebuah meja. Mereka kini duduk berhadapan.

“Kamu kelihatan kesal. Apa yang terjadi?” tanya gadis itu seraya mengambilkan bekal dari dalam tasnya.

“Aku tidak sarapan dan lupa membawa bekal,” jawab William.

“Aku rasa lebih dari itu. Ya, kan?” Ia membuka kotak bekal dan ada lima potong roti isi selai kacang dan selai stroberi di sana. “Makanlah.”

“Ya. Aku rasa, aku membuat ayahku kesal. Dia mendiamkanku selama dua hari.” William mulai menyantap roti yang dibawa oleh kekasihnya.

Ya, gadis manis itu adalah kekasih William. Namanya Genesis, tapi nama panggilannya adalah Ginny. Ia seorang gadis berdarah campuran Afro-Amerika dan Latin.

“Segera minta maaf padanya. Apalagi yang kau tunggu?”

“Oh, Ginny! Dia sangat rumit seperti perempuan! Minta maaf saja tidak cukup!” keluh William.

“Belum dicoba, tapi kau sudah mengeluh.” Ginny menggelengkan kepalanya. “Oh, ya. Aku belum pernah bertemu dengan ayahmu. Kapan kau akan membawaku ke rumahmu?”

“Entahlah.” William kembali menggigit rotinya. “Kau sangat ingin bertemu dengannya?”

“Ya. Aku dengar ia seseorang yang tampan, berambut pirang, dengan mata biru yang indah. Teman-temanmu bilang begitu.”

William langsung menatap Ginny. Kemudian menggelengkan kepala. “Dia ayahku juga. Tapi, bukan ayah kandung. Aku punya dua ayah.”

“Wow! Ibumu, hm, menikah dua kali?”

“Tidak. Ayahku memang ada dua. Mereka gay. Pria pirang yang kau ceritakan itu namanya Jonathan Walter. Ia adalah ayah kandung kakakku, Sarah. Kami memanggilnya Papa. Sayangnya ia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedangkan ayah kandungku, Widiyan Yudhistira. Kami memanggilnya Ayah,” jelas William. Raut terkejut belum hilang dari wajah Ginny. “Oh, aku lupa bilang kalau ayahku gay. Ya, kan?”

“Tak apa-apa,” sahut Ginny. “Jadi kapan kita bertemu ayahmu?”

“Akhir pekan.”

“Aku harus bawa apa?”

“Jangan membawa kue, roti, keik, atau makanan yang dimasak. Ayahku seorang baker, ia juga pandai memasak. Aku takut jika makanan yang kau bawa tidak disukai olehnya. Aku takut jika ayahku juga membuatmu tersinggung.”

“Oke. Tidak usah bawa makanan.” Ginny memegang rambutnya yang dikepang gaya Dutch braid. “Kau suka gaya rambutku?”

“Ya. Aku menyukainya. Kau terlihat sangat bergaya.”

Ginny tersenyum bahagia. Detik selanjutnya mereka saling tersipu malu. Wajar saja, hubungan mereka baru berjalan sebulan, masih sangat hangat dan mesra. William tak menyangka jika seorang it girl seperti Ginny mau berpacaran dengannya. Apalagi dalam hubungan ini, Ginny duluan yang menyatakan perasaan.

Bel tanda masuk kelas berbunyi. Keduanya membereskan bekas makanan, lalu berjalan bergandengan menuju kelas. Ginny bahkan sempat bergelayut manja di lengan sang kekasih. Entah apa komentar Widi jika melihat anaknya sudah berani pacaran.

*

“Semalam aku menertawakan Nando!”

Widi menoleh saat Ronan menaikkan volume suaranya di akhir kalimat. Kemudian dia kembali membuat biang roti sourdough dengan mencampurkan tepung terigu dan air. Tanpa perlu merespons, Widi tahu kalau Ronan akan tetap bercerita. Untung saja di ruangan itu hanya ada mereka, tepung terigu, dan beberapa rak berisi biang roti sourdough.

“Pesta seks mereka itu dibatalkan, lho.” Ronan tertawa penuh kemenangan. Saat melihat Widi yang terkejut, Ronan menjadi semakin bersemangat untuk bercerita. “Sistem untuk pesta itu, semua peserta harus tes HIV dulu. Lalu hasilnya akan dikumpulkan. Ternyata salah seorang teman Nando ada yang positif HIV. Jadilah pesta itu dibatalkan.”

“Kenapa harus batal hanya karena satu peserta yang positif HIV?”

“Entahlah. Pokoknya acara itu sudah batal. Titik!”

Entah kenapa kabar itu membuat Widi juga merasa senang. Ia meneruskan pekerjaannya dengan senyum mengembang.

“Setelah semua ini, apakah kau masih menyukai Ernest?” tanya Ronan.

“Entahlah. Walaupun kami saling menyukai, rasanya tidak mungkin untuk bersama. Anak-anak tidak menyukai pria itu. Terutama Sarah.” Widi menutup stoples berisi biang roti sourdough. Kemudian menuliskan tanggal pada permukaan stoples.

“Sepertinya anak-anak tidak pernah suka jika kau punya pacar. Ezra, ya dia pantas mendapatkan penolakan. Eli ....” Ucapan Ronan terhenti, ia masih merasa malu atas kejadian yang pernah terjadi. “Ernest, ya begitulah. Ngomong-ngomong, pria yang berhubungan denganmu namanya banyak dimulai dari huruf E.”

“Heinrich?” Lirik Widi pada Ronan.

“Dia lain. Sama seperti Jon.” Ronan membantu menyusun stoples ke dalam rak.

“Sepertinya aku mulai terhubung lagi dengan Ezra.”

“Apalagi yang pria itu lakukan padamu?”

“Dia mengajakku jalan-jalan keliling kota saat kami sama-sama suntuk. Berkendara tanpa tujuan seperti saat kami masih muda. Aku merasakan energi lama yang dulu aku kenal. Sesuatu yang menyenangkan, liar, memacu adrenalin.”

“Tapi dia punya suami. Mungkin itu yang membuat kebersamaan kalian memacu adrenalin. Oh, ya, kenapa dia suntuk?”

“Bermasalah dengan Heinrich.”

“Tuh, kan! Jangan-jangan kau hanya pelarian baginya?”

Widi terdiam. Ucapan Ronan mengenai hatinya. Tapi, pria itu benar. Bagaimana kalau selama Widi hanya pelarian dari segala masalah yang Ezra alami? Bagaimana kalau selama ini Widi saja yang merasakan perasaan spesial itu? Bagaimana kalau masalah Ezra dengan Heinrich selesai, lalu dia ditinggalkan?

Kenapa aku masih mudah terbawa suasana jika bersama Ezra? Kenapa aku seperti orang bodoh yang tak pernah belajar dari kesalahan? – Widi

*

Malam itu Heinrich mengajak Ezra untuk makan malam di sebuah restoran favorit kekasihnya. Heinrich sudah rapi, sedangkan Ezra tinggal menyemprotkan sedikit parfum sebagai penutup acara berhias. Aroma parfum itu terasa asing bagi Heinrich. Ia mendekati meja rias dan melihat sebotol parfum yang tampak baru. Di antara banyak produk kosmetik, ia tak menemukan parfum yang biasa dibelikan untuk Ezra.

“Kau suka aromanya?” tanya Ezra sambil memakai blazer hitam.

“Aku suka. Tapi aku lebih suka aroma parfum yang biasa aku beli untukmu. Kenapa tidak bilang jika parfumnya habis?” Heinrich menatap pria itu.

“Aku tak mau pakai itu lagi. Aromanya terlalu lembut. Bukan karakterku.”

“Aku menyukainya.”

“Tidak cocok untukku.” Ezra menggelengkan kepalanya. “Lagi pula, kau menyukai parfum itu karena dulu dipakai oleh Kenny. Kau bahkan masih menyimpan sisa parfum terakhir yang Kenny beli di dalam lemarimu.”

Heinrich mencuri pandang ke arah lemarinya. Apa yang Ezra katakan itu benar. Beberapa barang milik Kenny masih ada di sana. Kadang Ezra takut kalau tiba-tiba Kenny keluar dari lemari.

“Jangan pakai parfum barumu lagi,” suruh Heinrich.

“Aku tak mau menurutimu. Kalau kau mencintaiku, kau tidak akan memintaku untuk menjadi seperti orang lain.”

“Aku tak pernah memintamu menjadi orang lain,” elak Heinrich.

“Banyak hal yang kau lakukan agar aku tampak seperti Kenny. Kau mengubah gaya pakaianku, aroma tubuhku. Urusan mencukur bulu-bulu di wajahku saja kau ikut campur. Kau ingin aku semulus Kenny. Itu tidak mungkin, Heinrich! Hormon testosteron dalam tubuhku lebih banyak!” Ezra mulai meninggikan suaranya. Ia berjalan menuju luar kamar, tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia menatap Heinrich lagi. “Kita pernah menyukai orang yang sama. Entah itu Widi atau Kenny. Tapi alasan itu tidaklah bagus untuk menyatukan kita. Aku baru menyadarinya sekarang.”

Ezra berlalu meninggalkan Heinrich yang terluka akibat ucapannya. Pria pirang itu mengusap wajah dengan kasar. Ia menatap ke arah lemarinya lagi. Tiba-tiba ia berhalusinasi melihat Kenny yang mengintip dari celah yang ada di sana.

*

“Bisa bicara sebentar?”

Widi mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibaca. Sejenak ia menatap wajah sang anak. Setelah yakin ini sesuatu yang serius, ia melepaskan kacamata dan meletakkan buku di atas meja kopi. William segera duduk berhadapan dengan ayahnya.

“Ada apa?”

“Aku ingin minta maaf atas kesalahanku tempo hari. Aku telah kasar, bicara seenaknya, dan tidak memedulikan perasaanmu. Maafkan aku,” jelas William dengan lancar. Setelah beberapa detik tidak tampak respons sang ayah. Jantung William mulai berdetak kencang.

“Aku memaafkanmu. Jangan diulangi lagi,” balas Widi sambil mengenakan  kacamata lagi.

“Ayah.”

“Ada apa?”

“Besok temanku mau main ke sini. Mungkin menjelang makan siang.” Wajah William tampak tegang. “Boleh, kan?”

“Boleh.” Widi masih bersikap seperti sebelumnya. Tiba-tiba ia teringat kalau William tidak pernah bilang akan membawa teman ke rumah. Mereka datang, main, belajar, dan menghabiskan stok makanan buatan Widi. Pria itu menyadari kalau yang datang adalah orang yang spesial bagi William. “Teman? Laki-laki atau perempuan?”

“Hm, perempuan.”

“Berapa orang? Mau dimasakin apa?” tanya Widi sambil membalik halaman buku.

“Satu orang saja. Terserah Ayah. Masakan Ayah selalu enak.” William berharap pujian itu bisa meluluhkan hati ayahnya.

“Oke. Apa dia punya pantangan makan? Alergi? Alasan kepercayaan? Vegan? Vegetarian?”

“Tidak. Dia normal saja.”

“Ya. Okelah. Gampang itu.”

William melihat sang ayah tersenyum geli. Ia yakin jika sang ayah tahu kalau yang dibawa adalah teman spesial.

“Terima kasih. Aku akan pergi ke kamar.”

“Selamat tidur.”

Baru saja William hendak naik tangga, terdengar suara bel pintu ditekan. Widi segera meraih ponsel dan mengecek CCTV yang tersambung ke ponselnya. Begitu melihat orang yang datang adalah Ezra, ia langsung panik. William yang hendak menuju pintu depan langsung dilarang oleh Widi.

“Jangan! Biar Ayah saja!”

“Oke.”

William membalikkan badan dan menuju kamarnya. Widi segera menuju pintu depan untuk menyambut Ezra. Ketika pintu dibuka, ia terkejut dengan Ezra yang terlihat sangat rapi dengan busana formal.

“Wow! Mau ke mana dengan pakaian seperti itu?” tanya Widi yang sedikit tertawa.

“Makan malam.”

“Denganku?”

Wajah Ezra langsung cemberut saat melihat pipi Widi yang merona. “Bukan. Dengan Heinrich. Tapi gagal. Kami bertengkar.”

“Oh. Terus?” Widi melipat kedua tangan di perutnya.

“Aku lapar. Bagaimana kalau kita cari makanan di luar?”

“Aku sudah makan malam—“

“Tapi masih ingin dessert, kan?”

“Ya, sih.” Widi tersipu malu.

“Ayo. Dandannya yang cepat. Nanti kalau William tahu aku ke sini, aku diusir lagi.”

“Oke, oke.”

Ezra bersandar di ambang pintu dan melihat Widi berlari menuju lantai dua. Melihat Widi berlari membuat Ezra ngeri sendiri. Ia takut jika pria itu terjatuh, kakinya terkilir, sakit pinggang, atau malah sakit lutut. Maklum, usia Widi sudah empat puluh enam tahun.

William yang menyadari kehadiran Ezra segera menemui sang ayah di kamar.

“Kau mau pergi dengan pria jahat itu?”

“Ya.” Widi menyemprotkan parfum ke beberapa titik tubuhnya.

“Apa kalian punya hubungan lagi?”

“Tidak.”

“Kau mau meninggalkan aku sendirian di rumah?”

“Kamu mau ikut?”

“Ya.”

“Bersiap.”

William segera menuju ke kamar untuk berganti pakaian. Setelah semua beres, keduanya turun dan mengunci pintu rumah. Ezra terkejut karena Widi mengajak putranya. Tak apa-apa, sih. Hanya saja ia bingung kenapa William mau berada di satu tempat yang sama dengannya. Setahu Ezra, William sangat benci padanya.

“Tumben mau ikut,” bisik Ezra pada Widi.

“Entahlah,” sahut Widi.

“Kamu duduk di belakang, lho,” kata Ezra pada William.

“Ya! Dasar bawel!” William berjalan dengan kasar dan masuk ke dalam mobil Ezra.

“Kalau bukan anakmu, wis tak keplak sirahe!” kata Ezra sambil masuk ke dalam mobil. Widi hanya tersenyum mendengarnya.

*

23 Februari 2024

Selamat berakhir pekan, Sayang-sayangku.

Terima kasih sudah membaca.

Kecup manja, mmuach ...

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang